Kamis, Maret 28, 2024

Menyibak Sastra Kanon

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Sebagai dosen kesusastraan Inggris di negeri yang bukan berbahasa Inggris, saya mencermati bahwa salah satu yang kurang dalam perdebatan perang budaya Inggris adalah persoalan akal sehat dan unsur-unsur kepraktisan, misal terkait persoalan sastra kanon (literary canon). Sastra kanon di sini adalah fiksi, puisi dan drama.

Dalam kata pengantarnya untuk Falling Into Theory: Conflicting Views on Reading Literature (1994), David H. Richter mengartikulasikan tiga posisi dasar tentang permasalahan sastra kanon yang standar dan tradisional; membela sastra kanon, memperluas dengan menyertakan karya-karya penulis perempuan serta kaum minoritas dan menghilangkan sastra kanon tersebut sama sekali.

Hemat saya, jawaban atas kerumitan ini dengan menggunakan akal sehat dan memetakan jalan tengah, yakni sastra kanon harus terus diperluas yang mencakup karya-karya penulis perempuan dan minoritas. Setidaknya ini ditopang oleh sejumlah alasan.

Pertama, mustahil mengajarkan sastra tanpa semacam kanon—daftar bacaan utama dan umum yang masuk dalam kategori sastra klasik yang memang diakui. Kedua, kanon sastra Inggris sendiri bersifat ‘protean.’ Ia telah berubah, berkembang dan meluas dengan masuknya karya-karya penulis perempuan dan kaum minoritas. Ketiga, evolusi tersebut wajar karena seleksi sastra kanon tidak semata-mata berdasarkan prinsip-prinsip estetika tetapi juga nilai-nilai yang juga berkembang.

Apa yang disebut secara teoritis sebagai kanon tradisional oleh Matthew Arnold merepresentasikan karya-karya yang dinilai terbaik di dunia. Hanya belakangan saja gagasan Arnold ini dianggap kontroversial. Kritikus mulai berpendapat bahwa kanon standar hanya mewakili pilihan karya-karya tertentu dan mengecualikan sejumlah karya lain yang bermanfaat dan beroleh pujian. Hanya saja kritikan ini tidak menisbikan keniscayaan bahwa sastra kanon adalah karya yang terseleksi. Ide di balik terpilih ini inheren dengan gagasan utama tentang studi sastra.

Terlepas dari argumen eksklusivisme sastra kanon, manfaat keberadaan daftar umum atau inti dari apa yang disebut sastra klasik tidak bisa dipungkiri. Sebagaimana yang diungkapkan Mary Louise Pratt (1994) dalam menguji perebatan budaya Barat di Stanford pada akhir 1980-an, keberadaan kanon menyuguhkan semacam pengalaman intelektual serta modal budaya yang sama.

Eksposur terhadap karya-karya sastra yang membentuk budaya Amerika—keyakinan, nilai-nilai dan adat istiadat Amerika yang berharga—sangat instrumental untuk memahami warisan Amerika secara lebih baik. Menggelikan sekali membaca gagasan bahwa sastra kanon lebih baik dihapuskan meskipun tidak sedikit yang meragukannya dalam menyajikan fungsi-fungsi estetis, intelektual, sejarah dan budaya yang amat penting. Sama menggelikan dengan pemikiran bahwa sastra kanon tidak praktis, untuk tidak menyebut tidak mungkin, diajarkan di dalam kelas lewat sebuah daftar bacaan.

Menghilangkan sastra kanon hanya akan memproduksi anarki. Tanpa sastra kanon, tanpa daftar bacaan umum, maka kelas-kelas sastra tidak lebih dari sekadar pembahasan deretan buku-buku fiksi. Keprihatinan dan perdebatan ini tak pelak lagi membuat banyak kritikus bergerak untuk memperluas keberadaan dan kategorisasi sastra kanon.

