Jumat, Maret 29, 2024

Narasi Populisme Anies Baswedan yang Gabener

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Salah satu kunci utama menggerakkan populisme akar rumput adalah menciptakan musuh bersama dengan mengumpulkan perasaan terancam. Melalui narasi semacam ini imajinasi keberpihakan kemudian dibayangkan dan dihidupkan. Dalam politik elektoral, populisme kemudian dijadikan alat politik mendulang suara. 

Membangun sentimen dengan cara seperti ini merupakan tren beberapa tahun belakangan, tidak hanya di Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, Brexit di Inggris,  Filipina di bawah Duterte,  melainkan juga kampanye Prabowo saat melawan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019.

Dalam konteks nasional, khususnya Jakarta, Gubernur Anies Baswedan juga mempraktikkan populisme melalui retorika dan narasi yang dikemas dalam menata kebijakan yang seolah-olah berpihak kepada orang kecil, kelompok Islam, dan masyarakat tertindas. Sebelumnya, sebagaimana diketahui, narasi-narasi semacam ini berhasil membangkitkan sentimen keagamaan. Populisme Islam melalui mobilisasi massa berjilid-jilid akhirnya memaksa negara memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas tuduhan penodaan agama dalam momentum Pilkada DKI Jakarta (2017).

Setidaknya ada tiga kebijakan yang bisa dilihat bagaimana narasi-narasi keberpihakan-kebijakan Anies dipraktikkan dalam membangun Jakarta.

Pertama, penataan Tanah Abang pada akhir tahun 2017. Selain dianggap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, penataan pasar tersebut bagi Anies adalah sebagai “berpihak kepada mereka yang juga ingin mendapatkan kesempatan hidup, kesempatan merasakan peredaran kegiatan ekonomi di wilayah Tanah Abang” (kompas.com, 26 Desember 2017).

Memang, ada banyak pedagang kaki lima (PKL) yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut, meski dampaknya justru menjadi destruktif; penataan Tanah Abang yang sebelumnya lebih bersih, rapi, dan tertata justru saat ini kembali semrawut, tingkat kemacetan yang parah membuat ketidaknyamanan dan kesemrawutan. Tidak hanya bagi orang yang berkunjung, tapi juga para pedagang yang sudah menyewa ruko-ruko. Selain itu, kebijakan tersebut justru melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kedua, antireklamasi. Ahok mengizinkan reklamasi terus dilakukan, yang sebelumnya telah dirancang oleh Presiden Suharto sejak 1990. Alasan utamanya, pengembang reklamasi pulau tersebut akan memberikan kontribusi sekitar Rp 128 triliun atau sekitar 15%. Dengan kontribusi sebesar itu, ia tidak hanya akan membangun rumah nelayan, tempat penampungan ikan, melainkan juga rusun-rusun untuk warga Jakarta, dan infrastruktur LRT. Apalagi, ia sedang menyiapkan undang-undang di mana seluruh sertifikat pulau reklamasi itu atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (kompas.com, 12 April 2017).

Berbeda dengan Ahok, Anies ingin menutup reklamasi tersebut dalam kampanye politiknya di Pilkada DKI Jakarta, yang didukung oleh sejumlah intelektual publik, aktivis NGO, dan akademisi. Iktikad Anies ini ternyata dibuktikan dengan menutup secara permanen proyek pulau reklamasi tersebut dengan mencabut izin 13 calon pulau reklamasi pada 26 September 2018.

Dengan elegan Anies mengatakan, “Republik ini harus berwibawa di mata semua. Jangan sampai republik ini kendur, longgar, dan justru takluk melihat pembangunan seperti ini dilakukan tanpa izin yang benar. Itu mengganggu kewibawaan negara.” (detik.com, 25 Juni 2019).

Namun, isu reklamasi yang digunakan untuk melawan Ahok justru kemudian ditelannya kembali ketika ia tidak mencabut Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 yang mengatur soal panduan rancang kota pulau C, pulau D, dan pulau E hasil reklamasi di utara Jakarta. Pergub ini juga yang dijadikan dasar bagi Anies menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) terhadap sejumlah bangunan di pulau reklamasi.

