Jumat, Maret 29, 2024

Pak Jokowi, Mau Dibawa ke Mana BUMN Kita?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Bukan Cuma Pencarian Keuntungan

Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dinyatakan telah mendekati Rp8.100 triliun di tahun 2019, sementara laba di akhir tahun 2018 dinyatakan telah menembus Rp200 triliun. Angka tersebut terus naik dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan rerata BUMN yang terus tumbuh bisnisnya. Namun, sebagaimana yang sudah banyak dinyatakan oleh para pakar, kinerja BUMN tidaklah merata. Ada BUMN yang sangat moncer kinerja ekonominya, namun ada pula yang sedang dan bahkan terus merugi.

BUMN energi, seperti Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN); juga BUMN perbankan, seperti BRI, Mandiri dan BNI, memimpin kepemilikan aset dan perolehan keuntungan. Walaupun untuk BUMN energi keuntungan yang diperolehnya juga ditunjang oleh subsidi yang digelontorkan pemerintah. Besarnya melampaui Rp153 triliun di tahun 2018, dan akan naik mendekati Rp158 triliun di tahun ini.

Di sisi lain, BUMN seperti Garuda Indonesia mengalami kerugian lebih dari Rp2,4 triliun yang tadinya hendak ditutupi lewat patgulipat akuntansi yang lalu ketahuan. Kita juga mendengar soal Krakatau Steel dan Pos Indonesia yang mengalami kesulitan keuangan.  Kebanyakan kita tak mendengar kabar soal sebagian besar BUMN yang jumlahnya 115 itu, juga tak mengetahui berapa yang berkinerja baik, sedang, dan buruk.

Saran yang sangat sering terdengar dari berbagai kalangan adalah melikuidasi BUMN-BUMN yang buruk kinerja ekonominya sehingga tidak terus menerus menjadi beban.  Hanya BUMN yang berkinerja moncer saja yang seharusnya dipertahankan, sementara yang dikategorikan sedang dan bisa diperbaiki perlu mendapatkan dukungan berbagai pihak agar di masa mendatang bisa masuk ke dalam jajaran BUMN yang moncer.

Tetapi, melihat BUMN sebagai perusahaan pada umumnya—yaitu dari kinerja keuangan saja—sesungguhnya tidak tepat, lantaran BUMN, sesuai mandat regulasinya, adalah juga agen pembangunan. Dalam hal terakhir ini, tampaknya BUMN tidak pernah dinilai kinerjanya dengan serius.

Dalam UU BUMN sendiri dinyatakan bahwa ada lima tujuan pendirian BUMN, yaitu memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; mengejar keuntungan; menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Sudah seharusnya empat tujuan di luar mengejar keuntungan juga bisa dinilai kinerjanya secara komprehensif, yang mana tampaknya belum kunjung dilakukan. Sampai sekarang, berita-berita tentang kontribusi BUMN terhadap pembangunan kerap hanya menonjolkan aktivitas bersama “BUMN Hadir untuk Negeri” dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan. Apa yang dilakukan itu sangat bersifat filantropis, dan sesungguhnya sebagai kegiatan filantropi sekalipun belum tentu juga memiliki kinerja yang memadai.

Ukuran-ukuran “keberhasilan” yang dimanfaatkan masih terlampau superfisial. Lagipula, menjadi agen pembangunan tidak bisa disamakan dengan kegiatan filantropis belaka.

