Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan menapaki realitas demi realitas hingga mencapai realitas tertinggi: Realitas Ilahi. Perjalanan itu dimulai secara horisontal dengan menapaki berbagai realitas keduniawian dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Baru kemudian dilanjutkan secara vertikal mendaki realitas-realitas ukhrawi menuju Sidratul Muntaha untuk menemui Allah hingga jarak yang sangat dekat (Q.S. An-Najm: 9).
Namun, itu tak menjadi finish-nya. Rasul kemudian kembali turun ke bumi menjadi Khalifah Allah: menebar rahmat-Nya dan membimbing hamba-Nya yang mau melakukan pendakian menuju Allah, dengan salat sebagai bekal utama. Persis sebagaimana dikemukakan dalam sabdanya bahwa salat adalah mi’raj-nya orang mukmin.
Ini sekaligus sanggahan atas pandangan yang mengaitkan dengan sufisme yang menganggap pendakian menuju Allah bisa dilakukan tanpa syariat. Sebagaimana diungkapkan Seyyed Hossein Nasr, hakikat merupakan capaian dari kombinasi antara syariat dan tarekat.
Salat seperti apa yang bisa membawa pelakunya pada mi’raj? Pertama, merujuk pada Al-Ankabut: 45, salat yang bervisi horisontal, menumbuhkan kesalehan sosial, yakni menjauhkan pelakunya dari perbuatan keji dan munkar.
Kedua, dalam ayat tersebut ditekankan bahwa kategori untuk mereka yang akan ber-mi’raj adalah “mukmin”, bukan “muslim”. Merujuk pada Al Hujurat: 14, mukmin adalah tingkatan lanjutan dari muslim. Maka, syarat bagi mi’raj-nya seseorang dalam salat adalah ketika salatnya sudah bervisi vertikal, menumbuhkan kesalehan transenden: bukan hanya sekadar sah, tapi juga khusyuk sehingga diterima oleh-Nya.
Pertemuan dengan Tuhan merupakan cita-cita tertinggi dalam ranah sufistik yang saat itu dicapai, ia membuat pelakunya “mabuk” dalam ke-“intim”-annya bersama Tuhan; dalam transendensi-Nya dan ketidakterbatasan-Nya. Sehingga, ia kerap hanyut dalam ektase yang bukan hanya menjadikannya lupa atas dunia dan manusianya, namun bahkan juga pada dirinya sendiri.
Maka, tulis Muhammad Iqbal dalam Lectures on the Reconstrukction of Religious Thought in Islam, “Muhammad dari Arabia itu naik ke langit tertinggi dan kembali. Demi Allah, jika aku seperti dia, tentu aku takkan mau kembali.”
Karenanya, turunnya kembali Nabi setelah pertemuannya dengan Allah merupakan syarat bagi sempurnanya Nabi sebagai Manusia Sempurna (insan kamil) sekaligus Rasul. Sebab, justru di situlah tantangan seorang Manusia Sempurna seperti Muhammad atau kalangan sufi yang juga menapaki realitas-realitas menuju Tuhan-nya maupun siapa saja yang hendak mendekatkan diri pada Tuhan-nya. Butuh sebuah kesadaran bahwa kesempurnaan tak hanya bisa digapai di langit, namun juga di bumi.
Jadi, isra’-nya Muhammad sebelum kemudian ber-mi’raj dan kembalinya Muhammad ke bumi setelah mi’raj-nya merupakan simbolisasi dari keterkaitan erat antara segala sesuatu yang berdimensi duniawi dan ukhrawi dalam segala coraknya. Simbolisasi itu padat hikmah dan makna yang jika ditelusuri secara mendalam relatif dapat menengahi dan menyelesaikan berbagai dilema akibat dualisme.
Pertama, di-isra’-kannya Nabi sebelum di-mi’raj-kan merupakan simbolisasi yang bermakna kemustahilan seseorang mendaki realitas-realitas ketuhanan (mi’raj), tanpa mendahuluinya dengan menapaki realitas-realitas kemanusiaan (isra’). Sebagaimana dilukiskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, disindirlah orang-orang yang hanya hanyut dalam kesendiriannya (hablumminallah) dengan mengabaikan kehidupan sosialnya (hablumminannas) dan biasanya juga dibarengi dengan sikap tak acuh, bahkan anti terhadap dunia.
Sebaliknya, tersindir pula orang-orang yang hanya sibuk dengan kehidupan sosial dan pencariannya atas dunia, hingga mengabaikan dimensi spiritual (ukhrawi)-nya.
Kedua, kembalinya Nabi ke bumi setelah di-mi’raj-kan merupakan simbolisasi tentang penegasan Allah tentang syarat bagi setiap manusia yang hendak mencapai kesempurnaan; kembali turun ke bumi menjadi wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ard) sebagai mediator rahmat-Nya dan pembimbing hamba-Nya yang juga hendak mendaki realitas menuju Allah, sebagaimana diamanatkan Al-Qur’an dalam Al-Baqarah: 30.
Menurut Nasr, kemampuan menjadi wakil Allah di bumi ini pula yang kemudian menjadi titik pembeda antara seorang wali dengan majdzub. Wali dapat menjadi mediator rahmat-Nya dan penunjuk jalan-Nya karena mencapai tingkatan tertinggi keimanan melalui usaha dan pendakian ruhani (suluk). Adapun majdzub sampai ke hadirat-Nya ditarik oleh-Nya (ladunni) sebagai sebuah pengecualian, sehingga mereka tak mampu membimbing orang lain untuk ikut ke hadirat-Nya karena mereka sendiri tak tahu jalan “ke sana” (The Garden Of Truth, 2010).
Karena itu, turunnya kembali Nabi ke bumi setelah mi’raj merupakan teladan bagi para kita, khususnya yang para sufi dan wali, agar selalu membumikan ajaran-ajaran langit; dengan membimbing umat ke jalan mereka menuju Allah atau bahkan mengungkapkan pengalaman spiritualnya secara rasional-logis agar dapat menjadi pelajaran bermakna (rahmat) bagi orang lain. Bahkan, sekelompok filosof yang tergabung dalam madzhab illuminasi (isyraqiyah) dengan Suhrawardi sebagai pencetusnya, mewajibkan setiap orang yang pernah mengalami pengalaman ruhani untuk mengungkapkannya secara rasional-logis.
Sebab, selain agar pengalaman-pengalaman itu dapat dikontrol dan diverifikasi (apakah pengalaman itu benar-benar berdasar realitas dan bermakna atau sekadar khayalan yang tak benar, tak objektif, tak bernilai, bahkan malah sesat), pengalaman-pengalaman tertinggi itu bisa bermanfaat sebagai hikmah, amanat serta teladan bagi masyarakat awam luas. Dengan begitu, Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar terasa di bumi ini. Ibn ‘Arabi merupakan salah satu nama sufi yang berhasil melakukan itu. Dan tak ada sufi yang hidup setelahnya kecuali terpengaruh oleh pemikirannya atau malah mengikuti jejaknya.
Akhirnya, bertolak dari situ, salah satu dimensi keteladanan terdalam dari Isra’ Mi’raj sebenarnya tuntunan agar kita memposisikan diri kita dan segala sesuatunya dalam posisi yang proporsional, tak terjebak dalam salah satu ketimpangan dalam dualisme. Agar kita menjadi ummatan wasatho (umat yang selalu berada di jalan tengah) sesuai amanat Al-Qur’an.