Estetika seharusnya tidak menjadi satu-satunya kriteria dalam menilai sastra kanon. Karya-karya yang umumnya dianggap tidak memiliki nilai sastra atau seni tinggi perlu dipertimbangkan. Saya punya pengalaman menarik dalam hal ini. Tatkala mengajarkan mata kuliah Literary Criticism (Kritik Sastra), saya memperkenalkan sebuah novel berjudul Charlotte Temple oleh Susannah Rowson. Tak seorang pun mahasiswa dalam kelas ini yang pernah membacanya. Karenanya, banyak yang bertanya-tanya mengapa novel tersebut masuk dalam daftar bacaan.

Menyahut penasaran ini, saya meminta mahasiswa membaca dua karya klasik sastra Amerika, yaitu Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe dan Ragged Dick karya Horatio Alger. Menurut saya, dua novel ini—dengan penulisan yang buruk dan terkesan didaktik— sangat membosankan dan tidak memenuhi syarat sebagai high literature. Kelebihan artistik dua novel ini masih bisa diperdebatkan. Namun demikian, implikasi perubahan sosial dan edukasi kedua novel ini melampaui kekurangan susastra yang ada padanya.

Charlotte Temple, novel Amerika pertama yang terhitung best seller, sangat populer di kalangan wanita muda di negeri Paman Sam—kelompok pembaca yang memang menjadi sasarannya. Uncle Tom Cabin, yang secara fenomenal juga populer, terbilang sukses karena kemampuannya menangkap sentimen perbudakan dengan menggambarkan kekejaman perbudakan melalui cerita yang menguras air mata.

Tak jauh berbeda, Ragged Dick—yang bisa dikelompokkan sebagai salah satu karya terbaik seri buku sastra anak—memuji pentingnya kemandirian, kejujuran dan kerja keras. Novel ini mengagungkan pameo “rags to riches” yang telah menjadi mitos dalam konsep American Dream. Saya percaya, ketiga novel ini—Uncle Tom’s Cabin, Ragged Dick dan Charlotte Temple—hadir sebagai dokumen sosial, bukan sebagai sastra tinggi. Secara berkala ketiganya masuk dalam kategori sastra kanon. Dalam konteks sosiologi sastra, sastra yang tinggi nilainya adalah sastra yang lebih dekat dengan kehidupan.

Tentu saja , bagaimanapun , setiap buku yang pantas dibaca tidak dapat dimasukkan secara gampang ke dalam daftar bacaan “Great Books” di kelas-kelas kesusastraan. Yang bisa dilakukan adalah mengubah daftar inti dengan mempergilirkan karya-karya sastra pada setiap kelas.

Seorang dosen boleh saja lebih memilih Antigone daripada Oedipus Rex, The Tempest ketimbang Romeo dan Juliet atau The Mysterious Stranger dibandingkan The Adventures of Huckleberry Finn. Menggeser pilihan-pilihan teks dapat mencegah dosen dari kejenuhan mengajar Huck Finn berkali-kali.

Mengubah daftar bacaan juga dapat mencegah mahasiswa mempelajari karya-karya yang sama secara berulang-ulang di universitas. Perguruan tinggi perlu membentuk mata kuliah baru—katakanlah Major English Writers atau African English Literature. Perubahan tersebut akan mencerminkan perubahan selera dan nilai-nilai masyarakat Amerika yang beragam.

Titik kunci yang acapkali diabaikan oleh kritikus sastra kanon adalah bahwa sastra kanon sejatinya telah dan sedang berubah. Sastra kanon selalu berubah meskipun tidak cukup mampu menyenangkan semua pihak. Bahkan Moby Dick mulai dihargai oleh akademisi ketika ia kembali dievaluasi pada 1930-an. Keseimbangan telah terbentuk dan dicapai dalam menjaga sastra kanon, baik dengan memasukkan karya baru, menawarkan bidang studi baru, atau keduanya. Sastra kanon harus berubah karena selera dan preferensi estetis dan nilai-nilai juga berubah.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.