Sabtu, April 20, 2024

Bung Hatta dalam Politik Distributif dan Kedaulatan Rakyat

Abi Rekso Panggalih
Abi Rekso Panggalih
Sekjen DPN Pergerakan-Indonesia.

Sejak muda Hatta sudah cukup yakin dengan sistem pemerintahan yang harus dikelola dengan mekanisme demokrasi. Dalam sikap pembelaannya di Belanda, Bung Hatta menggugat prinsip-prinsip demokrasi Barat terhadap realitas politik kolonialisme Hindia Belanda.

Selain penjajahan bangsa lain, Hatta melihat kepemimpinan yang otoritarian oleh bangsa sendiri juga menjadi ancaman terhadap rakyat. Hal ini diperlihatkan pada pemerintahan fasis di Jerman. Pemerintahan totalitarian Hitler melahirkan sengsara untuk bangsa Jerman dan bangsa lain.

Landasan Hatta menyetujui sistem demokrasi, memanglah akar dari Barat di mana sistem ini adalah konsekuensi logis atas penalaran liberalisme. Pandangan liberalisme ini mengacu pada persoalan kebebasan dan perlindungan hak-hak individu, serta mempertimbangkan aspek-aspek lain. Cara berfikir seperti ini banyak diadopsi oleh kelompok utilitarian seperti Bentahm dan J.S Mills pada abad 19, dengan slogan ‘the great happiness is the great number’.

Apabila cara pandang itu diterapkan dalam kehidupan sosial-politik masyarakat, maka secara logis interaksi ekonomi akan melahirkan sistem kapitalisme yang menganggap setiap manusia sebagai ‘homonicus economic’, titik inilah yang menjadi orientasi kritik Hatta. Paling tidak keyakinan Hatta terhadap demokrasi tidaklah meletakkan seutuhnya pada konsep liberalism. Karena Hatta juga ingin menekan dan mempertimbangkan aspek sosialisme dalam praktek demokrasi di Indonesia.

Secara umum ada dua prinsip demokrasi yang ingin kita garis bawahi dalam pandangan Hatta, pertama adalah kepemimpinan yang tidak berjalan pada pola otoritarian. Kedua penekanan pada prinsip sosialisme (persaudaraan, keadilan dan kesetaraan) dalam kedudukan lembaga-lembaga negara dan proses politik.

Selanjutnya kita akan melacak kembali pandangan Hatta yang berkaitan dengan dua prinsip tadi dalam memahmi demokrasi dan menuju praktek demokrasi di Indonesia. Dalam opininya di surat kabar Pemandangan tahun 1934 dengan judul ‘Fasisme dan Paradoks’, bisa mewakilkan pandangan Hatta atas kegelisahan terhadap otoritarian dan ultra-nasionalisme.

Jauh hari sebelum Indonesia merdeka Hatta tidak menginginkan bentuk negra merdeka yang akan mengarah fasisme, ini menjadi mungkin karena situasi Hatta menulis artikel ini. Di saat fasisme menjadi kekuatan baru di Eropa yang merugikan gerakan buruh dan membunuh sistem demokrasi.

Hatta menulis, dasar fasisme dalah berontak menentang keadaan yang ada. Dan dipandang dalam kacamata lain adalah tanda yang menyatakan satu ‘minder waardigheids –complex’. Mussolini yang bermula memeluk sosialisme, membantingkan pikirannya yang lama itu. Pada sangkanya demokrasi dan sosialisme-lah yang bersalah atas keadaan yang merendahkan derajat Italia di mata pergaulan internasional. Inilah satu paradoks yang didapat dalam pergerakan fasisme di Italia.

Hatta melanjutkan, mula-mula Mussolini sebagai sosialis dia berjuang untuk membela nasib kaum buruh, hendak mengangkat derajat kaum proletariat. kemudian sebagai fasis dia hendak mengangkat derajat bangsanya yang diperlakukan sebagai proletariat sebagai dunia luaran. Untuk mencapai Cooperative Staat itu, Mussolini menindas segala pergerakan yang yang menganjurkan perjuangan kelas dan menghancurkan pergerakan pekerja lama yang berdasar pada klassentrijd itu.

