Kamis, April 25, 2024

Menuju Neraka dan Banjir Besar? [Catatan Perubahan Iklim 2016]

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
obama-dicaprio
Presiden Obama dan DiCaprio dalam cuplikan film dokumenter tentang perubahan iklim, Before The Flood.

“The good Earth—we could have saved it,
but we were too damned cheap and lazy.”
Kurt Vonnegut, dalam A Man without a Country

Pada tahun 2006, fisikawan jebolan MIT Joseph Romm menulis sebuah buku yang sangat terkenal. Judulnya Hell and High Water: Global Warming, The Solutions and the Politics, and What We Should Do. Perubahan iklim memang secara sederhana menghasilkan dua kondisi ekstrem. Ketika kemarau datang, Bumi semakin panas. Ketika musim hujan tiba, banjir besar melanda.

Sama dengan pesan dari artikel Pacala dan Socolow yang muncul dua tahun sebelumnya, pesan Romm sangat tegas: kita punya seluruh teknologi yang diperlukan untuk menyelamatkan manusia dari bencana iklim. Kalau kumpulan teknologi itu kita kerahkan segera, bukan saja secara ekonomi kita bisa berhemat banyak—karena semakin lambat kita bertindak, semakin mahal pula biaya yang harus kita tanggung—melainkan juga kita bisa mendapatkan keuntungan dari bentuk ekonomi hijau yang tumbuh. Tapi, Romm menekankan, politiklah yang paling sulit diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Tahun 2016 mungkin adalah noktah waktu di mana kita akan mengingatnya sebagai bukti kebenaran pernyataan Romm. Politik yang jauh dari dan bahkan menyerang akal sehat bisa kita saksikan di seluruh dunia. Inggris dan Amerika Serikat mungkin adalah contoh paling ekstremnya. Namun, kita tak bisa menyatakan bahwa bagian dunia yang lain bisa lolos sepenuhnya dari jebakan politik yang menjual murah masa depan anak-cucu kita.

Di tahun yang sama dengan terbitnya buku Romm, film dokumenter An Inconvenient Truth juga muncul. Walaupun Al Gore, tokoh utama di situ, adalah seorang politisi dengan pencapaian yang luar biasa hebat, tapi dia bukan politisi arus utama. Perjuangannya untuk memastikan perubahan iklim masuk ke benak banyak orang sangat berhasil, terutama lewat film dokumenter yang diganjar banyak sekali penghargaan, termasuk Oscar itu. Namun demikian, kebanyakan politisi tetap bergeming. Bukan cuma di Partai Republik Amerika Serikat, tapi juga di seluruh dunia.

Bukti atas kelembaman politik sangat mudah diperoleh. Apakah perundingan setahunan perubahan iklim alias Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang tahun 2016 sudah terlaksana untuk ke-22 kalinya itu telah mencapai suatu kemajuan yang mencerminkan kebutuhan dunia, ketersediaan teknologi, dan ekonomi hijau?

Belum. Jauh dari itu. Jadi, walaupun Gore bisa membuat “semua orang” sadar akan ancaman dan peluang dari perubahan iklim, dunia sesungguhnya masih berada dalam kondisi business (almost) as usual.

Mungkin ada yang hendak menyanggah pernyataan itu dengan bukti tercapainya Kesepakatan Paris pada COP21 di akhir tahun 2015. Tak bisa dimungkiri, COP itu mungkin yang paling maju pencapaiannya. Tetapi, ketika kita timbang lebih jauh dengan dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) yang disetorkan menjelang COP22, tersibak kenyataan bahwa dunia masih jauh dari selamat.

Kesepakatan Paris menyebutkan bahwa bila kehidupan dunia hendak selamat, maka kenaikan suhu harus dijaga maksimal pada angka 2 derajat Celsius di tahun 2100, dibandingkan dengan awal Revolusi Industri. Bahkan, bila kehidupan hendak dibuat nyaman, maka kenaikannya harus diupayakan pada 1,5 derajat saja. Sementara, setelah seluruh INDC disetorkan, peningkatan suhu tetap saja masih jauh di atas target, yaitu 2,7 derajat.