Ia kemudian berdalih atas nama peraturan. “Bayangkan jika sebuah kegiatan pembangunan gedung yang telah dikerjakan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat itu bisa divonis jadi kesalahan, bahkan dikenai sanksi dan dibongkar karena perubahan kebijakan di masa berikutnya, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada peraturan gubernur dan hukum, karena pernah ada preseden seperti itu.” (www.cnnindonesia.com, 19 Mei 2019).

Dalih kepercayaan dijadikan legitimasi untuk membenarkan keberpihakannya kepada pengembang dan tentu saja ikutan keuntungan yang didapatkan di tengah ketiadaan transparansi atas kebijakan tersebut seperti dilakukan Ahok. Terang saja kebijakan ini membuat kelompok koalisi NGO yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta marah dan melakukan protes di depan Gedung Pemprov DKI.

Ketiga, instalasi seni Getah-Getih yang digunakan untuk menyambut Asian Games 2018 di pusat ibu kota. Tidak hanya menuai kritik, instalasi dari bambu itu dianggap pemborosan bagi masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta dengan menelan biaya Rp 550 juta. Seperti diberitakan, tingkat kekuatan dari bambu tersebut justru semakin berkurang dan memperburuk wajah kota dan kemudian dicopot.

Namun, alih-alih mengoreksi kebijakannya, Anies menegaskan apa yang dilakukannya ini sebenarnya bentuk keberpihakan bagi rakyat kecil, khususnya pengrajin bambu asal Jawa Barat. Sebagaimana diungkapkannya di Balai Kota, “Uang itu diterima oleh rakyat kecil. Kalau saya memilih besi, maka itu impor dari Tiongkok mungkin besinya. Uangnya justru tidak ke rakyat kecil.” (tempo.co, 22 Juli 2019).

Di sini, lagi-lagi, ia menggunakan narasi rakyat kecil yang dianggap berpihak, meski sebenarnya itu jelas-jelas pemborosan. Ungkapan kata “Tiongkok” juga memiliki preferensi yang sebelumnya dijadikan narasi kebencian dalam Pilpres 2019 saat menyerang Jokowi.

Tiga contoh kebijakan tersebut sebenarnya menunjukkan betapa Anies sangat lihai membaca momentum dengan membangun sentimen publik dan memainkan narasi orang-orang kecil sebagai bentuk keberpihakan melalui kebijakan yang dibuat. Meskipun dari representasi tiga kebijakan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa dia tidak serius membangun Jakarta. Singkatnya, kebijakan Anies Baswedan salah kaprah (baca: gak bener). Dia sekadar menjalankan kebijakan sebelumnya yang sekiranya menguntungkan dirinya dan kebijakan yang justru blunder, tapi dengan dalih rakyat kecil.

Yang menarik, ketidaksungguhan dan kesalahkaprahannya ini kemudian ditutupi dengan narasi-narasi yang seolah berpihak, yang membuat orang yakin atas kesungguhannya membangun Jakarta. Narasi berpihak ini membangunkan sentimen-sentimen tidak hanya keagamaan, etnis, tapi juga perasaan kalangan bawah yang tak bisa masuk dalam ceruk pembangunan narasi besar kapitalisme.

Melalui narasi inilah Anies menghidupkan ulang ceruk populisme Islam di mana setelah kekalahan Prabowo belum mendapatkan ruang kembali dalam diskursus politik nasional, tepatnya setelah Jokowi dan Prabowo rekonsiliasi. Narasi-narasi populisme semacam ini yang tampaknya akan terus dimainkan untuk menciptakan peluang dan momentum dalam Pemilihan Presiden 2024.

Konten terkait

Kebijakan Publik Jakarta, Antara Jokowi, Ahok, dan Anies

“Pribumi” Anies dan Politik Sentrifugal

Mengurai Logika Kebijakan Gubernur Anies

Kemiripan Anies dengan Trump: Rasisme dan Politik “Siulan Anjing”

Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.