Andrea Hirata kembali mengeluarkan novel terbarunya awal tahun ini: Orang-orang Biasa (OOB). Seperti sebelumnya, Andrea berhasil menyihir saya untuk tidak beranjak membaca novelnya. Sekali baca harus sampai khatam. Bikin penasaran.
Novel setebal 262 halaman ini memiliki kemiripan dengan novel-novel Andrea sebelumnya, terutama Laskar Pelangi (LK). Pertama, Andrea sangat doyan membangun plot novelnya dengan merangkai kata dan kalimat yang kental dengan “cemeeh”. Ia bercerita dengan detail sekaligus mencemooh, meledek, dan mentertawakan dengan renyah kemiskinan dan kebodohan masing-masing karakter di novelnya.
Hal itu salah satu kenikmatan membaca novel-novel Andrea. Sebagai seorang Melayu, Andrea sangat mahir memilih kata dan meletakannya dalam analogi-analogi sederhana tidak terduga. Selain itu, Andrea seolah-olah memberikan pesan bahwa kemiskinan dan kebodohan tidak perlu disesali apalagi dikutuk. Orang-orang bodoh dan miskin, di tengah kesulitan yang menghimpit mereka, adalah orang-orang punya logikanya sendiri. Mereka punya cara untuk survive tanpa perlu dikasihani. Bahkan, mereka adalah sumber air kearifan yang tidak pernah kering.
Kesamaan kedua adalah pada temanya. Seperti LK, OOB bercerita tentang sekumpulan siswa yang berjuang melawan realitas hidup yang getir. OOB menuturkan tentang ” 10 sekawan” yang tidak berprestasi –untuk tidak mengatakan bodoh– dan dililit kemiskinan. Mereka penunggu setia shaf belakang kelas dan bertahun-tahun tidak naik kelas sampai ada keinsafaan diri sendiri untuk mundur secara teratatur atau dipaksa keluar dari sekolah.
Lintang-nya OOB adalah Aini, putri Dinah, salah seorang anggota 10 sekawan. Aini yang mendapat “warisan kebodohan” dari Dinah, termotivasi untuk belajar serius ketika menemui ayah yang dicintainya meninggal dunia. Sebelum meninggal, tenaga medis di Puskesmas mengatakan bahwa hanya dokter ahli yang dapat mengetahui penyakit dan menyembuhkan ayahnya.
Dendam dengan kematian ayahnya, Aini belajar dengan serius untuk melawan kebodohan agar kelak menjadi dokter ahli. Usaha tidak pernah bohong pada hasil. Akhirnya Aini lulus ujian masuk di Fakultas Kedokteran di sebuah universitas negeri.
Namun, disinilah perkaranya dimulai. Dinah, ibunya Aini, tentu saja tidak bisa membiayai puluhan juta dana kuliah Aini. Bank dan koperasi tentu saja menolak proposal pinjaman Dinah, seorang pedagang mainan di emperan yang tidak punya agunan apa-apa. Momentum ini yang menyebabkan 10 sekawan berkumpul kembali. Semua usaha dilakukan termasuk usaha merampok bank.
Selain kebaikan hati 10 sekawan, Andrea juga menyisipkan cerita orang biasa yang bisa diteladani. Adalah Abdul Rojali, seorang “polisi kampung” yang menolak mempergunakan otoritasnya untuk meluluskan anak kesayangannya di sebuah sekolah kebidanan.
Tentu tidak fair membandingkan LP dan OOB, dua novel yang ditulis dalam konteks berbeda. Namun saya merasa Andrea sulit keluar dari bayang-bayang LK sebagai magnum opus-nya.
OOB, bagaiman pun, adalah bacaan menarik. Membaca sebuah karya fiksi jelas memiliki kenikmatan tersendiri. Kita dibawa mengarungi dunia lain yang penuh misteri yang tidak terduga dan terantisipasi.
Dari karya sastra seperti OOB juga, tanpa bermaksud berdakwah dan menggurui, pembaca diajak berimajinasi bahwa masih banyak kebaikan dan kearifan yang bisa tumbuh subur negeri ini. Ketika hari-hari ini kebaikan sulit ditemukan pada diri elit pintar nan kaya, kita justru mendapatkannya dari orang-orang biasa yang kerap dianggap miskin, bodoh dan tidak beradab.
Kranji, puasa hari ke 27
*) suka baca novel, cerpen dan puisi