COP22 di Marrakech seharusnya bisa mulai merundingkan kontribusi yang lebih besar lagi, agar target 2 atau bahkan 1,5 derajat Celsius itu bisa dicapai. Tetapi, apa mau dikata, mood para perunding jatuh lantaran di awal perundingan tiba-tiba dunia menyaksikan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Trump adalah orang dengan pendirian yang inkonsisten.
Dia pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pro terhadap pengendalian perubahan iklim, namun belakangan pernyataannya banyak bertolak belakang dengan kepentingan itu. Pendiriannya yang belakangan inilah yang terekam di benak mereka, perwakilan negara-negara dari seluruh dunia, yang hadir di COP22.

Sebelum Trump terpilih, dunia sebetulnya sudah mengalami keterkejutan besar. Hasil referendum di Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Dan, dunia menyadari bahwa mereka yang pro-Brexit—demikian kampanye keluarnya Inggris dari Uni Eropa disebut—adalah juga yang cenderung anti terhadap pengelolaan perubahan iklim, cenderung tidak peduli pada keberlanjutan secara umum, bahkan melecehkan ilmu pengetahuan. Dunia tersentak, tak percaya bagaimana mungkin Inggris yang dikenal bercita-cita menjadi negara paling hijau bisa sampai kepada kondisi seperti sekarang.

hot-waterTetapi, bagi pengamat yang teliti mungkin sudah bisa merasakan bahwa politik memang tak berpihak pada pengelolaan perubahan iklim yang serius. Hasil kolektif INDC yang disetorkan negara-negara anggota UNFCCC bisa menjadi pertanda kuat. Pertanda yang lain, Before the Flood. Film dokumenter—dengan bintang utama Leonardo Dicaprio—tentang perubahan iklim yang diluncurkan pada 21 Oktober 2016 itu sesungguhnya sulit membuat kita optimistis.

Secara ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi, kemajuannya tak cukup jauh sejak An Inconvenient Truth yang tahun 2016 berulang tahun ke-10. Tapi, secara politik, yang kita saksikan pada Before the Flood hanyalah kumpulan dalih mengapa negara-negara tak bertindak serius. Persis yang kita saksikan pada Years of Living Dangerously, film dokumenter dalam tema yang sama, yang muncul pada April 2014.

Semua itu menandai bahwa Romm sungguh benar. Kelembaman politik telah membuat kita semua terperangkap menjadi orang-orang yang tega membiarkan generasi mendatang menanggung dampak perubahan iklim yang jauh dari aman. Yang lebih menyedihkan lagi, terpilihnya Trump menandai bahwa politik bukan cuma lembam, melainkan juga regresif.

Gore dan Dicaprio telah mendatangi Trump secara khusus dalam dua kesempatan yang berbeda, untuk membujuk Trump “kembali ke jalan yang benar”. Setelah kedua pertemuan, hamburan pernyataan positif bisa kita dengar. Tapi kenyataannya jauh dari menggembirakan.
Trump telah mengumumkan siapa saja yang bakal mengisi jabatan-jabatan strategis kelak setelah dia resmi menjadi Presiden AS. Scott Pruitt bakal menjadi pimpinan tertinggi Environmental Protection Agency (EPA), padahal dia adalah seorang pendusta perubahan iklim. Pada Mei 2016 dia menulis sebuah kolom di The National Review yang menyerang kesepakatan ilmiah.

Rick Perry yang akan menjadi Menteri Energi menulis pada bukunya yang terbit pada 2010 bahwa dunia, alih-alih sedang berada dalam peningkatan suhu, “sesungguhnya” sedang mendingin. Menteri Luar Negeri bakal ditempati oleh Rex Tillerson, yang kini menjabat pimpinan eksekutif ExxonMobil. Perusahaan yang dipimpinnya itu telah diketahui sejak lama sebagai pembiaya distorsi informasi tentang perubahan iklim.

