Belakangan ini muncul diskursus yang berkitan dengan amandemen kembali konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945. Wacana mengenai amandemen terbatas UUD 1945 mengemuka, usulan ini menuai pro dan kontra. Tidak hanya sekadar amandemen UUD 1945, tetapi wacana untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga turut disinggung.
Bahkan, lebih jauh sejumlah tokoh justru menginginkan UUD 1945 kembali ke naskah aslinya yang sesuai dengan amanat proklamasi. Kondisi ini semakin terlihat serius dengan direkomendasikannya tugas mengamandemen UUD 1945 oleh MPR periode 2014-2019 kepada MPR periode 2019-2024 pasca peringatan hari konstitusi 18 Agustus 2019 yang lalu.
Amandemen konstitusi sejatinya bukanlah sesuatu yang asing dalam sebuah negara hukum (rechtsstaat), sebagai contoh negara seperti Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1776 memiliki konstitusi negara tertua dalam sejarah yang ditetapkan tahun 1787, dimana setidaknya tercatat telah 27 kali mengalami perubahan dengan amandemen terakhir terjadi pada tahun 1992. Namun seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan di Amerika tuntutan perubahan perlahan semakin berkurang.
Secara historis Indonesia juga sudah melakukan amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945, proses perubahan pertama terjadi pada tanggal 19 Oktober 1999 dan berhasil mengamandemen 9 pasal. Beberapa bulan setelahnya, tanggal 18 Agustus 2000, amandemen kembali dilakukan dengan 25 pasal diubah. Kemudian, pada 9 November 2001, 23 pasal diubah dalam amandemen. Terakhir, 10 Agustus 2002, proses amandemen mengubah 13 Pasal, 3 pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan. Amandemen tersebut membawa perubahan besar mulai dari sistem ketatanegaraan Indonesia, jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemilu hingga perlindungan hak asasi manusia.
Tidak dapat dipungkiri kemudian setelah lebih dari 16 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen tersebut, ternyata dalam praktek ketatanegaraan yang berjalan ditemukan sejumlah keterbatasan dan kelemahan. Mulai dari lemahnya kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan, masih lemahnya sistem presidensil, kurangya pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi, tidak adanya calon presiden perseorangan, tidak optimalnya peran Komisi Yudisial hingga tidak diaturnya KPK sebagai lembaga negara dalam konstitusi.
Sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), UUD 1945 sebagai konstitusi tentu diharapkan berlaku dalam jangka waktu yang lama dan tidak mudah usang ketika dihadapkan dengan perkembangan zaman. Sayangnya sebagai hasil karya manusia, sering kali pasal-pasal konstitusi memiliki keterbatasan dan tidak mampu lagi berlari mengikuti perkembangan peradaban masyarakat.
Para pendiri negara (the founding fathers) Indonesia sebenarnya sejak awal mendesain UUD 1945 sebagai konstitusi yang bersifat sementara. Bahkan presiden Soekarno dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan dalam suasana negara yang lebih tentram. Kesementaraan itu semakin terkonfirmasi dengan adanya Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana untuk melakukan perubahan.
Dalam Pasal 37 tersebut dijelaskan bahwa usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR dan khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Sehingga dapat dipahami dalam perspektif historis dan yuridis amandemen merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk menjawab perkembangan masyarakat. Disamping itu, hal ini juga membuktikan bahwa keberadaan UUD 1945 sejatinya merupakan wujud konstitusi yang hidup (living constitution) bukan menjadi konstitusi yang mati (dead constitution) dengan terbuka dan berlaku dinamis terhadap perubahan namun tetap memperhatikan syarat-syarat serta mekanisme yang ditentukan berdasarkan persetujuan rakyat.
Menakar Alasan Amandemen
Alasan dilakukannya amandemen konstitusi tidak boleh mencerminkan hasil kesepakatan politik yang hanya memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang bersifat pragmatis dan parsial belaka. Amandemen konstitusi harus mampu menjangkau kebutuhan bangsa secara luas dan jauh ke depan, serta berlangsung dalam proses politik yang objektif, independen dan netral. Hal ini hanya mungkin tercapai jika dalam proses pembentukannya terbebas dari tarikan intervensi kepentingan politik pragmatis jangka pendek.
Hal ini tidak terlihat dalam gagasan amandemen yang diwacanakan oleh MPR saat ini karena isu utama yang diangkat tidak lebih dari upaya untuk menghidupkan kembali GBHN. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa UUD 1945 setelah amandemen tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga membuat kedudukan MPR sejajar dengan lembaga negara lainnya.
Konsekuensi ketentuan itu menjadikan MPR tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Jika ditelusuri lebih jauh, niat MPR untuk menghadirkan kembali GBHN tidaklah beralasan kecuali hanya ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara karena tentu GBHN yang dijalankan pemerintah nantinya akan sepenuhnya dimintai pertanggungjawabannya oleh MPR.
Selain itu, sulit menutup mata bahwa wacana amandemen konstitusi saat ini tidak sarat dengan kepentingan politik praktis di MPR. Adanya wacana penambahan kursi pimpinan MPR yang sebelumnya berjumlah 8 menjadi 10 dengan rincian 9 dari partai politik yang lolos ke DPR dan 1 dari DPD menggambarkan seakan “bagi-bagi kursi kekuasaan” tengah terjadi di MPR.
Lebih jauh, jika dicermati wacana amandemen terutama terkait isu GBHN baru muncul setelah pemilu dilaksanakan bukan dijadikan “jualan” saat kampanye oleh masing-masing partai politik yang setuju dengan GBHN sehingga saat ini tidak bisa dilihat dukungan masyarakat terhadap wacana tersebut. Atas dasar itulah partisipasi publik menjadi sangat penting posisinya terhadap perlu atau tidaknya sebuah amandemen konstitusi karena kedaulatan ada di tangan rakyat bukan di tangan MPR lagi.
Akhirnya jangan seperti ucapan Bung Hatta “persatuan yang dicari, persatean yang didapat”. Jangan amandemen konstitusi yang bermaksud memperkokoh sendi-sendi negara kesatuan menjadi biang berbagai ketidakpuasan. Karena secara arti amandemen berasal dari kata to amend yang berarti membuat lebih baik dan menghapus sebuah kesalahan. Untuk itu, cara pandang dan gagasan amandemen konstitusi semestinya diletakkan secara objektif menurut nalar akal pikiran yang sehat (common sense) dan tidak terpengaruh oleh perilaku dan anasir-anasir kepentingan politik semata.