Bulan Agustus adalah bulannya bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahunnya. Tahun ini, seperti juga tahun lalu, peringatan hari Kemerdekaan kita masih harus berlangsung di tengah krisis pandemi, di mana varian-varian baru terdeteksi sehingga membuat Presiden Jokowi harus kembali menekan rem kebijakan PPKM Darurat dan PPKM Level 4.
Meskipun Indonesia kemudian menjadi episentrum baru di kawasan Asia Tenggara dengan tingginya angka penularan, namun Presiden Jokowi beserta sejumlah kepala daerah menyimpan tekad yang serius untuk bisa segera keluar dari badai Covid- 19 dengan menjadikan momentum peringatan hari Proklamasi pada 17 Agustus nanti sekaligus sebagai hari merdeka dari vaksin dan Covid-19.
Dalam sebuah rapat terbatas evaluasi PPKM Darurat, disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (17/7/2021) misalnya, Presiden Jokowi menargetkan herd immunity (kekebalan kelompok) terhadap virus korona di Jawa dan Bali bisa terwujud di akhir bulan Agustus atau paling lambat pertengahan September.
Oleh karenanya, merdeka dari vaksin dimaksudkan sebagai cara terbaik untuk mewujudkan kekebalan komunitas (herd immunity) tersebut. Ya, tampaknya Presiden Jokowi menyadari betul bagaimana percepatan vaksinasi itu sebagai elan vital penanganan pandemi, sebagaimana yang sudah berhasil diterapkan di sejumlah negara.
Karena itu Jokowi juga optimis ketika menargetkan penyuntikan vaksin 2,3 juta per hari dan ditingkatkan 5 juta per hari. Sejurus dengan upaya masif vaksinasi itu, pemerintah kota Jogjakarta misalnya, meluncurkan gerakan “Jogja Merdeka Vaksin”. Gerakan ini bermaksud untuk memastikan bahwa pada 17 Agustus seluruh warga di kota Jogja sudah mendapat suntikan vaksin. Tentunya apabila setiap provinsi, kota dan kabupaten berjuang keras untuk mencapai target vaksinasi harian yang mesti terpenuhi, maka merdeka vaksin pada momen hari Kemerdekaan bukanlah utopia semata.
Meski demikian, tidak sedikit tantangan yang dihadapi pemerintah dalam upaya vaksinasi ini. Sebuah rilis survey yang dilakukan SMRC beberapa hari lalu misalnya menyebutkan ada kurang lebih 3 hingga 4 persen dari populasi kita yang bahkan tidak mengetahui bahwa saat ini ada Covid-19. Ada pula yang bersikap denial sembari mengatakan covid 19 ini bak penyakit flu dan demam biasa. Fakta ini tentu tragis dan mesti menjadi catatan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi.
Hal lainnya adalah penolakan terhadap vaksin dengan beragam disinformasi dan hoaks seputar itu. Vaksin Sinovac contohnya, kerap dihubung-hubungkan dengan misi terselubung Cina dalam upaya menguasai Indonesia secara ekonomi-politik, termasuk dengan narasi yang menyebutkan adanya chip dalam vaksin Sinovac tersebut.
Demikianlah, tidak jarang pula sisa-sisa Pilpres 2019 lalu masih membekas bagi sebagian masyarakat kita sehingga menjadi alasan untuk tidak ingin divaksinasi. Saat ini misalnya, manakala Presiden Jokowi sudah mengupayakan mendatangkan vaksin merk lain seperti Astra Zeneca dan Moderna, kenyataannya, penolakan vaksin tidak berarti hilang dengan ragam alasan baru.
Jika merdeka vaksin itu masih menghadapi sejumlah tantangan seperti disebut di atas. Maka merdeka dari Covid+19 itu sendiri menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk tidak mengatakan berat. Merdeka dari pandemi ini pada satu sisi menjadi penting bagi Presiden Jokowi selaku kepala negara untuk menunjukkan optimismenya kepada publik.
Kita masih ingat bagaimana hal serupa dilakukan Presiden AS, Joe Bidden ketika merayakan hari kemerdekaan AS 4 Juli lalu. Ya, dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini, kehadiran sosok kepala negara yang menebar semangat dan keyakinan sangatlah dibutuhkan masyarakat dari segala lapisan. Meskipun tentunya masyarakat lapisan bawah khususnya juga lebih mengharapkan bantuan sosial selama pandemi ini bisa tepat sasaran.
Kita tidak bisa pula mengelak dari kenyataan bahwa masyarakat kita yang secara esensial gemar bahu-membahu serta tolong-menolong di kala keadaan sulit seperti pandemi ini bukanlah watak yang semestinya.
Artinya, masyarakat kita bisa dikatakan berjuang dengan sendirinya ketika bantuan sosial yang seringkali salah alamat, termasuk dikorupsi oleh oknum-oknum tertentu, serta kebijakan PPKM yang justru mengancam kebanyakan nyawa mereka.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, masyarakat kita pada dasarnya sangat mengharapkan peran maksimal dari negara ketika memang pilihannya adalah mesti diberlakukan pembatasan mobilitas dan serangkaian larangan yang ada dalam kebijakan PPKM tersebut.
Dalam konteks itu, Presiden Jokowi yang dikenal kerap mendengar suara publik itu perlu kiranya mengevaluasi kembali sejumlah target dari kebijakan PPKM ini. Artinya, selain pemberian bantuan sosial selama PPKM ini, vaksinasi yang ditargetkan setiap harinya juga pelu melibatkan berbagai pihak terutama tokoh agama. Pihak yang terakhir ini menjadi penting untuk diingat karena watak masyarakat kita yang secara antropologis berbasis etnorelijius, yakni masyarakat yang menempatkan agama sebagai faktor utama dalam kehidupan mereka baik di ruang privat maupun publik.
Akhirnya, di tengah upaya memerdekakan bangsa ini dari pandemi Covid-19 pada bulan Agustus 2021 ini, membutuhkan tidak hanya kepemimpinan Presiden Jokowi dalam upaya mencapai target vaksinasi dan target-target lainnya. Namun juga mengingat kembali pentingnya menempatkan krisis pandemi ini dari perspektif siklus manajemen bencana di mana fase mitigasi yang tengah kita hadapi bersama saat ini bermula dari sejumlah ketidaksigapan menghadapi bencana, sekaligus menunjukkan minimnya persiapan untuk itu. Sehingga ketika target merdeka dari Covid-19 bisa tercapai, maka fase recovery kelak idealnya bisa menjadi pelajaran berharga guna mempersiapkan bencana-bencana di kemudian hari yang sukar diprediksi.