Salah satu ukuran negara demokrasi adalah keberadaan partai politik. Sejumlah tesis menguatkan posisi sentral parpol sebagai pilar demokrasi. Sebagai institusi demokrasi, Pasal 11 Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 (sebagai perubahan atas UU No 2 Tahun 2008) menyebutkan 5 (lima) fungsi parpol: “…pendidikan politik, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik, partisipasi politik warga negara, dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan…”
Namun, dari sekian fungsi itu, saya hanya mencatat 3 (tiga) fungsi utama parpol: pendidikan politik, partisipasi politik, dan rekrutmen politik. Dari fungsi tersebut, negara menuntut parpol menjadi institusi politik yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas demokrasi. Dengan syarat, parpol sendiri mampu menunjukkan diri sebagai institusi politik sekaligus institusi demokrasi.
Ukuran untuk menilai itu salah satunya adalah, parpol wajib menunjukkan kedewasaan politik dengan menyelesaikan sendiri konflik internalnya. Kedewasaan politik untuk tidak menyeret negara dalam konflik partai menjadi garansi kepercayaan (trust) publik terhadap institusi parpol.
Hakikat Mahkamah Partai
Namun tampaknya konflik internal yang terjadi dalam sejumlah parpol (contohnya Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan) membalikkan asumsi itu. Kedua partai itu menunjukkan ketidakdewasaanpolitik dalam menyelesaikan konflik internalnya. Menyeret negara dengan mengajukan gugatan ke pengadilan (Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Mahkamah Agung). Padahal UU Parpol No. 2 Tahun 2011 telah menyediakan “Mahkamah Partai” sebagai mekanisme non-litigasi untuk menyelesaikan konflik internal yang timbul.
Pasal 32 ayat (2) UU Parpol menyebutkan, “Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.” Meski bukan organ resmi negara semisal Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam UU MD3, Mahkamah Partai berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik internal partai.
Kemudian ayat (5) mengatakan, “Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.”
Frasa “final dan mengikat” (final and binding) ini semestinya dipahami bahwa putusan Mahkamah Partai tidak bisa lagi dibawa ke ranah judikasi: baik PTUN maupun PN-MA. Akan tetapi semangat pembentuk UU Parpol dengan membentuk Mahkamah Partai ini justru bertolakbelakang ketika pada saat yang sama menyediakan mekanisme judicial melalui PN-MA dalam Pasal 33 UU Parpol. Mekanisme ini dengan sendirinya menganulir frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 32 ayat (5) tadi.
Pembentuk UU Parpol yang notabene adalah anggota parpol sendiri tidak cermat memahami konstruksi hukum keberadaan Mahkamah Partai dalam UU Parpol. Dan ini membuka ruang bagi negara untuk “terseret” dalam konflik internal partai.
Dalam konflik Golkar dan PPP, keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan salah satu kepengurusan dari dua kubu Golkar dan PPP yang bertikai dipersoalkan oleh kubu lain dengan mengajukan kasasi ke PN hingga MA. Putusan Kasasi MA (20 Oktober 2015) yang mengesahkan kubu Aburizal Bakrie (Golkar) dan kubu Djan Faridz (PPP) membuat negara terseret dalam konflik partai.
Meski putusan tersebut adalah putusan hukum dan berkekuatan hukum, sulit menjauhkan aroma politis di balik putusan itu. Independensi kekuasaan kehakiman yang menjadi prinsip dasar kekuasaan kehakiman dalam UU Kekuasaan Kehakiman menjadi tak berarti. Pasal 33 UU Parpol “memaksa” negara masuk ke dalam konflik partai melalui mekanisme judicial.
Dalam konteks ini, saya tidak menemukan alasan hukum yang kuat mengapa konflik internal partai mesti diselesaikan melalui PTUN, PN dan MA, sementara UU Parpol telah menyediakan Mahkamah Partai. Satu-satunya alasan yang dipandang “masuk akal” adalah bahwa status parpol sebagai badan hukum dalam UU Parpol dipandang legal untuk bersengketa di pengadilan.
Dengan status badan hukum ini, parpol berhak mengikuti pemilu sebagai sarana legal dalam siklus kekuasaan.
Tapi, alasan tersebut dasar hukumnya juga lemah. Pertama, status badan hukum parpol sebatas sarana bagi negara dalam “menertibkan” parpol melalui syarat pendirian parpol sebagaimana diatur dalam UU Parpol. Kedua, untuk kepentingan pemilu nasional. Dengan status badan hukum parpol menjadi kartu bagi parpol mengikuti pemilu nasional jika memenuhi syarat.
Dua alasan tersebut tidak memiliki benang merah untuk membawa konflik internal partai ke ranah litigasi. Status badan hukum parpol tak bisa dipaksakan untuk membenarkan konflik internal partai diselesaikan melalui saluran pengadilan (negara).
Seyogianya kehadiran Mahkamah Partai dalam UU Parpol No 2 Tahun 2011 menjadi sarana nonlitigasi dalam penyesaian konflik internal partai. Putusan Mahkamah Partai yang final dan mengikat semestinya tidak diikuti dengan menyediakan mekanisme judicial melalui PTUN, PN, dan MA.
Pendeknya, parpol harus diajari berdemokrasi secara sehat dengan “memaksa” mereka menyelesaikan konflik internalnya. Tanpa harus menyeret negara melalui pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang semestinya independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan.