Rabu, Oktober 16, 2024

Nawal dan Kita

Suci Mayang Sari
Suci Mayang Sari
Suci Mayang Sari. Arsitek lulusan Universitas Trisakti. Pernah memenangkan lomba revitalisasi gedung tua “Kuntskring Gebouw” di Menteng Jakarta. Semasa kuliah aktif di senat mahasiswa Trisakti. Ia ada di tengah peristiwa 12 Mei 1998, saat terjadi penembakan 4 kawannya, yang kelak diingat sebagai pahlawan reformasi. Pernah menjadi wartawan di KBR 68H Utan Kayu. Setelah itu bergabung dengan The Indonesian Institute. Menyelesaikan S2 untuk master CSR di Universitas Trisakti. Kemudian tinggal di Bonn Jerman selama 4 tahun. Penikmat kesenian sebelum akhirnya berani terlibat di teater melalui kelas akting salihara. Suci Mayang Sari kini Bendahara Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia.

Beberapa waktu lalu (Minggu, 21/3/2021) Nawal El Saadawi, wafat di usia 89 tahun. Kepergiannya meninggalkan kesedihan bagi beberapa sahabat saya, yang sempat bersentuhan langsung dengan beliau dan ide-ide besarnya. Ungkapan kesedihan atas kepergiannya, memenuhi media sosial. Kepergiannya tidak hanya kehilangan besar bagi Mesir tapi juga bagi masyarakat dunia yang merindukan kesetaraan.

Sepanjang hidupnya dia selalu menerima tekanan. Tapi dia tidak diam. Nawal terus konsisten melawan ketidak adilan tepat di jantung patriarki. Kisah Nawal adalah cerita tentang kekuatan ide dan keberanian. Tentang perempuan yang bangkit melawan ketidakadilan di tengah masyarakat yang konservatif. Ia tanpa basa-basi membicarakan tiga hal tabu: Kesetaraan perempuan dan laki-laki, Agama, dan Kekuasaan.

Nawal membawa luka sejak usia belia. Di umur 6 tahun  dia mengalami sunat perempuan di lantai kamar mandi yang dingin, sementara ibunya berdiri di sampingnya. Pengalaman menyakitkan ini dia kisahkan dalam bukunya The Hidden Face of Eve. Buku ini terbit di Indonesia dengan judul: Perempuan dalam budaya Patriarki.

Di umur 10 tahun dia hampir dikawinkan muda. Beruntung saat itu Ibunya membela dan perkawinan itu tidak terjadi. Ia ingat dengan jelas bagaimana sang nenek mengutuk dirinya dengan kata-kata yang terus berbekas. Bahwa 1 laki-laki setara dengan 15 perempuan, bahwa perempuan tak lebih dari hama!

Dia pernah mengalami kehidupan di balik penjara. Ancaman pembunuhan datang dari segala penjuru. Namun semua itu tidak dapat membungkamnya. Dia terus bangkit melawan, dengan menulis, dengan aktivisme.

Risalah kehidupannya dan pemikirannya tertuang di buku-buku yang dia tulis dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dunia. 55 buku yang ia tulis adalah manifesto perlawanan kaum perempuan. Kata-katanya lugas, berani, tanpa basa-basi. Di kalangan ekstremis, ia masuk daftar orang berbahaya yang harus dilenyapkan, sesuatu yang memaksa Nawal mengungsi ke luar negaranya.

Novel “Perempuan di Titik Nol” dibaca secara luas oleh jutaan perempuan dari generasi ke generasi. Membuka sebuah wawasan baru, mengubah cara pandang mereka dalam melihat keadaan di sekitar. Kisah nyata sosok perempuan terpidana mati bernama Firdaus, bagi jutaan perempuan bukanlah sosok asing. Kisah serupa menimpa tetangga, saudara perempuan, Ibu, atau bahkan diri mereka sendiri. “Perempuan di Titik Nol“ terbit pertama kali di tahun 1975 oleh penerbit Lebanon. Di Indonesia novel ini diterbitkan oleh penerbit Obor di tahun 1980-an.

Nawal El Saadawi adalah pembela kesetaraan paling gigih melawan kesewenang-wenangan yang dialami perempuan. Ide-ide Nawal tentang kesetaraan membangkitkan keberanian jutaan anak-anak perempuan muda untuk mempertanyakan bahkan melawan ketidakadilan yang dipraktikkan atas nama agama dan budaya.Kreatifitas dalam menulis dan keberanian Nawal membuat namanya menjulang di antara perempuan yang hidup dalam masyarakat tertutup. Ia begitu dihormati karena membuka kesadaran, menjadi sang pencerah bagi mereka untuk melawan ketidakadilan.

Sebagaimana rasa takut, keberanian adalah sesuatu yang menular. Keberanian Nawal, membangkitkan keberanian yang sama bagi jutaan perempuan di tempat lain. Mendorong mereka mulai mempertanyakan apa yang sebelumnya dianggap normal, dianggap bagian dari tradisi dan bahkan sakral. Mendorong lahirnya kesadaran tentang apa arti sesungguhnya dari kata “SETARA”.

Nawal El Saadawi, perempuan paling berbahaya dari dunia Arab itu kini tutup usia. Sulit membayangkan dunia tanpa Nawal. Nawal adalah seorang Dokter, psikiater, aktivis politik, penulis, dan namanya pernah digadang-gadang menjadi calon peraih nobel. Tentu banyak kerja-kerja aktivismenya yang membekas dan menginspirasi dunia. Meski tujuh hari lalu Nawal telah pergi, tapi ide-idenya akan terus hidup, bergema, membangkitkan kesadaran dan solidaritas antara sesama perempuan di seluruh dunia.

Yang tercinta Ibu Nawal, kita berhutang ide dan keberanian. Selamat jalan Nawal el Saadawi, berkat keberanianmu, kini kami tak perlu berjuang dari titik nol.

Tulisan ini pernah menjadi pengantar dalam sebuah diskusi online.

Suci Mayang Sari
Suci Mayang Sari
Suci Mayang Sari. Arsitek lulusan Universitas Trisakti. Pernah memenangkan lomba revitalisasi gedung tua “Kuntskring Gebouw” di Menteng Jakarta. Semasa kuliah aktif di senat mahasiswa Trisakti. Ia ada di tengah peristiwa 12 Mei 1998, saat terjadi penembakan 4 kawannya, yang kelak diingat sebagai pahlawan reformasi. Pernah menjadi wartawan di KBR 68H Utan Kayu. Setelah itu bergabung dengan The Indonesian Institute. Menyelesaikan S2 untuk master CSR di Universitas Trisakti. Kemudian tinggal di Bonn Jerman selama 4 tahun. Penikmat kesenian sebelum akhirnya berani terlibat di teater melalui kelas akting salihara. Suci Mayang Sari kini Bendahara Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.