Ketika masyarakat dihebohkan oleh penangkapan sosok yang dikenal dengan sebutan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur, dengan tuduhan terkait kasus pembunuhan dan penipuan baru-baru ini, berikut rupa-rupa polemik yang menyertainya, di benak saya terlintas ada enam hal.
Pertama, polemik kebudayaan tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan yang lain. Kedua, pidato kebudayaan Mochtar Lubis. Ketiga, buku lama terbitan 1976 karangan Khoon Choy Lee, Indonesia between Myth and Reality.
Keempat, tulisan-tulisan Nurcholish Madjid (Cak Nur) tempo dulu. Kelima, artikel Kuntowijoyo berjudul Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas yang dimuat kembali dalam buku dengan judul yang sama pada 2002. Dan, keenam, doa Zawawi Imron tentang “akal sehat kolektif”.
Mengapa polemik kebudayaan terbawa-bawa, karena tema peradaban Indonesia disebut-sebut. Mantan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Marwah Daud Ibrahim, melihat sosok Taat Pribadi sebagai aset bangsa yang tengah terkena fitnah oleh, bahkan dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One yang diampu Karni Ilyas, konspirasi internasional atau asing.
Marwah mengaitkannya dengan hal-ikhwal kebangkitan Nusantara, dengan Taat Pribadi sebagai sosok pentingnya. Konspirasi internasional tersebut disebut berkepentingan untuk mencegah kebangkitan Nusantara, sebagai suatu kelanjutan dari kejayaan-kejayaan sebelumnya, Sriwijaya dan Majapahit.
Klaim bahwa Indonesia merupakan semacam kelanjutan dari Sriwijaya dan Majapahit, sebagai tonggak-tonggak kejayaan Nusantara di masa lalu semacam itu, pernah ditolak oleh Takdir dalam polemik kebudayaan. Takdir lebih melihat bahwa Indonesia merupakan entitas baru yang bukan kelanjutan dari kisah-kisah kejayaan masa lalu. Bukan berarti dia menafikan sejarah, tetapi semangat Takdir ialah melihat ke depan dengan etos kemajuan berpijak dari pengalaman Barat yang “apinya menyala-nyala”.
Kendati orang-orang semacam Takdir mencoba meletakkan Indonesia sebagai entitas rasional dan lebih bertumpu pada rekonstruksi sejarah masa depan, pada praktiknya eksplorasi sisi-sisi irasionalitas dalam masyarakat terus tak terelakkan. Pada Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, budayawan Mochtar Lubis mencatat “percaya takhayul” sebagai salah satu dari enam ciri manusia Indonesia. Ciri negatif lainnya, “hipokritis dan munafik”, “enggan bertanggung jawab atas perbuatannya”, “jiwa feodal”, “artistik”, dan “watak yang lemah”.
Percaya takhayul, dalam hal ini identik dengan klenik, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai “kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang”. Sejarah antropologis bangsa Indonesia memang tak lepas dari dimensi mistik. Potret perkembangannya pada masa Orde Baru, misalnya, bisa kita simak lagi di bukunya Khoon Choy Lee di atas.
Buku ini mengisahkan petualangannya dalam memotret dimensi mitologis bangsa Indonesia, tak hanya di Jawa, tetapi juga Toraja, hingga Papua. Terpotret juga beberapa pejabat Orde Baru yang tak lepas dari kebiasaannya melakukan laku spiritual kalau bukan berkomunikasi dengan “roh leluhur”, sebagai ekspresi dari bagaimana mereka mengikhtiarkan legitimasi mitologis bagi kekuasaan dan jabatannya.
Tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa ragam mitos yang berkembang di Nusantara atau Indonesia ini, bagaimanapun, telah turut membentuk realitas kebudayaan dan “sikap mental” manusia Indonesia. Buku ini juga mengulas bagaimana dimensi mitologis itu direfleksikan dalam simbol-simbol politik. Misalnya, diulas tentang pohon beringin yang jelas-jelas itu dipakai sebagai simbol Golkar, kekuatan politik utama saat itu.
Namun, kita juga tak dapat mengabaikan perkembangan modernisasi. Merujuk pemahaman yang gencar dilakukan antara lain oleh Cak Nur pada dekade 1970-an, modernisasi ialah rasionalisasi. Bahkan pun ketika Cak Nur menguraikan tentang perlunya sekularisasi, pengertiannya sesungguhnya tak jauh dari ikhtiar rasionalisasi itu. Diperlukan proporsionalisasi dalam memandang sesuatu yang sakral atau tidak sakral.
Dalam berbagai tulisannya, Cak Nur mengulas tentang hal-hal yang muaranya mengingatkan pembacanya bahwa pengkultusan itu berbahaya. Daya kritis dan obyektivitas harus dikedepankan, agar umat tak mudah ditipu daya oleh mereka yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan tertentu dengan cara-cara yang tak masuk akal. Lantas, pengetahuan dan wawasan menjadi kunci dalam proses-proses transformasi masyarakat dari yang tradisional ke modern.