Tata Kelola Perusahaan

Untuk bisa mengemban kelima tujuan itu dengan baik, sudah seharusnya BUMN memiliki kinerja tata kelola perusahaan yang jauh lebih mumpuni dibandingkan perusahaan swasta yang biasanya hanya dituntut untuk mengejar keuntungan belaka—yang sebetulnya juga merupakan pendirian yang sudah ketinggalan zaman. Kini, perusahaan-perusahaan paling progresif telah menggunakan blended value atau integrated value, yang menggabungkan ukuran-ukuran kinerja finansial dengan kinerja non-finansial—terutama lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Sementara, tata kelola perusahaan sudah lama menjadi masalah di BUMN dengan standar yang biasanya di bawah yang dituntut di level nasional (Pedoman GCG Indonesia dari Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG) dan regional (ASEAN Corporate Governance Scorecard), apalagi internasional (The OECD Principles of Corporate Governance). Kecuali pada BUMN-BUMN tertentu yang melantai di bursa nasional dan internasional, sesungguhnya kinerja tata kelola BUMN secara rerata tak bisa dibilang membanggakan.

Permasalahan ini juga mengemuka ketika pemerintah membentuk holding BUMN. Dari sudut pandang tata kelola perusahaan, mengambil BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh Pemerintah RI sebagai perusahaan holding sebetulnya berisiko tata kelola yang tinggi.  Menunjuk perusahaan yang 100% dimiliki pemerintah memang memudahkan proses pembentukan, tetapi apakah masuk akal memberikan status sebagai payung kepada perusahaan yang kinerja tata kelolanya lebih rendah dibandingkan perusahaan-perusahaan lain yang dipimpinnya?

Contohnya Inalum yang menjadi pemimpin holding pertambangan. Dalam holding pertambangan, Aneka Tambang (Antam) dikenal sebagai perusahaan dengan praktik tata kelola yang baik. Dokumen 2017 Resource Governance Index yang diproduksi oleh Natural Resource Governance Institute (NRGI) menempatkan Antam pada skor 78 dalam skala 100 dan menjadi BUMN pertambangan terbaik ketiga di dunia.

Dokumen itu menegaskan bahwa kinerja tata kelola Antam itu utamanya karena pemenuhan standar tata kelola bursa di Indonesia dan Australia. Adapun Inalum tak ada dalam daftar BUMN pertambangan yang kinerjanya dinilai baik itu.

Inalum punya tambahan beban tata kelola ketika dipercaya memegang saham PT Freeport Indonesia, yang tadinya beroperasi dengan standar tata kelola Freeport McMoRan yang juga berulang kali mendapatkan penghargaan dalam bidang tata kelola. Sama halnya dengan Pertamina yang kini memiliki cucu perusahaan, Pertamina Hulu Mahakam, tadinya adalah Total Indonesia, yang juga beroperasi dengan standar tata kelola yang tinggi.  Perbedaan praktik dan kinerja tata kelola ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian serius.

Untuk rencana holding BUMN yang belum terlaksana, seperti di sektor perbankan, mungkin lebih baik dipertimbangkan dengan jauh lebih matang. Sebagai lembaga jasa keuangan yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah, mengikuti pola yang ada, Danareksa diduga kuat akan menjadi pimpinan holding. Padahal, selain ukurannya yang sangat kecil dibandingkan bank-bank BUMN, tentu standar tata kelolanya tak setinggi bank-bank BUMN yang seluruhnya sudah melantai di bursa.

Kehati-hatian lebih tinggi seharusnya ditunjukkan untuk proses pembentukan holding yang berikutnya. Sementara, peningkatan kinerja tata kelola yang setidaknya mengacu ASEAN CG Scorecard bisa menjadi prioritas tertinggi untuk yang sudah telanjur menjadi pimpinan holding.

Tantangan Keberlanjutan

Tantangan dari tujuan yang beragam (sebagai penghasil keuntungan dan agen pembangunan) serta kinerja tata kelola itu juga semakin meningkat manakala dipertimbangkan lebih jauh soal keberlanjutan yang semakin menjadi panduan pembangunan Indonesia. Kita telah memiliki Peraturan Presiden Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres Nomor 59 Tahun 2017), plus Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah-nya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 juga dinyatakan sebagai RPJMN Hijau, dengan masukan penting dari Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon.