Kaum buruh dan kapitalis diperintah bekerja bersama-sama dibawah penjagaan Staat, yang memegang segala kekuasaan. Dan fasisme tidak menghilangkan milik privat atas alat perusahaan besar, sehingga dasar kekuatan besar kaum kapitalis tidak terganggu. Menurut kedudukan yang seperti itu, tidak heran kalau kaum kapitalis bergantung pada Mussolini. Fasisme dianggap oleh mereka sebagai tempat tiang bergantung dan sendi untuk bertahan, menentang dan menghancurkan demokrasi yang bertambah lama bertambah besar dan kuat” (Fasisme dan Paradoks, 1934).

Dalam sikapnya, Hatta memunculkan sebuah paradoks dalam sistem fasisme. Pandangan fasisme itu dapat mengancam kebebasan dan kesejahteraan kaum bawah, dalam hal ini bisa diartikan kelas pekerja dan petani miskin. Kegelisahan akan kelahiran fasisme di Indonesia bukanlah tanpa alasan bagi Hatta.

Fasisme dapat dipahami sebagai kebusukan atas sosialisme, persoalan dalam menegakkan sosialisme masa PD II menggiring tokoh-tokoh sosialis di dunia untuk menarik demarkasi kebangsaan dan menjadi aktor perang yang berjalan bersamaan dengan kebencian rasial.

Wiliam Ebenstein berpendapat, gejala persoalan fasisme bisa menyerang sebuah bangsa yang putus harapan akan realitas situasi, sehingga fasisme seolah secara langsung menawarkan kebangkitan dengan membunuh demokrasi dan menghapuskan hak azasi manusia secara massal. Politik seperti ini dikokohkan atas gerakan ‘Nasionalisme’ menuju ‘Ultra-Nasionalis’ dan disemai benih kebencian rasial yang harus bertanggung jawab atas kegagalan bangsanya (Ebenstein, 2006).

Dengan alasan seperti ini jugalah Hatta sangat riskan dengan kemunculan fasisme dalam tubuh pergerakan kemerdekaan. Apabila kita kembali memahami gagasan Hatta yang dituliskan setelah dia kembali ke Indonesia dan memimpin PNI Pendidikan bersama Sjahrir. Ini adalah satu era dimana Hatta mulai masuk dalam kehidupan negri jajahan Hindia Belanda. Sehingga kita menemukan satu oase intelektual seorang Hatta yang berdiri diatas kondisi riil (sebenarnya). Dari banyak pandangannya kita berupaya menangkap insight yang dipancarkan Hatta, Hatta lebih cenderung memiliki pandangan yang reformis ketimbang Soekarno yang revolusioner dan meledak-ledak diatas podium.

Bagi Hatta revolusi tidak selalu melahirkan tatanan sosial yang lebih baik, atau justru sebaliknya menjadi lebih buruk. Karena dalam revolusi sosial, para aktor revolusioner tidak bisa teridentifikasi dalam strata moral dan militansi perjuangan. Dan banyak golongan opurtunis yang mengambil kesempatan untuk dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat yang semula dibelanya.

Pandangan serupa ditulis Hatta dalam ‘Menuju Indonesia Merdeka’, yang dikutip oleh Zulfikri Suleman; “demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme” (Suleman, 2010).

Kutipan itu memiliki benang merah dalam pandangan Hatta soal kediktatoran fasisme dan kondisi revolusi yang sedang berjalan di Indonesia menuju kemerdekaan, kala itu. Hatta tidak menginginkan gerakan revolusi kemerdekaan menjadi sebuah paradoks dikemudian hari, maka dari itu Hatta lebih memiliki kecenderungan pada pilihan reformis. Meskipun sikap itu tidak menghilangkan semangat Hatta untuk memerdekakan Indonesia.

Dikemudian hari Hatta (bersama Soekarno) menjadi kolaborator dengan Jepang, yang memberikan sebuah penilaian inkonsistensi terhadap semangat anti-fasis. Deliar Noer menuliskan, bahwa pemerintahan fasis Jepang memperlihatkan gaya militerisme dan totalitarian ditengah-tengah perang pasifik.

