Rabu, November 20, 2024

Mensterilkan Haji dari “Bising” Politik?

Muhammad Ja'far
Muhammad Ja'far
Ketua Pusat Kajian Strategis Hubungan Indonesia-Timur Tengah
- Advertisement -

Perpolitikan Timur Tengah sedang ramai soal rencana Republik Islam Iran memboikot pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Tahun ini Teheran tidak akan mengirimkan jemaah hajinya. Dua kali perundingan digelar dua negara untuk mencapai titik temu, tapi gagal. Jika pada akhirnya Iran jadi memboikot haji, ini akan menjadi riak yang semakin memanaskan politik Timur Tengah.

Hubungan politik kedua negara yang memang sudah panas, akan semakin mendidih oleh masalah haji ini. Bagi Saudi, keputusan Iran ini secara politis sangat mengganggu. Akan mendegradasi wibawa politis-religius Saudi sebagai ’al-khadim al-haramayn (pelayan dua haram: Mekkah dan Madinah).

Keputusan boikot Iran ini bagian dari protesnya atas kesigapan Saudi menjamin keselamatan jemaahnya. Pada tragedi Mina tahun lalu, jemaah haji Iran paling banyak menjadi korban. Tujuh ratus (700) lebih jemaah haji Iran tewas. Teheran berang. Jika beberapa negara pasrah menganggap tragedi Mina sebagai takdir yang harus diterima ikhlas, Iran tak mau “sepolos” itu. Iran mengkritik keras kelalaian pihak Saudi selaku otoritas penyelenggara.

Secara politik, Iran dan Saudi sudah lama “tak bertegur sapa”. Tragedi Mina memperburuk hubungan yang sudah buruk ini. Dan ini bukan kali pertama perseteruan kedua negara melebar ke altar haji. Selama ini, Iran negara yang paling kritis pada Saudi. Ketika negara-negara teluk manut pada mau politik Saudi, Iran satu dari sedikit yang melabrak dominasi politik Saudi. Selain Iran, ada Libanon, Irak, Suriah, dan Yaman yang juga kritis pada Saudi.

Sebagai ritual, haji memang memiliki aura politik yang kuat. Bayangkan, sekitar 5 juta muslimin berkumpul di satu tempat yang sama, pada waktu yang sama juga. Tak cukup itu, semua mata dunia muslimin dunia tertuju ke sana. Publisitas ibadah haji diliput ribuan media dunia Muslim, dan dalam tempo berpekan-pekan. Terjadi satu saja aksi berbau politik yang dilakukan jemaah haji, maka akan menyita perhatian miliaran penduduk dunia. Dampak publisitasnya akan sangat dahsyat.

Mari kita ambil contoh terbaru: tragedi Mina 2015. Efek dari insiden ini menjalar ke mana-mana. Mulai dari sisi yang paling moderat hingga spekulasi sisi paling ekstrim. Ada spekulasi yang mengait-kaitkan tragedi itu dengan politik. Sebagian kalangan melihat ada indikasi sabotase pada tragedi itu, karena korbannya mayoritas jemaah haji Iran, rival politik Saudi.

Sebagian lain mengaitkannya dengan friksi yang terjadi di internal Kerajaan Saudi. Menurut versi spekulasi ini, tragedi Mina ada kaitannya dengan perebutan pengaruh antara pangeran di lingkungan kerajaan. Tak sampai di situ, tragedi ini membuat beberapa negara menuntut “internasionalisasi” penyelenggaraan haji. Agar otoritas penyelenggaraan ibadah haji diberikan pada konsorsium beberapa negara, bukan hanya dimonopoli Pemerintah Saudi. Karena Ka’bah adalah milik muslimin sedunia.

Bagi Pemerintah Saudi, tuntutan semacam itu ibarat mimpi buruk di siang bolong. Bayangkan saja, pendapatan Pemerintah Saudi dari penyelenggaraan haji dan umrah setiap tahunnya lebih dari Rp 150 triliun. Bahkan, menurut prediksi, di masa mendatang potensi ekonomi dari haji dan umrah setara dengan pendapatan minyak (kantorurusanhaji.com, Desember 2015).

Jika urusan haji diinternasionalisasi, keuntungan ekonomi-bisnis itu tak bisa lagi dinikmati sepihak oleh Pemerintah Saudi. Pola konsorsium ini juga akan berdampak mengurangi level wibawa politik Saudi yang selama ini disandang Pemerintah Saudi di hadapan negara-negara Muslim, sebagai pelayan dua haram.

Walhasil, banyak sekali beredar dugaan, spekulasi, dan terkaan soal misteri di balik tragedi Mina. Entah benar atau salah, namun setidaknya itu membuktikan satu hal: “frekuensi suara” haji amat dekat dengan “gendang telinga” politik. Sedikit saja muncul suara “berisik” penyelenggaraan ibadah haji, maka politik akan mendengarnya.

- Advertisement -

Karena itu, Pemerintah Saudi sangat ingin agar ibadah haji steril dari anasir-anasir politik. Pemerintah Saudi tak ingin penyelenggaraan ibadah haji terkontaminasi oleh “suara-suara” politik, karena bisa mengancam stabilitas politik dalam negerinya maupun dominasinya di kawasan timur tengah. Pemerintah Saudi hanya ingin menikmati “profit” ekonomi-bisnis dari penyelenggaraan haji, tapi tak ingin “getah” politiknya.

