Kita semua tentu tak asing dengan dongeng dari J. M. Barrie. Kira-kira plot paling terkenal dari kisah itu, yang sudah dialih-wahanakan ke beragam bentuk itu, Peter Pan adalah seorang anak kecil yang terjebak di Neverland dan tak pernah bisa beranjak dewasa. Tentu saja kita bisa mengandaikan lebih jauh bahwa selain fisik yang tak pernah beranjak dewasa, mentalitasnya pun setali tiga uang.
Kisah tersohor itu yang pertama kali muncul di benak saya hari-hari ini ketika mengikuti silang sengkarut pemberitaan maupun lini massa perihal International People Tribunal 1965 (IPT 65) di Den Haag. Tentu kenyataan di atas membuat saya tak perlu repot-repot menjelaskan pada pembaca sekalian, apa itu IPT 65. Anda hanya perlu mengetiknya di google dan segambreng informasi, tentu dengan beragam variasinya yang sungguh wah, tersaji pada Anda.
Tentu saja bisa diklasifikasikan menjadi dua kubu; yang setuju serta mendukung IPT 65 di satu sisi dan yang sungguh menolak dan memaki-maki di pihak lainnya. Tentu jangan Anda kira bahwa presentasi antara yang setuju dan yang tidak setuju ini berimbang. Sama sekali tidak. Yang tidak setuju jauh melampaui yang menyetujui. Banyak alasan bagi mereka yang tidak menyetujui bahkan memaki-maki IPT 65 ini. Sekelumit alasannya adalah perkara kesatuan bangsa, Pancasila, menjaga keberlanjutan bangsa, dan sebagainya.
Bila Anda mengikuti live streaming IPT 65 dengan hati nurani yang terjaga serta nalar yang normal, tak perlu terlalu bersih juga nalar dan hati nurani Anda, saya yakin akan ada satu atau dua kalimat kesaksian yang membuat Anda, minimal, merasakan air mata mau jatuh dari mata. Saya bahkan merasa tak kuasa untuk menuliskan bagian mana saja dari pengakuan-poengakuan itu yang membuat saya melupakan rokok yang telah dibakar tergeletak tak terjamah di asbak. Marah pun tak sanggup.
Tak perlu berpanjang lebar saya ulangi di sini, karena toh kata-kata seperti apa pun tak bisa lagi merepresentasikan kesedihan dan penderitaan yang begitu rupa dialami para korban yang bersaksi di IPT 65 itu. Kita hanya perlu secuil kemanusiaan dan setetes kedewasaan untuk diam terpaku, merasakan sedikit tikaman dingin di dada kita.
Namun, hanya secuil kemanusiaan dan hanya setetes kedewasaan itu rupanya sangat sulit di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Tembok-tembok kekerdilan yang dilapisi kebodohan rupanya sudah begitu tebal. Tak perlulah kita membicarakan perihal begitu banyaknya penelitian yang sudah membuktikan kejahatan kemanusiaan itu benar-benar terjadi. Cukuplah meminta waktu untuk menyaksikan kesaksian-kesaksian itu atau ujaran-ujaran para algojo di film Senyap-nya Joshua Oppenheimer. Tetapi memang begitu tebalnya tembok kekerdilan dan kebodohan itulah yang membuat semua itu tak berarti apa-apa bagi mayoritas penduduk negeri ini, dari tingkat elite sampai tingkat bawahnya.
Berterima kasihlah kepada Soeharto yang berkuasa begitu lama dan berhasil membangun tembok kekerdilan dan kebodohan itu dengan begitu kuat dan begitu sulit ditembus. Bahkan secuil kemanusiaan dan setetes belas kasihan pun tak diberi tempat pada tembok itu. Berterima kasihlah pula padanya yang berhasil membuat empati pergi jauh dari tembok itu.
Bukan itu saja. Jika saja ada segelintir orang di negeri ini yang kemanusiaan dan hatinya tersentuh oleh penderitaan-penderitaan para korban 1965, jika saja ada segelintir orang yang mau membaca sejarah dengan lebih jujur, mau menghadapi luka-luka masa lalu dengan tegar, tembok kekerdilan dan kebodohan itu lantas memaki-maki mereka. Segala tuduhan yang muncul dari kekerdilan dan kebodohan itu pun dilontarkan dengan begitu beringasnya. Dengan sokongan tak terkira dari sisa-sisa Orde Baru, jargon-jargon yang semakin menunjukkan kebodohan dan kekerdilan diumbar melalui media massa-media massa yang dikuasai mereka.
Tentu saja mereka tak mau tembok itu segera runtuh. Inilah tembok yang membentengi segala kekayaan dan kekuasaan mereka yang hingga kini masih mencengkeram. Jika tembok itu runtuh, barangkali juga kekuasaan dan kekayaan mereka tak langsung hilang begitu saja. Tetapi barangkali, minimal, mereka tak leluasa lagi mengeruk keuntungan dan semena-mena berkuasa. Barangkali, silang sengkarut dan selalu tidak beresnya urusan pendidikan di negeri ini sedikit banyak disumbangkan perkara di atas. Tentu lebih gampang menjajah yang bodoh dan kerdil, bukan?
Bukan saja dari sisa-sisa Orde Baru, sang pembangun tembok kekerdilan dan kebodohan itu saja perlawanan terhadap keinginan untuk berempati dan melihat sejarah dengan lebih baik itu muncul. Bisa jadi penguasa baru yang dahulunya berseberangan sungguhan dengan Orde Baru pun berusaha mati-matian agar tembok kekerdilan dan kebodohan itu tak runtuh. Tujuan atau kondisi yang menyebabkan hal itu mungkin beragam dan bisa diperdebatkan lebih lanjut. Tetapi yang pasti, ya itu tadi, lebih gampang menjajah dan menguasai manusia-manusia kerdil dan bodoh.
Jadi, jika memang mau terus hidup di dalam kebodohan dan kekerdilan, ya silakan saja terus melawan sekuat tenaga segala inisiatif untuk berempati dengan kemanusiaan dan belajar sejarah yang sesungguhnya dan bukan fiksi. Dan barangkali, kita memang perlu menunggu lebih lama lagi agar bangsa ini melepaskan masa kanak-kanaknya; kembali ke buminya yang sesungguhnya dan bukan mendekam di neverland dengan segala ilusi-ilusi yang diciptakan. Ilusi latihan baris berbaris sebagai bela negara misalnya.