Kamis, April 25, 2024

Sepakbola, Olahraga Ndeso

Frasetya Vady Aditya
Frasetya Vady Aditya
Managing editor SetanMerah.Net

Jose Mourinho [dailystar]
Sepakbola adalah olahraga ndeso karena yang bebas memainkannya cuma orang-orang (yang tinggal di) ndeso.  Mereka, orang-orang ndeso, tidak punya beban pikiran untuk patungan sewa lapangan. Mereka bebas berkejaran menendang bola sejak ayam berkokok hingga azan Maghrib berkumandang.

 

Sepakbola adalah primadona, yang penggemarnya di mana-mana. Namun, kini konsepnya sudah berubah. Dulu, sepakbola adalah olahraga yang jamak dimainkan orang-orang; kini, sepakbola menjadi sekadar tontonan.

Ada satu hal yang ditakuti para puritan sepakbola dan warga desa: industri.

Tersingkirnya Kelas Pekerja

Para puritan merasa industri sepakbola sudah banyak mengubah kepolosan wajah sepakbola itu sendiri. Masuknya teknologi dianggap akan menghilangkan kesan manusiawi. Perubahan aturan, seperti melarang laser, suar, sampai tribun berdiri, menghilangkan gairah serta kebebasan berekspresi.

Saat menjabat sebagai manajer Chelsea, Jose Mourinho mengeluhkan soal atmosfer stadion Stamford Bridge yang dianggapnya sepi. Padahal, sekilas tak tampak kursi yang tak berpenghuni di stadion berkapasitas 41 ribu itu.

“Sulit bagi kami bermain di kandang karena bermain di sini layaknya bermain di stadion yang kosong,” kata Mourinho kala itu. “[Kekosongan ini] Bukan dari jumlah orang karena stadion penuh sesak. Ini membikin saya frustrasi.”

Maksud dari Mourinho adalah mengapa stadion terisi penuh, tapi para penonton tak memompa semangat skuat asuhannya dengan teriakan atau nyanyian dukungan. Para penonton justru duduk dengan nyaman, diselingi dengan camilan.

Ada sejumlah analisis soal hal ini. Yang paling masuk akal adalah soal harga tiket yang melonjak naik.

Di Inggris, sepakbola awalnya merupakan olahraganya kelas pekerja. Sejumlah kesebelasan hadir beriringan dengan industri yang berdiri di kotanya. Everton dan Liverpool FC dari kota Liverpool sebagai kota pelabuhan, Manchester United dari kota Manchester sebagai kota industri, hingga Middlesbrough dari kota Middlesbrough yang punya pabrik besi dan baja terbaik di seantero Inggris.

Dengan sasaran penonton kelas pekerja, ini juga berpengaruh pada jadwal kompetisi yang disusun sesuai jadwal kerja pabrik pada awalnya. Pertandingan boxing day maupun tengah pekan, tak akan dimulai sebelum pukul 6 petang. Ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para pekerja untuk tetap bisa hadir ke stadion. Pertandingan pun diusahakan tak lebih dari pukul 10 malam, agar tak ketinggalan bus terakhir dari stadion.

Ada sejumlah hal yang juga jadi perhatian, seperti di hari Minggu, pertandingan baru dimulai paling cepat pukul 4 sore. Ini dilakukan agar para pekerja memiliki waktu untuk beribadah ke gereja dan berkumpul dengan keluarga.

Namun, semua itu pupus saat industri sepakbola berkembang pesat. Kini, pertandingan pukul 12 siang di hari Minggu adalah sesuatu yang jamak. Pun dengan hari Sabtu. Tujuannya? Mengincar penonton Asia. Karena pertandingan pukul 12 siang ditayangkan di waktu prime time di Asia.

Perubahan jadwal ini kian diperparah dengan makin melonjaknya harga tiket. Berdasarkan penelitian BBC pada 2016, tiket pertandingan termahal dipegang oleh Arsenal, baik dalam hal tiket pertandingan maupun tiket musiman. Tiket dengan kelas tertinggi dibanderol 97 paun atau setara 1,6 juta rupiah. Tiket kelas tertinggi termahal selanjutnya dipegang kesebelasan London lain, Chelsea (87 paun), Tottenham Hotspur (81 paun), dan West Ham United (80 paun).

