Beliau lahir pada tanggal 17 Maret 1939 dari sepasang suami-istri bernama Abdul Majid dan Fatonah di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Cak Nur adalah sosok pemikir Islam modern, cendikiawan yang gagasan, pemikiran dan buku-bukunya menjadi rujukukan banyak orang.
Perkenalan dengan pemikiran Cak Nur dimulai ketika saya menjadi salah satu santri di pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang tahun 2013. Pada waktu itu saya secara tidak sengaja menemukan buku dengan cover hitam bergambar seorang laki-laki yang terlihat bersahaja di perpustakaan pondok.
Buku tersebut adalah magnum opusnya Cak Nur yang berjudul “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan”. Lazimnya santri salaf, buku-buku yang selalu dibaca setiap hari adalah kitab-kitab klasik (turats) yang ditulis oleh ulama kuno.
Saya tidak pernah absen membaca kitab-kitab itu. Kebiasaan itu berubah setelah menemukan buku Cak Nur itu, jika dulu saya setiap hari selalu membaca buku-buku klasik berbahasa Arab, kini hampir setiap hari saya selalu membaca buku Cak Nur itu. Halaman demi halaman saya baca secara cermat dan perlahan. Hanya butuh waktu dua minggu untuk membaca buku itu.
Pada tahun 2017 saya lulus dari pesantren dan melanjutkan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terletak di Ciputat.Di sinilah saya baru mengetahui ternyata Cak Nur yang bukunya saya baca dan saya kagumi dulu ketika di pondok adalah cendikiawan asal Ciputat dan kader serta tokoh di HMI. Keraguanku untuk bergabung dengan salah satu organisasi luar kampus tidaklah lama, semenjak mengetahui Cak Nur kader HMI, saya mantap dan langsung masuk HMI.
Semua jenjang perkaderan di HMI saya ikuti secara bertahap. Yang paling mengesankan, sebagai kader HMI baru adalah pemikiran-pemikirannya Cak Nur yang sangat komprehensif tentang Islam yang ia sumbangkan kepada HMI.
Buku saku HMI yang berjudul “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” yang disingkat NDP adalah berisikan pemikirannya Cak Nur tentang Islam yang komprehensif mulai dari kepercayaan kepada Tuhan hingga pada aspek keadilan, kesejahteraan sosial dan ekonomi. Bagi saya ini sangat luar biasa karena kebanyakan ustad, tokoh agama hanya menyentuh sisi-sisi ketuhanan semata tidak sampai pada aspek yang temporal.
Buku tersebut menjelaskan secara apik tentang nilai-nilai fundamental Islam yang hilang di Timur tengah. Disebutkan sendiri oleh Cak Nur bahwa buku tersebut adalah hasil dari perjalanannya selama di Timur Tengah. Cak Nur merasa sangat kecewa dengan praktek-praktek Islam di tanah kelahirannya sendiri yang berujung pada kejumudan dan fanatisme.
Pemikiran Cak Nur tentang Islam yang ia tuangkan dalam NDP sangat relevan dengan latar belakang alasan lahirnya HMI pada tahun 1947. Kelahiran HMI pada tanggal 5 Februari 1947, yang dipelopori oleh Prof. Drs. H. Lafran Pane di Yogyakarta dimaksudkan untuk menghimpun para pemuda atau mahasiswa Islam untuk bersama-sama berjuang berdasarkan nilai-nilai Islam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Sudah barang tentu kehadiran dan perjuangan HMI tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia. Terbentuknya HMI hanya terpaut dua tahun dengangan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nilai-nilai Islam yang dimaksudkan oleh Lafran Pane menemukan bentuk dan teorinya ketika Cak Nur menulis pemikirannya tentang Islam yang diberi nama NDP. Buku saku kader HMI yang berisikan tentang dasar perjuangan HMI.
Cak Nur adalah representasi tokoh HMI yang bergelut dalam keilmuan. Kehadiran Cak Nur dengan pemikiran dan gagasannya yang lebih terbuka, radikal bahkan liberal merangsang lahirnya tokoh-tokoh intelektual HMI yang lain.
Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra dan Yudi Latief misalnya. Dua yang pertama selain menjadi rival dalam diskusi dan gagasan juga menjadi sahabat dan koleganya Cak Nur. Sedangkan tiga yang terakhir selain menjadi murid juga menjadi penerus dan pengembang pemikiran dan gagasan-gagasannya Cak Nur.
Kepakaran dan ketokohan Cak Nur di HMI diakui ketika ia mejadi ketua Pengurus Besar HMI (PB HMI) selama dua periode. Dalam perjalanan sejarah tidak ada satupun kader HMI yang menjabat ketua umum selama dua periode terkecuali Cak Nur.
Akbar Tandjung menceritakan bagaimana detik-detik terpilihnya Cak Nur sebagai ketua umum yang kedua kalinya. Pada saat menyampaikan laporan pertanggungjawabannya pada kongres HMI yang ke Sembilan di Malang, Cak Nur menyampaikan dengan sangat apik hasil perjalanannya ke Timur Tengah tentang kondisi Islam di sana.
Cak Nur menjelaskan tentang Islam Timur Tengah yang jumud, konservatif, tertutup dan terbelakang. Singkatnya, Cak Nur menceritakan tentang kekecewaannya tentang Islam Timur Tengah sembari menawarkan dan menyampaikan yang seharusnya.
Romantisme hubungan Cak Nur dengan HMI tidak selamanya baik. Puncaknya pada tanggal 13 Juni 2002 dalam seminar kepemimpinan dan moralitas bangsa dalam era reformasi di auditorium LIPI, Cak Nur menyuarakan kekesalannya dengan menyarankan agar HMI dibubarkan.
Alasannya jelas, HMI menjadi bulan-bulanan rakyat, sebab didalamnya terdapat koruptor, ekses menjadi anggota organisasi ini menyebabkan beberapa menggunakan kesempatannya melakukan money politic untuk memperoleh jabatan, dan hal lain demikian. Oleh karena itu, Cak Nur menjadi referensi keilmuan kader-kader HMI dalam keilmuan.
Pada akhirnya, alasanku menjadi HMI karena Nurcholish Majid menemukan alasan dan landasannya dalam pepatah arab “tirulah orang-orang yang mulia kendatipun engkau bukan bagian dari mereka, karena didalam meniru orang mulia ada kesuksesan”.
Dengan mengikuti jejak langkah Cak Nur, saya dan kita berharap akan lahir Cak Nur baru dengan gagasan dan pemikirannya yang progresif, demokratis dan modern.