Hingga sekarang, mayoritas BUMN kita belum dilihat sebagai pemuka dan yang terdepan dalam isu-isu keberlanjutan. Karenanya, Menteri BUMN mendatang seharusnya memiliki kapasitas sebagai orang yang memahami bukan saja soal pencarian keuntungan, tapi juga merupakan kampiun tata kelola, memahami seluk beluk peran agen pembangunan, dan mampu menjawab tantangan dan mewujudkan peluang keberlanjutan menjadi keunggulan bisnis.

Warga mengumpulkan tumpahan minyak di Pesisir Pantai Cemarajaya, Karawang. (Foto: Antara/Indonesiainside.id)

Kasus tumpahan minyak Blok ONWJ milik Pertamina adalah salah satu yang paling mutakhir untuk dilihat. Sudah 10 desa dan 7 pantai di Kabupaten Bekasi dan Karawang yang terkena dampaknya. Dilaporkan bahwa panjang tumpahan minyak itu sudah mencapai 84 kilometer. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan WALHI, pada kesempatan yang berbeda, bahkan menyatakan bahwa tumpahan minyak itu sudah mencapai Kepulauan Seribu. Ini penanda bahwa ada yang harus diperhatikan dengan serius terkait pengelolaan lingkungan Pertamina.

Mungkin akan ada yang berargumentasi bahwa pengelolaan lingkungan, sebagai bagian dari inisiatif keberlanjutan perusahaan, di Pertamina sesungguhnya sudah memadai.  Buktinya, Pertamina sangat dominan di antara perusahaan yang mendapatkan peringkat PROPER Hijau dan Emas. Tetapi, selain kasus tumpahan minyak ini, penting sekali diingat bahwa Indonesia belum menetapkan emisi berbagai gas rumah kaca (GRK) sebagai polusi.

Kalau emisi GRK sudah dinyatakan sebagai polutan, maka sesungguhnya perusahaan minyak dan gas seperti Pertamina—yang emisinya sangat besar—tidak akan bisa dianggap berkinerja lingkungan tinggi.

Dalam carbon-constrained world, perusahaan migas serta (tambang dan pembangkit listrik) batubara dan semen adalah yang dianggap paling berdosa. Jadi, selain Pertamina, maka Bukit Asam, PLN, dan Semen Indonesia akan menjadi perusahaan yang disorot sangat tajam.

Pertamina, yang sesungguhnya sudah memiliki portofolio energi terbarukan berupa panas bumi, harus menambah proporsi energi terbarukannya hingga menjadi perusahaan energi terbarukan sepenuhnya di masa mendatang. Bukit Asam harus mengubah bisnis intinya kalau masih mau relevan di masa mendatang. PLN harus mengubah sumber energi listriknya, demikian juga Semen Indonesia, menjadi sumber yang terbarukan.

Tetapi, bukan hanya pada industri-industri penghasil emisi raksasa itu saja transformasi ke arah keberlanjutan harus dilaksanakan. Seluruh bank harus mengadopsi paradigma keuangan berkelanjutan, seluruh perkebunan harus mengubah praktiknya mengarah ke pertanian berkelanjutan. Demikian juga perusahaan-perusahaan BUMN di sektor industri lainnya.

Tantangan untuk memastikan BUMN menegakkan perannya sebagai agen pembangunan, meningkatkan praktik dan kinerja tata kelola perusahaan, serta memastikan transformasi ke arah keberlanjutan adalah arah strategis yang agaknya harus diambil agar peran BUMN bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia benar-benar bisa menjadi optimal. Presiden Joko Widodo perlu memilih figur yang mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut sebagai Menteri BUMN.

Kolom terkait

Bisnis dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Lawan atau Kawan?

Mempertanyakan Holding Bank BUMN

Batang, Kendeng, dan Mimpi Perbankan Berkelanjutan

Pidato Revisionis* Presiden Terpilih [Visi Keberlanjutan Indonesia]     

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.