Selasa, Oktober 15, 2024

Nalar Anomali Basuki

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kedua kanan) memaparkan gagasan didampingi Wakil Gubernur Banten Rano Karno (kiri), Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mizwar (kedua kiri) dan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar (kanan) ketika diskusi Pembentukan UU Megapolitan yang diinisiasi oleh DPD RI di gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2). Diskusi tersebut mengenai perubahan iklim, pembangunan infrastruktur dan permukiman, serta pemeliharaan lingkungan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Koz/pd/14.
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Koz/pd/14.

Baginya, tak ada kesantunan yang harus ditunjukkan di hadapan orang- orang yang dianggapnya koruptor dan perampok uang rakyat.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama merupakan sosok unik yang menyebalkan bagi sebagian orang, tapi bisa jadi inspirasi untuk sebagian yang lain. Saking uniknya, Basuki bisa disebut anomali, baik dalam tindakan dan tutur kata maupun cara berpikirnya.

Secara etimologis, anomali berarti ketidaknormalan; penyimpangan dari yang normal. Secara terminologis, anomali diartikan sebagai suatu keganjilan, keanehan, atau penyimpangan dari yang biasa atau dari keadaan normal yang berbeda dari kondisi mayoritas.

Anomali merupakan fenomena yang bisa terjadi dalam banyak kasus. Misalnya, dalam kondisi cuaca, suhu udara, dan arah angin (meteorologi dan geofisika); dalam kondisi fisik dan kejiwaan seseorang (psikologi); dalam penyimpangan harga-harga (ekonomi); dalam perubahan sosial dan masyarakat (sosiologi); dan dalam perilaku politik seseorang (politik). Sekadar contoh, kondisi cuaca disebut anomali ketika banyak turun hujan pada bulan-bulan musim kemarau (di daerah tropis seperti Indonesia biasanya antara April – September).

Secara politik bisa disebut anomali ketika terdapat penyimpangan dari kelaziman dan aksioma politik yang sudah berlaku secara umum. Misalnya, jika ada pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut tapi bersih dari korupsi, maka ia bisa disebut anomali. Mengapa demikian? Karena terdapat aksioma politik power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely (Lord Acton, 1834-1902) maka penyimpangan atas aksioma ini bisa disebut anomali.

Kalau kita cermati, perilaku politik Basuki secara umum bisa kita sebut anomali, karena ia “menyimpang” dalam banyak hal. Misalnya, sebelum menjadi populer seperti sekarang, ia pernah terpilih menjadi Bupati Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, yang mayoritas penduduknya muslim.

Keterpilihan Basuki menjadi anomali, karena pada umumnya penduduk akan memilih pemimpin yang seagama dengan dirinya. Apalagi masih terdapat pula keyakinan bahwa bagi seorang muslim — yang diperkuat fatwa ulama –haram hukumnya memilih pemimpin non-muslim.

Faktanya, Basuki adalah pemimpin non-muslim yang terpilih dalam masyarakat (daerah pemilihan) yang mayoritas muslim. Bahkan, ia terpilih beberapa kali (satu kali untuk mengisi kursi DPRD, dua kali untuk kursi bupati, dan satu kali untuk kursi DPR).

Selama menjadi anggota DPR, Basuki tidak pernah memanfaatkan uang negara seperti uang reses di luar peruntukannya. Jika terdapat sisa dari uang yang diterima (karena tak ada lagi kegiatan yang harus dibiayai dengan uang negara), maka uang itu akan ia kembalikan ke kas negara.

Selain itu, selama menjadi pejabat negara, Basuki tidak pernah mau menerima imbalan dari pihak mana pun, kecuali gaji yang diterima secara resmi. Kebiasaan yang “tidak biasa” ini sudah dilakoninya sejak belum ada undang-undang yang melarang gratifikasi.

Ketika memimpin Provinsi DKI Jakarta (sebagai wakil gubernur mendampingi Joko Widodo, atau sebagai gubernur), anomali Basuki kian banyak diketahui publik. Sebab, ia selalu merekam dan mengunggah ke media sosial Youtube setiap rapat yang ia lakukan bersama jajaran dan staf-stafnya — terutama rapat-rapat yang akan memutuskan hal-hal krusial. Dan, apa pun yang Basuki lakukan saat ini, tak pernah luput dari incaran kamera dan liputan media.

Di antara anomali Basuki, yang banyak menjadi sorotan publik adalah kebiasaannya mengumbar kemarahan di muka umum. Ada norma yang berlaku secara umum bahwa pemimpin adalah teladan bagi masyarakat. Karena itu, pemimpim pada umumnya akan selalu menunjukkan kesantunan dalam bertutur kata dan berperilaku, terutama pada saat berada di muka umum.

Norma (pemimpin harus santun) tidak berlaku bagi Basuki. Baginya, tak ada kesantunan yang harus ditunjukkan di hadapan orang-orang yang dianggapmya koruptor dan perampok uang rakyat. Menurut Basuki, kemarahan adalah “kesantunan” bagi orang-orang yang dianggapnya jahat.

Anomali Basuki yang lain adalah kontrolnya terhadap lembaga legislatif (DPRD DKI Jakarta). Dalam norma yang umum, yang punya fungsi kontrol (fungsi pengawasan) adalah lembaga legislatif dan yang dikontrol adalah lembaga eksekutif, sebagaimana diatur dalam konstitusi negara (UUD 1945).

Basuki membalik fungsi itu. Sebagai gubernur (pejabat eksekutif) ia mengontrol legislatif (DPRD DKI) dengan cara mengoreksi total APBD yang diajukan DPRD dan menandai satu per satu mata anggaran yang diduga kuat menjadi lahan korupsi. APBD yang dikoreksinya itu tidak dikembalikan ke DPRD untuk disahkan, malah ia setorkan langsung ke Kementerian Dalam Negeri, dan melaporkan kemungkinan terjadinya korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Secara prosedural, Basuki dianggap salah, tetapi ia sengaja melakukan itu karena tidak mau berkompromi atau bernegosiasi dengan DPRD yang dianggapnya menjadi sarang korupsi. Nalar politik Basuki mengatakan, kontrol terhadap pejabat publik bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Sebab, di luar norma institusional yang diatur undang-undang, ada norma sosial yang dibimbing nalar.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.