Jumat, April 26, 2024

Muslim Diaspora dan Islamofobia di Eropa

Ai Fatimah Nur Fuad
Ai Fatimah Nur Fuad
Ph.D in Religious Studies from the University of Leeds, the United Kingdom dan Dosen Fakultas Agama Islam, UHAMKA

Islam adalah agama kedua terbesar di Eropa setelah Kristen. Perkembangan Islam di Eropa seringkali dilihat dari keberadaan Muslim pendatang karena memang mayoritas populasi Muslim Eropa adalah Muslim pendatang. Gelombang migrasi internasional ke Eropa yang terjadi sejak tahun 1950-an dan 1960-an, membawa banyak Muslim dari Asia Selatan untuk bekerja di Eropa.

Selain berasal dari Asia Selatan, Muslim pendatang ini ada juga yang berasal dari Timur Tengah, Afrika, Turki dan lain-lain. Mereka membawa identitas etnik, budaya dan agama dari negara asalnya (homeland), yang berbeda dengan identitas nasional, budaya dan agama yang ada di Eropa (hostland). Karena itu mereka sering disebut sebagai minoritas etnik, selain sebagai refugee/pengungsi.

Pada tahun 1980-an mulai muncul istilah lain, yaitu diaspora untuk menyebut Muslim pendatang ini. Ketika suatu komunitas beragama berpindah dari satu negara ke negara lain, maka ada kebutuhan untuk beradaptasi dan negosiasi dengan budaya yang ditemuinya di tempat baru.

Pengalaman Muslim pendatang dalam beradaptasi dengan nilai sekuler Eropa, terutama dalam konteks di Eropa Barat dapat dipetakan kedalam tiga tipologi, yaitu Muslim yang mau beradaptasi dan aktif berpartisipasi dalam system negara sekuler, Muslim yang mengisolasi dirinya dari nilai dan sistem sekuler, dan Muslim yang menolak nilai-nilai yang ada Eropa.

Tipologi pertama adalah engaged-modernists and moderate Islamists, yaitu Muslim yang terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan politik seperti ikut pemilu, kegiatan social dan lain sebagainya. Mereka adalah Muslim modernist dan moderate Islamist, yang social kapitalnya didominasi oleh anak muda Muslim terdidik dan profesional di berbagai bidang. Mereka mengikuti pemikiran Tariq Ramadan (merupakan anak dari putri tertua Hasan Al-Banna Pendiri Ikhwanul Muslimin, yaitu Wafa al-Banna,Tariq dan keluarganya tinggal di Swiss).

Selain itu, mereka juga mengikuti pemikiran Hamzah Yusuf (seorang Muallaf asal Amerika Serikat dan aktif berdakwah. Nama aslinya Mark Hanson dan pindah agama dan memeluk Islam pada tahun 1977). Yang menjadi ciri khas utama dari kelompok ini adalah berbaur dengan masyarakat setempat (Khultoh), yakhtalituun walaakin yatamayyazuun (berbaur tetapi ‘berbeda’ dengan tetap mempertahankan identitas dan nilai keIslamaannya).

Tipologi kedua adalah isolated-tradisionalists, yaitu Muslim yang melakukan isolasi diri, dan membatasi diri dari system Eropa yg sekuler. Mereka didominasi oleh Muslim tradisionalist, yang mayoritas merupakan generasi pertama yang datang ke Eropa. Dalam konteks di Inggris, mereka ini adalah yang bertanggung jawab terhadap masjid-mesjid di Inggris.

Hampir seluruh masjid di Inggris memiliki koneksi kuat dengan etnis tertentu di Asia Selatan atau Timur Tengah, yang merupakan tempat asal imigran. Imam-imam Mesjid didatangkan khusus dari daerah asal mereka, sehingga hampir seluruh masjid di Inggris memiliki ciri khas etnik, bahasa, budaya dan madzhab agama sesuai dengan asal imam dan jamaahnya. Kesadaran trans-nasional dari Muslim kelompok ini sangat kuat dan masjid dijadikan space untuk berkumpul sesama etnis tertentu untuk mempertahankan tradisi keagamaan di tempat asalnya (homeland).

Tipologi ketiga adalah rejected-radical islamists, yaitu Muslim yang menolak berpartisipasi dalam proses demokrasi, menolak system yang dinilainya sebagai pemerintahan kufur dan mereka memiliki obsesi untuk mendirikan negara khilafah. Mereka berpandangan bahwa cara terbaik untuk survive di Eropa adalah dengan cara non-partisipation. Mereka memiliki organisasi terpisah atau organisasi khusus, mendidik anaknya sendiri di rumah dan tidak disekolahkan disekolah umum, mengobati sakit dengan obat-obat islami dan menolak pergi ke RS serta tidak mendaftarkan keluarganya di National Hospital/NHS.

Selain itu, urusan keluarga seperti pernikahan, kelahiran dan lain-lain mereka akan urus sendiri dan tidak didaftarkan sesuai dengan hukum keluarga (family law) yang berlaku di Eropa. Mereka  tergabung dalam organisasi Hizbut Tahrir. Untuk konteks di Inggris, mereka bergabung dalam organisasi Al-Muhajiruun. Mereka juga dikenal sangat militant yang diinspirasi oleh pemikiran jihadi.