Melonjaknya harga tiket ini jelas berpengaruh terhadap daya beli suporter kelas pekerja. Padahal, mereka-mereka inilah yang dianggap memberikan gairah saat menyaksikan pertandingan di stadion. Mereka tidak malu-malu untuk berteriak lantang dan bernyanyi sepanjang pertandingan.

Perubahan Lahan

Soreang, 20 tahun lalu, merupakan daerah perdesaan yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan bercocok tanam. Begitu banyak lahan kosong yang di kedua ujungnya ditanami kayu yang menyerupai tiang gawang.

Waktu berjalan, sementara pembangunan industri mulai berlari; memangsa setiap jengkal tanah dan mengubahnya menjadi susunan beton yang berdiri dengan pongah.
Bila gula mengundang semut untuk makan, pabrik mengundang manusia untuk membangun perumahan; yang menjadi alasan lapangan sepakbola kian tersingkirkan.

Di beberapa tempat, lapangan sepakbola menciut berubah menjadi gedung futsal. Pada dasarnya, futsal memang olahraga yang juga memainkan bola dengan kaki. Tapi tetap saja, futsal dan sepakbola adalah dua hal yang berbeda. Bagi generasi 90-an dan sebelumnya, sepakbola punya banyak memori, yang kelewat sayang untuk tak diziarahi.

Beralihfungsinya lahan, berarti mengubah pula status hidup masyarakat di desa. Mereka tak lagi ndeso, karena mata pencaharian sampai pola pikir mereka telah dipengaruhi oleh budaya-budaya kota. Industri-lah yang pada akhirnya menghapus daerah rural dan mengubahnya menjadi wilayah sub-urban.

Industri yang Menakutkan

Banyak yang bilang kalau industrialisasi sepakbola tengah berkembang secara masif. Sepakbola bukan lagi sekadar olahraga yang tujuan akhirnya mencari gengsi. Sepakbola adalah alat bisnis yang kalau dikelola dengan tepat, amat mungkin menghasilkan duit.

Di Inggris, pendapatan terbesar klub berasal dari hak siar televisi. Sekilas, hubungan ini menguntungkan kedua belah pihak. Kesebelasan bisa meningkatkan daya tawar terhadap pengiklan di kostum, papan di pinggir lapangan, sampai nama stadion, dengan embel-embel siaran tersebut akan ditransmisikan ke seluruh dunia.

Di sisi lain, pemilik hak siar juga agaknya tak punya masalah kalau mesti menaikkan harga lisensi setiap musimnya, toh siaran sepakbola sudah seperti candu bagi masyarakat dunia. Apalagi, kini aturan soal menonton siaran sepakbola, khususnya Liga Inggris, sudah amat ketat. Di Indonesia sekalipun, biasanya acara nonton bareng harus ada kerja sama resimnya terlebih dahulu dengan pemegang hak siar.

Namun, ada satu hal yang kerap luput disadari dalam perjanjian ini. Regulator hak siar punya kuasa untuk mengatur operator liga, soal seluk beluk siaran, termasuk hari dan jam tayang pertandingan.

Dilansir BBC, mulai musim 2017/2018, untuk pertama kalinya Premier League akan disiarkan pada Jumat malam. Salah satu alasannya adalah membagi slot tv agar tidak ada pertandingan yang melibatkan kesebelasan besar yang bentrok. Lagi-lagi, soal bisnis.

Di Indonesia, perlahan tiap kesebelasan bergerak untuk mencari keuntungan dan bukan mengandalkan gengsi kedaerahan semata. Kesebelasan seperti Persib Bandung dianggap sebagai kesebelasan yang sehat secara finansial. Namun, hal tersebut tentu memiliki dampak, mulai dari kostum yang dipenuhi logo sponsor, sampai harga tiket dan merchandise yang mengalami kenaikan harga.

Konon, “Suporter sejati” akan melakukan apa pun untuk klub kebanggaanya, tak peduli seberapa banyak yang harus dikorbankannya. Namun, desakan ekonomi memaksa manusia untuk berpikir logis: untuk apa beli merchandise resmi kalau yang bajakan lebih murah? Untuk apa datang ke stadion, toh sudah mah tiketnya mahal, dapatnya pun susah?