Pertanyaannya, mungkinkah mensterilkan ibadah haji dari politik? Mungkinkah keduanya dipisahkan di dua wilayah berbeda? Rasanya mustahil memisahkan keduanya secara total. Jika beberapa dekade ini penyelenggaraan haji tampak steril dari “suara” politik, sebenarnya itu dipicu faktor stabilnya perpolitikan Timur Tengah. Jika politik Timur Tengah tidak stabil, Saudi akan sangat kesulitan membendung masuknya masalah politik ke wilayah haji (agama).

Kenapa mustahil mensterilkan atau memisahkan haji dari politik? Alasan paling fundamental: karena secara tidak langsung Pemerintah Saudi sendiri sebenarnya menikmati keuntungan politis dari otoritas tunggalnya sebagai penyelenggara ibadah haji. Diakui atau tidak, kesakralan “aroma” ibadah haji sendiri menular ke “body” politik Pemerintah Saudi. Haji telah memberikan wibawa (Islam) politik tersendiri bagi negara Saudi. Secara langsung maupun tidak, negara Saudi menikmati tampiasan politis-positif dari otoritas haji yang disandangnya.

Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (OKI). Menurut Azyumardi Azra, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis.

Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à-vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain. Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik (Azyumardi Azra, Haji dan Politik: Indonesia dan Arab Saudi, Kompas 29/9/2015)

Dari sini bisa disimpulkan: mungkinkah bagi Saudi memisahkan haji dari efek politik-negatifnya, tapi mau menikmati dari keuntungan politik-positifnya? Rasanya mustahil, karena sama saja dengan “mau buahnya, tapi tak mau getahnya”. Semustahil memisahkan dua sisi mata uang. Jadi, mau tak mau, Pemerintah Saudi harus menerimnya sebagai satu kesatuan paket “politik-haji”.

Kenapa mustahil memisahkan haji dari politik? Alasan kedua: karena sejarah Ka’bah dan haji itu sendiri selalu lekat dengan politik. Pada era awal Islam, Ka’bah merupakan simbol yang diperebutkan oleh berbagai suku Arab. Kenapa? Begini rumusnya: siapa berhasil menguasai Ka’bah, ia akan mengontrol (politik-sosial-ekonomi) seluruh Arab.

Inilah motif di balik rencana Abrahah menghancurkan Ka’bah menggunkan Pasukan Gajahnya. Abrahah sadar betul, jika berhasil menguasai Ka’bah, semenanjung Arab akan kehilangan aura politiknya, sehingga bergeser ke wilayah di mana Abrahah berkuasa. Namun, upaya Abrahah gagal karena pasukannya porak-poranda oleh serangan burung ababil.

Kenapa mustahil memisahkan haji dari politik? Ini alasan ketiganya: karena basis logikanya ambigu. Ketika Iran mengkritik keras Pemerintah Saudi terkait tragedi Mina, Pemerintah Saudi menuduhnya sebagai upaya Teheran untuk mempolitisir haji sebagai ritual. Iran ingin meraup keuntungan politik dari momen haji, demikian tuduhan sejumlah otoritas Saudi.

Sementara menurut Pemerintah Iran sendiri, sikap kritis itu ditujukan pada ketidakprofesionalan Saudi dalam mengelola haji. Sebaliknya, Iran menuduh Saudilah yang mempolitisir haji dengan memanfaatkan otoritas agamis yang saat ini disandangnya.

Mana yang benar: logika Saudi atau Iran? Itulah basis logika politik-haji: meski berangkat dari titik sama sama, ia bisa mendarat di kesimpulan yang bertolak belakang. Jadi, sejak dari basis logikanya, haji memang sudah sulit steril dari politik.

Bahkan, sejarah kita Indonesia merasakan besarnya energi politik dari ibadah haji. Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, gairah muslimin Indonesia untuk berangkat ke Tanah Suci semakin tinggi. Banyak di antaranya kemudian belajar agama dan menetap di sana. Sementara di tanah Arab sedang subur gagasan Pan Islamisme yang menentang keras kolonialisme Barat. Sekembalinya, mereka membawa paradigma keislaman yang tercerahkan: ingin bebas dari belenggu kolonialisme. Perlawanan umat Islam banyak dimotori para haji dan ulama.

Pelarangan berangkat haji pernah diterapkan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1661. Kolonial Belanda menerapkan kebijakan ketat terhadap pelaksanaan ibadah haji dari Indonesia. Kolonial selalu memasang “detektor” waspada terhadap energi politik di tubuh haji.

Tak cukup itu, kolonial Belanda memunculkan tokoh Snouck Hurgronje untuk mengamputasi “kaki” politik ibadah haji. Melalui pemikiran dan nasihat politiknya kepada kolonial Belanda, Snouck memangkas ibadah haji dari akar politiknya, sehingga tak mengancam stabilitas penjajahan.

Itulah tiga alasan kenapa rasanya mustahil mensterilkan haji dari politik. Keduanya satu kesatuan tak terpisahkan.

Muhammad Ja'far
Muhammad Ja'far
Ketua Pusat Kajian Strategis Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.