Gaya pendudukan Jepang menjadi teror kematian bukan saja untuk rakyat tapi juga bagi pemimpin gerakan kemerdekaan. Hatta mendapat ancaman dibunuh oleh Kempeitai karena Hatta dianggap komunis (Noer, 1990). Situasi ini membuat Hatta harus berkolaborasi dengan Jepang pada kebijkan Romusha.

Pada masa itu Hatta juga menggelorakan semangat untuk mendukung Jepang dalam kondisi perang pasifik melalui pidato dan tulisan-tulisannya. Meskipun Hatta juga menyisipkan semangat kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan bangsa lain, dimana Hatta kembali menyampaikan pikiran-pikiran yang di tuliskan pada masa 1920’an untuk kembali menyuntikan semangat nasionalisme (Noer, 1990).

Selain itu kita juga bisa memahami kenapa Hatta memilih menjadi kolaborator ketimbang keluar menjadi oposisi. Ada pertimbangan lain, Hatta harus tetap mengawal semangat nasionalisme Soekarno dengan pandangan-pandangan Sosialismenya, sehingga paradigma Soekarno tidak terjebak pada gejala-gejala fasisme dikemudian hari. Ini bisa juga beralasan, karena Hatta adalah sosok sosialis yang masih bercengkrama dengan Soekarno sampai mengantarkan ke pintu gerbang kemerdekaan (ketimbang Sjahrir, yang sedari awal menjadi kritikus Soekarno).

Hatta belajar dari gejala fasisme di Eropa dimana tirani mayoritas akan hidup berdampingan bersama totalitarian-militeristik. Tidak ada demokrasi dalam iklim politik yang tunggal, karena kekuasaan politik dan ekonomi hanya terpusat pada satu titik saja. Maka kritik Hatta terhadap individualisme menghasilkan antisis dari kolektivisme sebuah kearifan lokal masyarakat Indonesia, yang bisa dijadikan potensi menjalankan demokrasi parlementer.

Dalam “Demokrasi Kita” dia kembali menekankan pada aktivitas desa sebagai tulang punggung demokrasi. Bagi Hatta, dalam masyarakat desa asli Indonesia, tanah bukanlah milik seorang melainkan kepunyaan desa. Orang-orang hanya punya hak pakai. Orang-seorang dapat mempergunakan tanah yang masih kosong sebanyak yang dapat didapat dikerjakannya utuk keperluan hidupnya sekeluarga. Hanya menjual ia tidak boleh. Semangat kolektif ini ternyata pula pada: melaksanakan pekerjaan yang berat-berat, yang tidak terpikul oleh orang-seorang, menggarap sawah, memotong padi, membuat rumah, mengantar mayat ke kubur, membuat pengairan dan banyak lagi lainnya. Semua pekerjaan itu dilakukan bersama-sama secara gotong royong” (Hatta, 1992: 145).

Dalam tulisannya itu Hatta kembali menekankan kearifan lokal yang sebenarnya sudah mengandung prinsip-prinsip kebersamaan. Bagi Hatta pandangan ini dapat melahirkan kedaulatan rakyat yang kokoh. Ini adalah prinsip-prinsip Hatta yang berbeda dengan Soekarno dan Soepomo yang lebih cenderung pada negara kesatuan. Meskipun mereka sama-sama tidak sepakat pada paham liberalism, namun dalam menginternalisasi bentuk negara pemahan antara ‘kebersamaan’ dan ‘persatuan’ menjadi ide yang sulit disatukan dalam siding-sidang BPUPKI (Suleman, 2010).

Politik distribusi kekuasaan bagi Hatta semakin nyata setelah dia mengeluarkan Maklumat No.X tanggal 16 Oktober 1945. Mengubah dari sistem presidensial kearah parlementer. Langkah yang pertama dilakukan Hatta adalah peningkatan status KNIP menjadi pengganti DPR dan mengambil sebagian tugas MPR.

KNIP menjadi lembaga legeslatif perwakilan rakyat yang setara dengan lembaga eksekutif Presiden. Sehingga MPR bersama Presiden bermusyawarah untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Semenjak itu, banyak terjadi peralihan kekuasaan wewenang dalam lembaga tinggi negara (Noer, 1990). Proses peralihan wewenang dalam tata negara yang masih baru pun terus bergulir.