Dan, daftar itu terus bertambah panjang. Ada ulasan yang menyatakan setidaknya ada delapan pendusta perubahan iklim yang telah dinyatakan bakal memegang jabatan-jabatan penting dalam kabinet Trump. Lebih jauh, sudah ada pernyataan yang menyarankan agar AS segera keluar dari Kesepakatan Paris. Tetapi, keluar dari kesepakatan tersebut membutuhkan waktu empat tahun.

Keluarnya AS dari kesepakatan itu adalah prospek mengerikan, karena negeri itu menghasilkan hampir 18% emisi global, hanya satu nomor di belakang Tiongkok yang kini merupakan emiter terbesar. Yang lebih mengerikan, sudah ada yang menyarankan agar tak perlu menunggu 4 tahun, AS perlu langsung keluar dari UNFCCC. Kalau jalan ini ditempuh, tak ada kesepakatan dan proses apa pun di bawah organisasi itu yang perlu dihormati.

Tentu, sebagian publik di AS sendiri akan menolak rencana gila tersebut. Tetapi, seperti yang ditunjukkan secara gamblang oleh Andrew Hoffman dalam How Culture Shapes the Climate Change Debate (2015), sebagian yang lain memang akan condong kepada pendustaan terhadap perubahan iklim. Karena jumlah para pendusta ini cukup besar, maka para politisi yang berhaluan sama akan memperoleh cukup banyak pendukung. Di samping, tentu saja, mereka akan mendapat guyuran sumber daya finansial dari industri bahan bakar fosil, seperti yang selama ini telah terjadi.

Ketika sebuah negara penghasil emisi terbesar kedua setidaknya menunda tindakan nyata atas perubahan iklim—dengan kemungkinan keluar dari Kesepakatan Paris atau bahkan keluar dari UNFCCC—maka dunia harus berhitung ulang dengan cepat dan cermat. Tentu bujukan diplomatis kepada Pemerintah AS perlu dilancarkan oleh semua negara dengan segera dan sungguh-sungguh. Tapi, jalan yang lain juga sangat perlu dipikirkan. Termasuk dan terutama memastikan bahwa sektor swasta melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi yang jauh lebih serius dibandingkan yang selama ini telah ditunjukkan. Bagaimanapun, perusahaan adalah produsen dan perantara dari emisi gas rumah kaca yang paling besar.

Dunia perlu memikirkan industri mana saja yang segera perlu diubah praktiknya. Penghasil emisi yang besar tentu saja industri minyak dan batubara. Tetapi, pemanfaat yang sangat besar juga perlu dipaksa berubah, terutama industri pembangkitan listrik, transportasi dan semen.

Alternatifnya, yaitu sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan harus digenjot secara massif. Dan ini membutuhkan bantuan industri lainnya, yaitu industri keuangan. Kalau industri keuangan dibiarkan terus membiayai energi kotor dan memunggungi energi bersih seperti sekarang, maka segala upaya mengubah bauran energi menjadi ekstra-berat, kalau bukan mustahil.

Bagian akhir dari buku Romm mengingatkan kita semua akan adanya dua kemungkinan perubahan. Pertama, karena bencana perubahan iklim makin sering terjadi dengan dampak yang semakin parah. Kekeringan dan banjir dengan segala dampak ikutannya, juga taifun serta naiknya permukaan laut adalah keniscayaan, akan memaksa manusia untuk berubah. Kedua, lantaran umat manusia, sebelum seluruh hal buruk itu makin kerap menimpa, sudah terlebih dahulu berubah.

Pilihan pertama akan membuat apa yang “diramalkan” oleh Kurt Vonnegut menjadi kenyataan, yaitu di masa mendatang umat manusia bakal menyesali tindakannya yang setengah hati. Pilihan kedua akan membatalkan ramalan itu, mengantarkan umat manusia ke dalam kondisi yang jauh lebih baik.

Apa yang terjadi di masa depan diserahkan sepenuhnya kepada kita. Tahun 2016 jelas menunjukkan kita sedang mengarah pada pilihan pertama. Tetapi kita semua sesungguhnya sangat bisa membalikkannya mulai tahun 2017 ini dan seterusnya.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.