Ada banyak orang terusir di dunia ini. Ada yang terusir dari negerinya sendiri, seperti rakyat Palestina. Juga rakyat di negara-negara Timur Tengah yang berkecamuk, dijajah, krisis politik, dan lainnya yang nasibnya kian tak jelas sebagai imigran dan berlarian ke Eropa, juga tanpa kejelasan nasib.
Atau bahkan mereka yang terusir di negerinya sendiri, dari kampung halamannya, seperti Muslim-Syiah Sampang (Madura), Jemaah Ahmadiyah di Bangka, atau Gafatar di Menpawah (Kalimantan Barat), dan lainnya. Ironi!
Maka, Lebaran dengan tradisi mudik menjadi momentum strategis untuk merenungkan ironi itu. Pasalnya, dalam momentum ini, sebagian besar kita mudik ke kampung kita.
Mudik mengandung ragam dimensi. Pertama, dimensi religius. Pada dimensi ini, mudik adalah simbol penyucian horisontal antar sesama kita di saat Idul Fitri melalui silaturahmi-saling memaafkan, untuk menyempurnakan penyucian vertikal yang telah kita lakukan sebulan Ramadhan dengan puasa dan ibadah sebagai bentuk permohonan ampun pada Allah. Sebab, walau Allah telah mengampuni dosa kita, kita tetap harus memohon maaf pada sesama kita untuk kemudian Allah mengampuni dosa sosial kita atas sesama.
Dalam sebuah hadist ditegaskan bahwa Allah takkan mengampuni dosa sosial kita sebelum kita mendapatkan maaf dari manusia yang kita salahi. Karena itu, pada dimensi ini, seharusnya Lebaran menjadi momentum bagi mereka yang berkonflik hingga terjadi ironi pengusiran untuk merenung bersama bahwa bukankah tak ada jalan lain untuk mereka meraih kesempurnaan kemenangan saat Idul Fitri, meski mereka telah sukses dalam penyucian vertikal dengan-Nya, kecuali dengan mereka berekonsiliasi secara tulus?
Kedua, dimensi sosio-kultural. Pada dimensi ini, mudik adalah ziarah kultural menapaki jejak-jejak sosial dan kultural kita: kehidupan berbudaya paling awal kita dan kehidupan bersama kita dengan keluarga dan masyarakat pertama kita. Itu adalah identitas paling primordial kita.
Karena itu, salah satu aktivitas terpenting dan paling khas kita saat mudik adalah berziarah, baik kepada keluarga atau masyarakat yang masih hidup maupun mereka yang telah wafat mendahului kita. Terlebih masyarakat Indonesia yang memegang kuat akvifitas kultural yang berselimut religiusitas itu.
Identitas itu tak boleh dilupakan atau apalagi dipaksa dicerabut dan dihilangkan dari seseorang atau sekelompok orang. Bukan hanya itu akan membuat mereka “cacat” sosial-kultural, tapi –sebagaimana ditulis John L. Esposito dalam pengantarnya untuk edisi Inggris karya Ali Syari’ati berjudul What is to be Done, juga akan membuat seseorang gagap dan pincang dalam menatap dan menjalani masa kini dan masa depan.
Sebab, tanpa kesadaran murni akan masa lalu, seseorang takkan mampu melakukan perubahan-perubahan yang peka atas sejarah dan nilai-nilai lingkungan budayanya di masa kini dan masa depan.
Ketiga, dimensi psikologis. Pada dimensi ini, mudik adalah sebuah aktivitas paling individual dan sublim: aktivitas kembali pada diri sendiri. Dalam konteks ini, mudik merupakan aktivitas kembali mengingat dan merenungkan tentang kelahiran, masa kecil, dan titik awal hidup kita: hidup sebagai manusia udik dengan segala imajinasi dan cita-citanya di masa depan. Tak mudik berarti kehilangan diri atau teralienasi dari diri sendiri. Maka, sebagai individu, kita akan cacat secara psikis. Ini bukan hanya berat, tapi mustahil bisa dijalani oleh seseorang.
Karena itu, tak mudiknya mereka yang terusir, terlebih di negerinya sendiri, khususnya Indonesia, adalah sebuah ironi yang sungguh menyedihkan bagi kita dan begitu menyiksa bagi batin mereka. Inilah aspek paling mendasar dari ironi pengusiran yang harus kita renungkan dan hadirkan pada diri kita, khususnya di suasana mudik. Bagaimana jika itu terjadi pada diri kita?
Jawabnya, akan ada batin yang terketuk, melampaui segala sekat, dan melapangkan dada secara tulus dan ikhlas untuk mereka kembali berdampingan secara rukun, sebagai saudara: jika bukan sesama Muslim, sesama anak kampung, sesama orang Indonesia, atau bahkan sesama manusia.
Terlalu banyak kesamaan yang bisa direkatkan dan dihayati sebagai persaudaraan di antara kita, ketimbang perbedaan untuk saling berpecahan dan bermusuhan. Dan, begitulah sebenarnya akhlak Nabi Muhammad: selalu mencari-cari kesamaan di antara sesama untuk menjadi alasan persaudaraan. Berbanding terbalik dengan sebagian kita yang selalu mencari-cari perbedaan di tengah sederet persamaan untuk kemudian dipertengkarkan. Sehingga, kata Sayyidina Ali, “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”