Menurut beberapa survey, kepercayaan Muslim Eropa terhadap institusi demokrasi di Eropa sangat tinggi. Ini konsisten dengan beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas Muslim mampu beradaptasi dan ikut berpartisipasi dalam sistem di Eropa. Tetapi, mengapa masih kita dengar ada ekspresi dan narasi sentiment anti-Muslim atau islamophobia.

Keberadaaan Islam di ruang publik di Eropa semakin hari semakin menonjol. Islam merupakan agama pertumbuhan paling cepat di Eropa dibandingkan penganut agama lainnya. Jumlah Muslim di Eropa saat ini sudah mencapai kurang lebih 44 juta orang. Pertumbuhan jumlah Muslim tentu berdampak pada bertambahnya jumlah masjid di Eropa, organisasi Islam, sekolah Islam yang didanai negara, restoran Halal, toko busana Muslim, dan lain sebagainya.

Muslim Eropa yang memiliki beban ganda sebagai Muslim dengan identitas Islamnya dan sebagai warga Eropa dengan identitas Eropanya, terus berupaya beradaptasi dengan cara menegosiasikan dua identitas yang berbeda tersebut. Mereka ingin tetap bisa bertahan tinggal dan berbaur dengan masyarakat Eropa, tetapi dengan tetap menjaga identitas keIslaman mereka. Contohnya, restoran halal dibuat oleh Muslim agar mereka bisa menjaga dirinya untuk tetap menkonsumsi makanan halal.

Realitas itu tentu membuat mereka terganggu, merasa kehilangan identitas aslinya, dan menimbulkan kekhawatiran tertentu. Hal itu kemudian diperparah oleh beberapa politisi di Eropa yang melakukan kampanye ideologis menentang keberadaan Muslim di Eropa. Para politisi ini ingin menarik pemilihnya dengan cara menekankan pentingnya menjaga identitas budaya Kristen Eropa dan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang berbahaya bagi identitas budaya Eropa.

Selain politisi, media juga ikut membuat panas masyarakat Eropa dengan melakukan framing Muslims as strangers (Muslim adalah orang asing) dan Muslims as terrorists (Muslim adalah teroris). Media tertentu hanya tertarik memberitakan sisi-sisi buruk tentang Muslim yang berkaitan dengan gerakan ektrimisme, radikalisme dan terorisme.

Meskipun narasi Islamofobia di Eropa lebih sering dibentuk oleh politisi dan media yang menentang keberadaan Muslim disana, namun ekspresi sentimen anti-Muslim ada di masyarakat Eropa dan terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari ancaman lisan, ancaman fisik, bahkan ancaman pembunuhan.

Dari media, kita juga mendengar ada pelarangan hijab untuk anak sekolah dan pelarangan cadar bagi perempuan dan mahasiswi di Perancis, ada juga penyerangan ke masjid di beberapa tempat seperti di Jerman, di London, dan di Paris.

Munculnya sentiment anti Muslim, bukan hanya dipicu oleh kondisi internal akibat adanya gesekan dan ketegangan sehari-hari akibat penolakan terhadap Muslim, tetapi juga oleh peristiwa besar yang memunculkan rasa takut dan trauma seperti terjadinya bom di stasiun kereta di London pada tahun 2005, di Jerman tahun 2004, termasuk kejadian serangan 11 september 2001 di Amerika yang berdampak global terhadap meningkatnya kebencian terhadap Muslim.

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan sentimen anti-Muslim di Eropa. Pemerintah Eropa terus berupaya mengeluarkan kebijakan dan aturan dalam menangani sikap sebagian warganya yang rasis dan kontra terhadap keberadaan Muslim.

Di sisi lain, pemerintah Eropa juga mengajak minoritas Muslim ini agar bisa berintegrasi dengan sistem Eropa dan tidak menimbulkan konflik dengan warga asli Eropa. Misalnya, kebijakan multikulturalisme yang ditujukan kepada dua pihak, masyarakat Eropa dan Muslim. Untuk masyarakat Eropa agar bisa menerima pendatang, dan untuk Muslim agar bisa mematuhi sistem yang ada di Eropa. Dua faktor baik dari sisi masyarakat Barat maupun dari sisi Muslim, saling mempengaruhi satu sama lain, apakah keduanya menciptakan iklim yang damai dan harmonis atau sebaliknya.

Sejatinya, di antara upaya yang harus terus dilakukan untuk membendung Islamofobia adalah memperkuat dialog antar peradaban Islam dan Eropa, agar saling memahami budaya masing-masing, mengurangi prasangka buruk, dan menghapus kebencian. Semoga.

Ai Fatimah Nur Fuad
Ai Fatimah Nur Fuad
Ph.D in Religious Studies from the University of Leeds, the United Kingdom dan Dosen Fakultas Agama Islam, UHAMKA
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.