Di Bandung, bisa mendapatkan tiket Persib adalah sebuah kemewahan. Selain harganya yang merangkak naik dari musim ke musim, untuk mendapatkannya pun diperlukan perjuangan. Ini tidak menjadi masalah buat mereka yang melek teknologi dan punya banyak uang. Mereka bisa menjadi “member” dan mendapatkan banyak kemudahan lewat pemesanan online dan diberikan prioritas penukaran tiket.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang tak punya akses ke sana? Ini yang menjadi soal. Karena mendapatkan tiket dengan cara mudah (baca: beli di calo), akan berbenturan dengan harga yang tak rasional. Lagi pula mendapatkan tiket pun belum tentu bisa masuk ke stadion karena kapasitas yang sudah penuh, kan?

Tidak terakomodasinya kelas suporter yang menjadi basis dukungan klub selama bermusim-musim ke belakang, membuat pergeseran kelas suporter mau tak mau terjadi.

Pergeseran ini bukannya tanpa kerugian. Kehadiran suporter kelas atas mungkin menjanjikan ketertiban, tapi selalu akan ada yang hilang. Bisa jadi itu adalah soal gairah dalam memberikan dukungan.

Produser salah satu televisi lokal di Bandung, Adhie Fahmi, menceritakan kenangan masa kecilnya saat menyaksikan pertandingan antarkampung (tarkam), yang biasa digelar menjelang Hari Proklamasi. Lapangan desa yang sepelemparan batu dari rumahnya, disulap sedemikian rupa. Ada terpal yang melingkar menutupi lapangan. Tujuannya, agar masyarakat yang mau menonton pertandingan membeli tiket masuk.

“Ada dua pintu masuk. Calon penonton membayar beberapa ribu untuk bisa menonton di pinggir lapangan. Ada yang berdiri, banyak pula yang duduk di rumput yang kotor dan basah. Namun, buat mereka yang punya uang lebih dan enggan kotor, ada jojodog (kursi kecil) yang bisa disewakan,” cerita Adhie.

Dari cerita Adhie, barangkali kita bisa mendapatkan gambaran soal perbedaan kelas masyarakat saat menyaksikan pertandingan sepakbola. Penonton kelas atas akan membayar lebih demi mendapatkan kenyamanan, bukan kebahagiaan dari bernyanyi di sepanjang pertandingan atau menghujat tim lawan. Menjadi wajar pula kalau di stadion mana pun, setidaknya ada dua kategori tempat duduk di stadion: kelas VIP dan kelas ekonomi.

Lantas, bagaimana ceritanya kalau kini, semua tempat duduk di stadion seharga dengan kelas VIP? Kepada siapa industri sepakbola kini menyasar? Bagaimana dengan nasib kelas pekerja setelah mereka tak bisa leluasa bermain bola, karena harus menyewa, kini harus berpikir ulang untuk menonton langsung di stadion?

Kehadiran industri secara fisik bisa menghapus lapangan sepakbola, lalu mengubah “desa” menjadi “pinggiran kota”. Sementara itu, industri di sepakbola, membuat  warga desa cuma bisa bermain bola, tanpa bisa menontonnya.

Tak bisa menonton sepakbola tentu bukan masalah karena pada hakikatnya, sebenar-benarnya olahraga adalah sesuatu yang dilakukan, bukan cuma ditonton, dikomentari, atau dituliskan. Berbahagialah orang ndeso, karena orang kota harus membayar mahal untuk bermain sepakbola ataupun menontonnya.

Saya punya pengalaman saat menonton pertandingan di tribun, yang tentunya bukan tribun VIP. Saat dirijen di atas pagar mulai mengomandoi untuk bernyanyi, semua penonton otomatis berdiri. Mereka yang duduk akan kena hardik, “Mau nonton bola, apa nonton wayang?”

Di kemudian hari, hardikan ini tak akan lagi terdengar. Pasalnya, bukankah cuma orang ndeso yang menonton wayang?

Frasetya Vady Aditya
Frasetya Vady Aditya
Managing editor SetanMerah.Net
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.