Alam memberi tempat yang khusus bagi manusia-manusia pemberani, yang mempertaruhkan hidupnya untuk kemaslahatan banyak orang. Salah satu dari sedikit manusia pemberani itu adalah Ulil Abshar Abdalla.
Sulit dibayangkan apa yang terjadi dengan anak-anak muda Muslim Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir seandainya Ulil tidak pernah muncul. Mungkin mereka, anak-anak muda itu, telah berangkat ke medan-medan “jihad” di Palestina, Afghanistan, Suriah. Atau memerangi pemerintahnya sendiri yang dianggap kafir.
Ini serius. Setelah Orde Baru tumbang pada 1998, kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang dulu bersembunyi di bawah tanah karena ditekan oleh rezim, mulai bermunculan. Kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis ini mengambil dua bentuk yakni partai politik seperti PKS, dan organisasi massa (ormas) seperti FPI, MMI, HTI, dll.
Kendati satu sama lain berbeda-beda, titik temu dari semua kelompok tersebut adalah satu, yakni slogan: Selamatkan Indonesia dengan syariah! Mereka berpandangan bahwa pemerintahan sekular masa lalu telah gagal, kini saatnya Islam diberi kesempatan menjadi sistem negara.
Kelompok-kelompok fundamentalis itu menilai bahwa NU-Muhammadiyah sangat lamban dalam merespon keinginan mereka memperjuangkan syariat Islam. Itu sebabnya mereka memperjuangkan sendiri agenda tersebut. Maka kita lihat bahwa MMI merupakan “sempalan” dari Muhammadiyah. Begitu juga tokoh-tokoh PKS yang cukup militan dalam memperjuangkan aspirasi Islam adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah. Dalam barisan FPI tergabung para alumnus baik dari NU maupun Muhammadiyah, kendati FPI secara kultural lebih dekat ke NU. HTI adalah satu-satunya fenomena yang berbeda karena ia tidak memiliki akar dalam sejarah gerakan Islam di tanah air. Ia adalah gerakan transnasional.
Terhadap kelompok-kelompok itu, berbagai sebutan segera disematkan, seperti Islam radikal, Islam militan, Islam konservatif, Islam fundamentalis, Islam garis keras, bahkan Islam ekstrem. Aksi-aksi mereka tidak sepi dari perlawanan. NU dan Muhammadiyah seringkali bersama-sama melakukan counter terhadap isu-isu yang diusung oleh kelompok ini, terutama yang menyangkut keselamatan bangsa seperti isu kembalinya Piagam Jakarta (karena akan memecah-belah bangsa) dan kekerasan atas nama agama seperti peledakkan bom dan perusakan rumah-rumah ibadah.
Aksi tandingan dari NU dan Muhammadiyah ini, belakangan dinilai kurang tegas, bahkan cenderung diabaikan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras. Inilah yang membuat gusar kaum muda dari sayap progresif. Sementara itu tokoh-tokoh Islam progresif di luar NU dan Muhammadiyah, seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendy, dan lain-lain, saat itu dinilai sudah terlalu “tua” dan “lemah” untuk melawan tendensi radikal di kalangan Islam.
Kondisi inilah yang mendorong kelahiran kelompok progresif yang kemudian pada tahun 2002 mendeklarasikan berdirinya sebuah wadah perkumpulan bernama Jaringan Islam Liberal atau JIL. Ulil Abshar Abdalla adalah koordinator dari jaringan ini.
Ulil dan para aktivis Islam muda (rata-rata mereka adalah kaum santri) ingin “memerangi” kelompok-kelompok garis keras dengan cara-cara yang lebih artikulatif, tegas, dan frontal. Itu sebabnya, kelahiran JIL disambut dengan kemarahan oleh kelompok-kelompok garis keras. Keduanya bertemu dalam forum-forum panas. Hampir semua wacana yang diusung oleh kelompok Islam garis keras ditentang oleh JIL. Dan sebaliknya wacana-wacana yang digelindingkan oleh JIL juga dilawan oleh kelompok garis keras.
Puncak dari perlawanan kelompok garis keras ini adalah keluarnya Fatwa Hukuman Mati oleh Forum Ulama Umat (FUU) untuk Ulil Abshar Abdalla, tokoh JIL, pada 2002. Di belakang fatwa itu adalah tekanan dari berbagai ormas Islam garis keras yang cemas dengan isu-isu yang digulirkan oleh Ulil dan JIL.
Oleh kelompok-kelompok fundamentalis, Ulil dianggap sebagai perusak Islam dari dalam dan karena itu merupakan ancaman nyata. Kantor JIL di daerah Utan Kayu Jakarta Timur dikirimi paket bom dalam bentuk buku, yang ditujukan kepada Ulil. Tak terbilang tudingan antek Barat dan label sesat yang disematkan kepada Ulil.
Ulil juga pernah dilarang masuk ke Malaysia oleh otoritas negeri jiran tersebut karena dianggap menganut paham Islam yang berbeda. Pada Agustus 2005, FPI menyerang markas JIL di jalan Utan Kayu, Jakarta Timur. Untungnya aparat keamanan berhasil mencegah dan menggagalkan rencana penyerangan tersebut, walaupun posisi pasukan FPI saat itu tinggal beberapa meter saja dari markas JIL.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa setelah “huru-hara” pemikiran Islam Nurcholish Madjid ternyata masih ada “gema” dalam gerakan Islam di Indonesia, bahwa ternyata setelah Nurcholish masih ada pemikir yang mampu menimbulkan gelombang tsunami. Dialah Ulil Abshar Abdalla, anak santri yang menguasai kitab kuning (Arab) dan sekaligus memiliki akses yang luas pada literatur asing (Inggris).
Ulil berusaha mengembangkan interprerasi Islam yang lebih terbuka, toleran, pluralis, demokratis, dan berperspektif jender. Ia dianggap berbahaya oleh kelompok-kelompok garis keras karena mereka merasa asing dengan wacana-wacana tersebut, yang menurut Ulil justru merupakan ajaran pokok Islam. Apa yang dianggap penting oleh kelompok-kelompok garis keras, oleh Ulil dijawab dengan merumuskan “Doktrin-doktrin yang kurang perlu dalam Islam” (Abdalla, 2008). Banyak hal dalam agama menurut Ulil yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikit pun watak dasar agama itu.
Begitulah keberanian seorang Ulil. Tidak banyak sarjana Muslim seperti dia. Dia mewarisi keberanian Gus Dur dan Cak Nur, dua raksasa pemikir Islam pendahulu yang sangat dikagumi dan dihormatinya. Dan seperti halnya Gus Dur dan Cak Nur yang pemikirannya melintasi zaman, Ulil pun seperti itu. Bisa dipastikan bahwa anak-anak muda muslim yang sekarang berani berpikir bebas, bersikap terbuka, toleran, batal berangkat ke Suriah, berutang budi kepada Ulil.
Sekarang sudah genap dua puluh tahun gerakan Ulil dkk, masa di mana sudah banyak hal yang berubah. Dulu Cak Nur menggulirkan pembaruan jilid dua (Pidato TIM 1992) setelah 20 tahun (pembaruan jilid satu pada 1970-an). Karena itu, kita juga menunggu gerakan Ulil jilid kedua yang tentu akan melahirkan pencerahan-pencerahan baru.
Saya pernah mengatakan itu kepada Ulil, dan dia menjawab lirih, “Saya bukan siapa-siapa, Gaus, dan tidak punya apa-apa..” Saya sedih.
Selamat Ulang Tahun, Ulil.