Rabu, April 24, 2024

Nyesal, Makan Sop Kambing di Rumah Habib

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist

Hadist-hadist yang mengistimewakan habaib atau dzuriyat (keturunan Nabi Muhammad) itu diyakini kebenarannya oleh sebagian umat Islam. Sebagian orang NU percaya tanpa reserve terhadap hadist yang memuliakan habaib tersebut tanpa kompromi. Sebagian lagi percaya tapi dengan sarat. Saratnya habib itu akhlaknya seperti Rasulullah.

Ini beda jika yang bicara orang Muhammadiyah. Hadist tentang keistimewaan habaib/dzuriyat bagi orang Muhammadiyah — pinjam istilah Pak Udi, tokoh Muhammadiya “belum dikaji”. Kata “belum dikaji” ini tampaknya untuk menghindari kata “hadist itu tidak menjadi pedoman di persyarikatan” yang didirikan KH Ahmad Dahlan . Perguruan Muhammadiyah memang tak pernah mengajarkan hadist perihal kemuliaan kaum habaib kepada murid-muridnya.

Itulah sebabnya habib tak punya panggung di Muhammadiyah. Ia juga tak mau blusukan di kampung Muhammadiyah. Habib tak mendapat kehormatan di hadapan organisasi Islam terkaya sejagad ini.

Bagi orang Muhammadiyah kemuliaan manusia di sisi Allah adalah karena ketakwaannya semata (Inna akromakum indalllahi ‘atsqookum, Al Hujarat 13).

Orang Muhammadiyah memandang Habib — siapa pun tak terkecuali — kedudukannya sama seperti orang lain. Semuanya anak cucu Adam. Tak ada keistimewaan satu dengan lainnya.

Qurannya jelas. Surat Al-Baqarah 285-286 menyatakan: Kami tak membedakan Rasul satu dengan lainnya. Ini artinya, keturunan Nabi Adam pun kedudukannya sama dengan keturunan Nabi yang lain.

Makanya para habaib tidak mendapat panggung di Muhammadiyah. Habib dihormati di Muhammadiyah hanya jika akhlaknya sesuai ajaran Islam. Ramah, toleran, dan penuh kasih kepada sesama. Contohnya Habib Chirzin, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah. Ia dihormati warga Muhammadiyah bukan karena nama habibnya. Tapi karena akhlaknya.

La, wong Habib Chirzin keturunan Jawa asli, orang Kota Gede. Habib Chirizin memang keturunan Muhammad. Karena ayahnya bernama Muhammad, kyai Muhammadiyah.

Di kalangan sebagian kaum Nahdhiyin, karena percaya dengan hadist kemuliaan habaib/dzuriyat, maka para habib dapat panggung kehormatan. Mereka sering datang ke pesantren tertentu.

Habib-habib yang kere, misalnya, suka jual minyak wangi dan obat-obatan herbal dari Arab — seperti jamu majun dan habbatus saudah — ke pesantren NU di Tegalgubug. Cara jualnya, ya, setengah maksa dengan menunjukkan kehabibannya. Karena hormat pada habib, orang orang Tegalgubug mau membelinya dengan harga yang relatif mahal.

Sebelum Nikita Mirzani menyatakan Habib itu tukang obat, aku pun waktu kecil, punya pikiran yang sama. Habib ya tukang obat. Karena setiap habib dari Panjunan, Cirebon datang ke Tegalgubug, di tasnya penuh obat dan misik — minyak wangi khas Arab. Kyai Makmur Nur ( almarhum) paling suka membeli jamu majun dan misik.

Aku punya pengalaman “disiasati” seorang habib senior di Puncak awal tahun 2000-an. Ceritanya lucu.

Habib ini, sebut saja X, adalah pimpinan sebuah yayasan dakwah di Ciawi. Ia datang ke kelompok pengajian malam hari.

X bercerita panjang lebar tentang kemuliaan habaib. Bahwa habib sangat dihormati di Ternate. Di Cirebon. Dan di pondok pondok pesantren. Apa yang dikatakan habib X memang betul. Aku percaya. Aku lihat sendiri waktu kecil di kampungku Tegalgubug, Cirebon.

Ketika X bicara melambung tinggi tentang kemuliaan habaib dan keturunannya yang luar biasa, aku pun jengah. Terus aku sodok — Bib tahu gak di Tanah Abang ada habib slengekan yang suka mabok miras? X diam.

Bib, antum tahu gak tak sedikit turunan habib di Eropa dan Timur Tengah yang sekuler bahkan atheis? X diam.

Bib, tahu gak, banyak habib yang masuk Kristen di Spanyol, Portugis, bahkan di Syria dan Libanon? X diam.

Ia terpaku. Diam seribu bahasa. Kena lo, batinku. Uda deh Bib, jangan ngunggulin habaib di depanku yang aneh-aneh. Aku ini orang yang menghormati manusia bukan karena faktor keturunan atau nasab. Aku menghormati manusia karena akhlaknya. Siapa pun. Meski ia keturunan Firaun. Nabi Ibrahim saja ayahnya orang kafir. Anak Nabi Nuh juga kafir.

Hidup itu tak usah melihat masa lalu Bib. Ujarku. Lihat sekarang. Lihat faktanya.

Habib X pun diam. Wajahnya terlihat kusam. Mungkin karena aku memblejeti sebagian akhlak kaum habaib di luar imajinasinya

Pas mau pulang, habib X ngundang kami (kelompok pengajian) makan siang di rumahnya pada hari Minggu. Tentu aku senang. Bayanganku pasti hidangannya nasi kebuli dengan masakan kambing yang maknyus.

Aku pun ikut makan siang dengan nasi kebuli. Sopnya enak, khas masakan Arab. Sampai di padepokan, usai makan enak, Pak Min datang memberi tahu kami.

Kemarin, kata Pak Min, kambingnya diambil habib X, satu ekor. Katanya untuk ngasih makan tamu pengajian. Pak Min adalah orang kampung setempat yg memelihara kambing milik salah seorang jamaah pengajian dengan sistem bagi hasil.

Bajigur! Ternyata habib X ambil kambing tanpa permisi ke pemiliknya — salah seorang anggota pengajian kami. Kambing itulah yg dipotong untuk menjamu kami. Aku pun menyesal ikut makan di rumah habib X tadi.

Dasar habib koplak …kata Marno sambil marah. Ia pencuri kambing. Marno patut marah. Karena Marno adalah orang yang punya gagasan memelihara kambing tersebut.

Apakah habib macam itu pantas mendapat kehormatan? Pastinya big no. Apalagi habib yang dari mulutnya mengumbar kata-kata kotor, caci maki, dan najis yang mezizikkan.
Astaghfirullah!

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.