Sabtu, April 27, 2024

Muhammadiyah dan Mustadh’afin yang Terlupakan

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) & ASN Kementerian Hukum dan HAM RI.

Pasca Muktamar Pemikiran Islam Kaum Muda 2023 yang diselenggarakan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) di Yogyakarta, 22-24 Desember 2023, dengan tema, Intelektual Muda Muhammadiyah Abad ke-21: Mendorong Pembaharuan Pemikiran, Pengetahuan dan Perkaderan Muhammadiyah, ada beberapa persoalan yang didiskusikan.

Salah satu isu yang disorot adalah persoalan penyalahgunaan narkotika yang semakin mengalami peningkatan. Menurut  United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai badan dunia yang mengurusi masalah narkotika mencatat setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5.5% dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah mengonsumsi narkoba (UNODC, World Drugs Report 2019).

Bahkan, menurut Laporan Direktorat Jendral Pemasyarakatan, sejak tahun 2017 hingga 2021 sebanyak 44.830 pengguna/pecandu narkoba masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara). Selain itu, berdasarkan laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan ada 43.320 pasien rehabilitasi pecandu narkoba pada tahun 2021 di seluruh Indonesia, dan mayoritas (32,6%) pasien direhabilitasi di  Lembaga Pemasyarakatan  Kementerian Hukum dan HAM.

Secara normatif, persoalan narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU ini, tepatnya pada pasal 54, menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Bahkan, pada pasal 103 UU Narkotika membuka ruang bagi hakim untuk memutus atau menetapkan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi.

Namun dalam penerapan rehabilitasi sampai saat ini, konsepnya masih menjadi bagian dari pemidanaan. Terbukti dengan data yang telah disampaikan di atas bahwa mayoritas pecandu narkoba mendapatkan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan atau penjara dan salah satu penyebanya karena paradigma penegak hukum yang menganggap rehabilitasi bagi pecandu narkotika dapat beriringan dengan pidana penjara.

Seharusnya, pecandu dan korban penyalahguna narkotika menjalani rehabilitasi di luar institusi pemidanaan seperti Lembaga Pemasyarakatan. Karena memberi hukuman penjara tidak efektif menurunkan penggunaan narkotika. Pecandu narkoitka dan korban penyalahgunaan narkotika harus dipandang bukan sebagai pelaku yang harus dijerakan, melainkan sebagai korban zat adiktif yang harus dipulihkan. Ketika mereka dimasukan ke dalam penjara yang terjadi bukanlah pemulihan, melainkan penambahan pengetahuan tentang tindak pidana karena akan berjumpa dengan narapidana lainnya atau sering dikenal dengan istilah school of crime.

Lalu muncul pertanyaan, apa relevansinya persoalan narkotika tersebut dengan Muhammadiyah? Untuk menjawab pertanyaan ini memerlukan renungan yang reflektif. Buya Ahmad Syafii Maarif pernah menyampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah (2002) “jika bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah juga akan turut tersungkur”. Di kesempatan lain beliau juga pernah menuliskan bahwa “Muhammadiyah yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah sebenarnya”.

Narkotika dalam konteks bangsa Indonesia saat ini merupakan salah satu persoalan krusial yang membutuhkan bantuan seluruh elemen bangsa dalam penanganannya, termasuk Muhammadiyah. Kegentingannya terlihat dari beberapa aspek, mulai dari mafia narkoba yang merajalela bahkan ada dikalangan para petinggi aparat hukum, penegakan hukum yang terkesan tebang pilih antara orang yang terkenal (public figure) dengan orang biasa  hingga infrastruktur layanan rehabilitasi narkotika yang belum merata dan memadai.

Kegentingan itulah yang memanggil Muhammadiyah untuk andil dalam pemberantasan narkotika. Ada tiga alasan mengapa Muhammadiyah harus hadir untuk turut serta menangani persoalan narkotika saat ini.

Pertama, Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan perubahan sosial di tengah kehidupan masyarakat sebagaimana yang dijelaskan Alfian dalam disertasinya “Muhammadiyah : The Political Behaviour Of A Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism“ (1989). Sebagai gerakan sosial Muhammadiyah harus mampu melihat realitas sosial masyarakat agar tetap dapat menginisiasi kerja-kerja untuk kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan juga HAM.

Kedua, Muhammadiyah memiliki posisi yang strategis dalam implementasi rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Sebagai organisasi masyarakat yang memiliki massa dan amal usaha yang banyak, baik berupa rumah sakit, sekolah dan panti-panti sosial, Muhammadiyah memiliki potensi (baik SDM, Faskes dan Fassos) untuk bisa memberikan layanan rehabilitasi, baik medis maupun sosial bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Ketiga, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika termasuk dalam kategori kaum mustadh’afin. Mustadh’afin adalah mereka orang-orang yang tertindas atau mereka orang-orang yang lemah. Mustadh’afin tidak hanya menyangkut orang-orang miskin ataupun anak-anak yatim, mustadh’afin memiliki makna yang lebih luas daripada itu semua. Mereka yang tertindas, lemah atau bahkan dilemahkan oleh sistem sehingga tidak dapat mendapatkan kehidupan seperti seharusnya sebagai seorang manusia dapat pula dikategorikan sebagai kaum mustadh’afin.

Secara sosiologis, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tergolong ke dalam lapisan masyarakat yang termarjinalkan. Mereka dianggap sebagai pelaku criminal, sehingga terasingkan di dalam kungkungan pidana pemenjaraan. Padahal, kecanduan narkotika merupakan penyimpangan medis yang harusnya disembuhkan bukan dijerakan. Pemenjaraan terhadap pecandu narkotika tidaklah efektif untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan narkotika yang kian meningkat. Saat ini yang terjadi adalah over kapasitas di Lapas/Rutan yang semakin membuat para pencandu narkotika tidak terselesaiakan permasalahan utamanya, yakni ketagihan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran Muhammadiyah sangat dibutuhkan. Perlu ada  gerakan nyata secara nasional yang membebaskan para pengguna dan korban penyalahgunaan narkotika dari ketercanduannya menggunakan rehabilitasi, baik medis maupun sosial. Semua itu, Muhammadiyah pasti bisa melakukannya, bukan?

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) & ASN Kementerian Hukum dan HAM RI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.