Jumat, April 19, 2024

Nasib PLN, Maju Kena Mundur Kena

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais

Hidup di kota besar yang semrawut seperti Jakarta memang penuh kekhawatiran. Jika datang musim penghujan, selain ancaman banjir, listrik byar-pet sudah langganan.

Info terbaru yang saya terima, banjir kembali menghantui Jakarta. Beberapa lokasi terdampak di antaranya, Pasar Minggu, Cempaka Putih, Kemayoran, dan banyak lagi.

Dalam kondisi banjir itu, PLN mematikan jaringan listrik. Tentunya untuk mencegah hal buruk yang tidak diinginkan.

PLN seringkali dijadikan kambing hitam. Disalah-salahkan. Padahal ya, isinya mereka itu kebanyakan enginer. Tahunya kerja dan kerja. Gak paham politik-politikan.

Bandingkan dengan Pertamina. Hari ini, siapapun yang tahu apa di dalam Pertamina akan geleng-geleng kepala.

Tapi soal Pertamina lain kali kita bicarakan. Saya ingin sedikit membeberkan hasil diskusi dengan seorang teman di PLN. Ternyata ada banyak hal yang tidak saya pahami sebelumnya. Pantas saja PLN ini serba salah. Maju mundur kena.

Berbicara mengenai pemadaman listrik misalnya. Di Jakarta yang langganan banjir, PLN terpaksa memadamkan aliran listrik. Bukan karena ada kerusakan sistem.

Bahkan ada wilayah yang dalam sejarahnya, belum pernah banjir sejak 90-an. Tapi di era gubernur barokah, tempat mereka kelelep.

Kalau tidak segera dipadamkan bahaya. Akan ada banyak nyawa melayang. Bahkan bisa terjadi blackout lagi. Seperti kasus Sengon di Jawa Tengah tempo hari.

Tetapi semua orang tetap menyalahkan PLN. Gubernur yang kurang sigap, banyaknya perumahan baru dan hal-hal yang menyebabkan banjir ya tidak dipersoalkan.

Intinya PLN harus siap salah.

Soal tarif dasar listrik (TDL) juga begitu. Mendekati musim politik contohnya, tarif PLN akan ditekan. Gak boleh naik. Karena kenaikan TDL akan berakibat fatal bagi pencitraan politikus. Maka PLN harus menanggung risiko rugi.

Karena biaya pembelian batubara dan gas menggunakan Dolar Amerika yang cenderung naik. Sementara mereka menjualnya dengan rupiah.

Tapi ya sekali lagi, PLN tak boleh rugi. Kalau sampai rugi, kalian kerjanya apa? Begitu kata banyak orang.

Akhirnya PLN sekarang ini galak. Telat dikit dicabut. Karena jika uang mereka mengendap terlalu lama, akan berakibat buruk bagi keuangan mereka. Kalau sampai rugi, direksi mereka akan dikepret sana-sini.

Sekarang yang sedang jadi gorengan politisi adalah soal proyek realisasi operasi pembangkit listrik 35.000 MW. Konon progres terkini dari proyek itu baru 19 persen. Sebagian politisi memang menyalahkan Jokowi.

Orang-orang lantas menunjuk hidung PLN sebagai kambing hitam. Saya bertanya pada teman saya itu, “Memang masalahnya di mana, kenapa kerja kalian lambat?”

Ternyata kata dia, negara ini sekarang surplus listrik. Jika proyek itu dikebut, akan ada banyak pasokan yang terbuang sia-sia. Ujung-ujungnya ya PLN yang rugi. Karena beli batubara dan gas pakai duit, bukan pakai daun singkong.

Ditambah lagi, program itu dulunya dengan acuan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Itu artinya, kebutuhan listrik akan meningkat pesat jika ekonomi mencapai pertumbuhan sedemikian tinggi.

Faktanya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5 persen. Ada banyak penyebabnya, perang dagang salah satunya.

Oleh sebab itu, PLN bersikap realistis. Pembangunan pembangkit dan jaringan baru disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi itu. Tidak boleh mubadzir, karena itu akan bikin kantong mereka jebol.

Memang ada wacana kendaraan listrik. Tujuannya untuk menyerap surplus listrik itu. Tapi wacana itu masih jadi wacana. Sekadar unjuk gagah-gagahan. Harga kendaraan listrik masih mahal gila-gilaan. Komponen utamanya kebanyakan masih impor.

Tetapi, teman saya itu menjelaskan, surplus listrik harus tetap dijaga. “Lho kok bisa?” kata saya. “Itu kan pemborosan bahan bakar?”

Ternyata, idealnya listrik harus tetap surplus 25-30 persen dari kebutuhan. Tujuannya, supaya pembangkit listrik yang sedang perawatan tidak terganggu distribusinya. Ditambah lagi kalau ada investor mau bikin pabrik misalnya, listriknya harus siap dulu.

Mosok mau bangun pabrik listriknya menyusul naik angkot?

Menurut dia, Singapura saja surplus listriknya mencapai 100 persen. Maka tarif listrik di sana mahal sekali. Karena biaya kelebihan pasokan itu ditanggung konsumen. Di sana tentu tidak ada yang protes. Kalau itu dilakukan di sini, bisa demo berjilid-jilid.

Tetapi, barangkali sudah nasib perusahaan setrum itu untuk selalu dijadikan kambing hitam. Apalagi jika ada politisi yang tidak senang dengan direksi mereka. Dicari celah terkecilnya. Dibebes (dianiaya), kalau orang Jawa bilang.

Saya membayangkan muka teman saya itu saat bercerita soal dilema pekerjaannya. Terus terang, saya kasihan. Apalagi untuk daerah rawan banjir seperti Jakarta, dengan gubernur yang… sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

Tabahkan hatimu, Bro, teruslah bekerja sebaik-baiknya. Begitulah rasanya jadi kambing hitam. Kalau pelanggan ngomel, belajarlah budeg seperti gubernur Jakarta…

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.