Setelah menekan sistem parlementer, secara logis dibutuhkan lahirnya banyak partai. Sehingga untuk menunjang sistem parlementer, Hatta mengeluarkan Maklumat 3 November 1945. Dimana dalam maklumat ini dianjurkan untuk membentuk partai banyak untuk mendukung pemilu di tahun 1946, meski pemilu tertunda karena adanya agresi militer Belanda (Noer, 1990).

Konsep kedaulatannya berdampak secara linear pada konsep sebuah kekuasaan, seperti yang sudah disinggung sebelumnya Hatta tidak menghendaki sebuah kekuasaan yang terpusat. Maka pilihan atas desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah menjadi satu pilihan yang masuk akal baginya.

“Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan maka haruslah tiap-tiap golongan, kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan peraturan pemerintahan umum” (Suleman, 2010: 202).

Mengacu pada tulisan Hatta, memang opininya terkait soal desentralisasi kekuasaan sangat berimplikasi terhadap bentuk negara otonomi daerahe. Secara jelas Hatta lebih cenderung pada pilihan otonomi daerah, ketimbang integralistik. Pilihan politiknya bukan datang begitu saja, melainkan rangakaian teoritis dan benang merah atas logika distribusi kekuasaan.

Pembelaannya terhadap otonomi daerah bukanlah sebuah dukungan untuk melestarikan sistem kolonial Belanda belaka, yang tersisa pasca perundingan-perundingan. Jauh lebih dalam, Hatta menginginkan bentuk kedaulatan rakyat secara kongkrit bukan sebatas semboyan saja. Ketakutan Hatta bahwa kesatuan dapat mengancam kedaulatan rakyat terbukti dengan kebijakan dan sikap politik yang diambil Hatta ketika menjabat wakil presiden.

Inti dari demokrasi Hatta kalau boleh digaris bawahi adalah prinsip kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan yang otonom maka keberagaman bisa terus hidup. Dengan iklim seperti ini demokrasi akan tumbuh subur dan memiliki cita-cita atas tumbuh kembangnya sosial demokrasi di Indonesia. Lebih lanjut dalam pidatonya di Solo bertepatan dengan Permusyawarahan Pamong Praja (7 Februari 1946) setahun setelah Indonesia merdeka, memiliki tema “Kedaulatan Rakyat” yang mengurai prinsip-prinsip kedaulatan itu.

“Kedaulatan rakyat berarti, bahwa kekuasaan untuk mengatur pemerintahan negri ada pada rakyat. Rakyat berdaulat, berkuasa untuk menentukan cara bagaimana ia harus diperintah. Tetapi putusan rakyat yang dapat menjadi peraturan pemerintahan bagi orang semuanya ialah keputusan yang ditetapkan dengan cara mupakat dalam satu perundingan yang teratur bentuknya dan jalannya (…) Jadinya, kedaulatan rakyat adalah kekuasan yang dijlankan oleh rakyat, atau atas nama rakyat diatas dasar permusyawaratan.

Permusyawaratan itu boleh diadakan langsung oleh semua orang yang dewasa pada satu daerah atau dengan jalan perwakilan, dengan jalan yang tidak langsung. Permusyawaratan yang langsung hanya dapat dilakukan pada satu desa yang tidak begitu besar jumlah penduduknya. Akan tetapi, manakala daerah itu sudah agak besar, maka permusyawaratan akan dilakukan dengan jalan perwakilan” (Kedaulatan Rakyat, 1946).

Pandangan ini sejalan dengan semangat parlementariat Hatta yang dikongkritkan dalam Maklumat No.X, musyawarah dan permusyawaratan digunakan Hatta untuk menyederhanakan sistem demokrasi perwakilan yang menurutnya dapat menjadi model demokrasi Indonesia.

Secara tersirat Hatta menekan partisipasi aktiv rakyat dalam arena demokrasi yang lebih luas, dengan terus mengadakan dialog pada tataran desa sebagai fundamental demokrasi Indonesia. Untuk soal demokrasi perwakilan Hatta memang tidak menjabarkan secara spesifik bagaimana harus mengatur partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan yang sifatnya kelokalan.