Masalah atau, tepatnya, wacana tentang modernisasi yang populer pada dekade 1970-an dan 1980-an, apabila disinggung lagi di zaman kita, mungkin dapat dianggap “cukup ketinggalan”. Apalagi lantas pernah muncul wacana yang marak pada 1990-an tentang pascamodern. Dewasa ini banyak yang mendudukkan aspek-aspek tradisionalitas sebagai bagian tak terpisahkan dari kemodernan. Lantas, muncul konsep tentang kearifan lokal yang tampaknya mencoba melihat tradisionalitas secara lebih positif.
Wacana tentang modernisasi memang telah ditinjau kembali, tetapi orang modern tetaplah berbeda dengan yang tradisional, terutama dalam sikap mentalnya dalam merespons perubahan. Dewasa ini, orang atau kelompok yang dulu dicap tradisional, tampak telah menjadi modern, karena memang modernisasi di segala aspek tak terelakkan. Pembedaan antara kelompok Islam tradisional dan modern, sebagaimana mengemua dalam disertasi ilmuwan politik Indonesia pertama Deliar Noer, juga tak terelakkan dari revisinya.
Masalah orang yang terjebak di labirin mitos di zaman kita tampaknya tak berkaitan dengan apakah ia tergolong dari kelompok Islam tradisional atau Islam modern sebagaimana Deliar Noer pilah untuk keperluan analisis perkembangan politik, tetapi barangkali memang ada faktor budaya yang memang bersifat hstoris di bangsa ini.
Kuntowijoyo, dalam sebuah artikel yang judulnya saya kutip di atas, dalam hal ini mencatat, “Sebagai bangsa, kita pun rupanya sekarang masih hidup dalam mitos. Buktinya, untuk mengatasi krisis kita memerlukan tokoh-tokoh sakti yang punya karisma.” Dan, “Kita,” catat Kunto lagi, “lebih suka menghindar dari realitas dan bukan menghadapinya, persis seperti nenek moyang kita menghindar dengan cara ruwatan, petung, dan sesaji.”
Mitos-mitos itu ada di mana-mana, sadar atau tidak telah membentuk berbagai perilaku, apakah budaya atau politik. Adapun mitos diperlukan dalam kehidupan. Mitos terkait simbol yang dimaknai sedemikian rupa, betapapun jauh dari kondisinya di dunia nyata. Mitos-mitos sesungguhnya bisa dimaknai ulang, secara kritis, dan diproporsionalisasikan untuk kepentingan pembangunan, misalnya. Pada masa Orde Baru yang gencar melakukan sesuatu atas nama pembangunan, dibutuhkan banyak simbol yang dimaknai secara sepihak, untuk itu. Kontestasi wacana simbolik, tak terelakkan.
Namun dewasa ini, kontestasi wacana simbolik tak lagi sepenuhnya terfokus pada negara versus masyarakat, tetapi juga antar-masyarakat. Apalagi kontestasi politik, polanya dan pihak yang terlibat pun semakin beragam, tak lagi “monolitik”. Mitologisasi dan derasionalisasi yang berkembang pun tak lepas dari kontestasi kekuasaan yang membutuhkan banyak materi pendukung.
Ketika pola-pola pragmatisme politik menyubur, ditambah gaya hidup yang semakin konsumeristik, masyarakat semakin susah membedakan antara karisma yang asli atau alamiah dengan yang “palsu”. Hal itu berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi pencitraan dan peran pragmatis media massa. Masyarakat susah membedakan mana yang emas mana yang loyang, karena kemampuan mereka untuk membedakan ditutup secara sistematis.
Namun, budayawan Madura Zawawi Imron masih yakin akan kekuatan “akal sehat kolektif”. Ketika membaca doa di acara ulang tahun Korps Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) pada 28 September 2016 lalu, di Jakarta, dia meminta kepada Allah, agar memberi kekuatan masyarakat Indonesia untuk bisa merawat atau menjaga “akal sehat kolektif” itu. Tentu Zawawi tidak menjelaskan apa yang dimaksud “akal sehat kolektif” itu dalam doanya. Kita pun juga tak tahu dari mana perbendaharaan “akal sehat kolektif” itu dia dapatkan. Tetapi, kita bisa menafsirkannya sebagai suatu “kewarasan nasional”.
Kita punya banyak orang yang berilmu dan bijak. Mereka bisa menjadi referensi. Bicara “kewarasan nasional” tentu tak bisa dipaksakan secara definitif. Mungkin ia akan menjadi wacana abstrak sebagaimana “revolusi mental” dan yang lain. Tetapi, setidaknya “akal sehat kolektif” atau “kewarasan nasional” mampu memunculkan pertanyaan kolektif kita semua: masih waraskah kita, masih sehatkah akal kita sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa dalam mengarungi dan merespons tetek bengek tantangan abad ke-21 ini?