Di sini Hatta lebih menekankan perwakilan pada tingkat desa dan kabupaten-kota, sedangakan kecamatan, keresidenan dan provinsi sebatas territorial koordinat yang tidak dapat mengambil keputusan politik. Seperti banyak studi sejarah, pemilu pertama pada tahun 1952 yang menjadi kontestasi pemilu bukan saja dari partai politik yang memiliki kepengurusan pada tingkat nasional.

Tetapi kelompok-kelompok kepentingan yang mengusung klan tertentu atau bahkan nama tokoh untuk mendukung satu sosok agar duduk di parlemen. Secara praktek politik, demokrasi perwakilan ini sudah resmi masuk dalam dinamika liberalisme seutuhnya. Artinya wacana ideologi Hatta bukan tanpa distorsi dalam prakteknya, harapan Hatta untuk mempraktekan kolektivisme dan kebersamaan nyatanya terjadi persaingan secara liberal.

Musuh bagi Hatta adalah amoral manusia dan kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab dapat berimplikasi negatif terhadap tatanan kehidupan lainnya. Wacana keadilan dan kesejahteraan yang diadopsi dari ideolog sosial demokrasi, cukup memiliki benang merah dengan pandangan Hatta soal kedaulatan;

“Demikian juga dengan kedaulatan rakyat, yang dalam praktek hidup berlaku sebagai pemerintah rakyat. Syarat bagi kekuasaan ialah keadilan, yang dengan sendirinya harus membawa kesejahteraan bagi segala orang. Manakala pemerintahan rakyat tidak membawa keadilan dan kesejahteraan, melainkan menimbulkan kelaliman dan pencederaan, kekuasaannya itu tidak bisa kekal.

Dalam pangkuannya akan lahir tenaga dan aliran yang menentangyang akan membawa robohnya dan menimbulkan gantinya. Kedaulatan rakyat yang meluap dari batasnya dan melulu menjadi anarki, akan digantikan oleh peraturan pemerintah yang bertentangan dengan itu, monarki ataupun oligarki.

Digantikan oleh pemerintahan raja yang berkuasa sendiri atau oleh satu pemerintahan satu golongan kecil dengan kuasa penuh (…) Ikut berkuasa dalam hal menentukan pembagian barang-barang yang dihasilkan bersama-sama oleh kaum buruh dan kapital, dengan berdasarkan keadilan-sosial, itulah yang terpenting bagi rakyat jelata. Tetapi hak itulah yang belum ada. Itulah sebabanya, maka timbul aliran yang dibawa sosialisme, dengan menuntut adanya demokrasi sosial. Disebelah demokrasi politik yang telah dicapai, mestilah diadakan demokrasi ekonomi, supaya rakyat memperoleh kenikmaan dari kerja bersama dalam penghasilan masyarakat” (Kedaulatan Rakyat, 1946).

Tata kelola pemerintahan pusat dan daerah bukanlah pemerintahan yang hirarkis, bagi Hatta daerah juga harus diberikan kewenangan otonom untuk menentukan model pemerintahan sesuai dengan kultur setempat. Jadi otonomi daerah bagi Hatta adalah sebuah otonomi khusus bagi guna menjaga prilaku masyarakat yang banyak mengacu pada norma-norma kelokalan.

Meskipun ada otonomi khusus bagi daerah, namun acuan atau landasan untuk membuat kebijakan tetap mengacu pada pemerintahan umum. Konsep Hatta adalah menawarkan memerintah bersama Republik Indonesia tanpa menghilangkan kebebasan daerah itu sendiri. Karena rakyat daerah harus berdaulat maka, mereka memiliki hak untuk memilih pemimpin daerah dan wakil-wakilnya selain itu harus juga bertanggung jawab secara moral. Sehingga pemerintahan pusat dalam hal ini nasional menjadi badan kordinasi antara daerah dan simbol internasional.

Abi Rekso Panggalih
Abi Rekso Panggalih
Sekjen DPN Pergerakan-Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.