Ada pemandangan berbeda di kota-kota kecil di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Atas nama pariwisata untuk pertumbuhan ekonomi, pembangunan mal-mal dan hotel-hotel bintang lima di kota-kota kecil tampak begitu mencolok mata. Itu artinya perkembangan di kota-kota kecil sudah mulai maju dengan pesat. Dan pertumbuhan ekonomi dari sektor industri hanya berlaku bagi segilintir orang atau kelompok tertentu saja.
Bagi masyarakat asli setempat atau masyarakat yang mata pencahariannya dari pertanian, misalnya, tentu berbeda. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Yogyakarta memang memiliki agenda-agenda untuk pembangunan daerah. Yang kita tahu sebagian besar dari pembangunan hotel-hotel bintang lima, pusat perbelanjaan, dan sebagainya itu sebagai tolok ukur kemajuan di era global.
Pada tahun 2015 di Yogyakarta, Istijab Danugaro, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, mengatakan pembangunan hotel berbintang mencapai 87 hotel dengan 1.000 hotel non-bintang. Di tahun 2016, ada tambahan pembangunan 10 hotel bintang tiga di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang berhasil mendapatkan izin dari pemerintah daerah.
Permasalahan yang terjadi di Yogyakarta adalah pembangunan hotel-hotel tersebut merebut lahan masyarakat. Jumlah penduduk dan pengguna kendaraan yang meningkat tidak diimbangi dengan ruang kota dan jalan-jalan yang kecil membuat Kota Pelajar itu makin padat dan semrawut.
Sumber daya alam juga semakin sulit dicari. Masyarakat Yogyakarta yang kebutuhan sehari-harinya masih bertumpu pada bantuan sumur air di rumah mereka mulai kesulitan dan bahkan kehabisan air. Karena pompa air di hotel-hotel yang dibangun di sekitar tempat tinggal masyarakat membutuhkan banyak sumber air untuk kebutuhan harian hotel.
Selain kesulitan memperoleh kebutuhan sehari-hari, kita tahu bahwa ini tidak hanya sekadar permasalahan kebutuhan primer seperti pangan tetapi juga lahan sebagai tempat tinggal. Masyarakat kelas menengah tentu ingin “melek” teknologi dan mengikuti perkembangan zaman modern. Sebab, modernisasi itu bukan hanya berupa tren jenis pakaian dalam satu musim, tetapi juga gaya hidup seperti yang termasuk dalam perkembangan yang serba modern itu.
Maka, cukup logis jika masyarakat di kota-kota kecil menerima modernisasi sebagai perubahan paling besar yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan mereka itu sendiri. Kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dan hasrat mereka. Seperti kemudahan berkomunikasi dengan gadget terbaru, kemudahan menggarap lahan dengan mesin traktor keluaran terbaru, hingga kemudahan dalam produksi atas nama pertumbuhan ekonomi.
Beberapa masyarakat dan pemerintah tentu menganggap bahwa penerimaan terhadap modernisasi adalah proses adaptif. Beradaptasi secara sosial, ekonomi, hingga politik. Masyarakat tradisional akan meninggalkan kebudayaan-kebudayaan tradisional mereka yang berguna untuk kebaikan semua. Meninggalkan untuk satu kebudayaan: modernisasi. Satu kebudayaan yang memiliki persamaan dalam ciri atau pola membawa pluralitas global yang baik untuk semua. Untuk mencegah terjadinya “kesalahpahaman” dan kemudahan dalam proses pembangunan, kita akan menganggap bahwa ini untuk kepentingan bersama.
Optimisme terhadap modernisasi hanya memberikan keuntungan pada beberapa pihak. Tentu saja pemerintah dan investor asing. Seperti optimisme modernisasi yang mengatakan bahwa modernisasi akan membawa pembangunan yang lebih baik, bahwa pembangunan yang baik membawa kesejahteraan untuk masyarakat.
Modernisasi memiliki proses, di mana proses tersebut adalah perubahan kultural dan sosioekonomis yang bersifat global. Proses modernisasi terdiri dari empat subproses: perkembangan teknologi, perkembangan pertanian, industrialisasi, dan urbanisasi. Dan dalam tahap selanjutnya diikuti dengan organisasi politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain.
Modernisasi tidak selamanya membawa pengalaman-pengalaman dan inovasi baru jika pada akhirnya berujung pada eksploitasi teknologi. Setidaknya kita tidak perlu lagi menganggap bahwa pemanasan global, penyakit katastropik, dan kejahatan struktural yang mempengaruhi aktivitas organisme hidup manusia sebagai suatu isu konspirasi.
Untuk negara-negara dunia ketiga, bangsa-bangsa non-Barat, kebutuhan kita dengan negara-negara pertama adalah sesuatu yang berbeda. Bahwasanya mereka akan selalu membutuhkan dan mengkonsumsi secara besar nonrenewable resources. Sedangkan kita sebagai negara berkembang yang akan mengejar “ketertinggalan” sebagai penghasil sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Sesuatu yang lucu mengingat untuk menghasilkan bahan bakar mesin, kita membutuhkan sumber daya alam yang mana adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan tempat tinggal kita.
Dalam proses pembangunan menuju kemajuan dan mengejar ketertinggalan kita, kita akan melalui berbagai macam cara, entah secara persuasif dengan evangelisme (dakwah, seperti bagaimana para misionaris mengkristenkan suku-suku tribal) ataupun dengan tendesi militer agresif.
Banyak dari masyarakat tradisional–suku-suku tribal–yang memilih meninggalkan kebudayaan lama mereka, termasuk kebudayaan tradisional yang berguna (seperti penggarapan lahan pertanian). Ada banyak pula masyarakat yang memutuskan untuk tidak mengikuti perkembangan modern untuk mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada dari kebudayaan mereka.
Mereka yang memutuskan untuk menolak bukan karena tidak dapat berkembang ataupun tertinggal, tetapi mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan proses adaptif mereka sendiri. Bagaimana bisa masyarakat-masyarakat tradisional melakukan proses adaptifnya sendiri jika mereka diperkenalkan langsung dengan mesin? Dan jikalau mereka memberikan ruang keterbukaan untuk sesuatu modern yang kita sebut beradab itu, tidak selalu berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
Pembangunan-pembangunan daerah, khususnya oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan ekstraksi migasnya pun, tidak akan cukup memberikan kesempatan karena mereka dipinggirkan dari lahan mereka sendiri. Tidak selamanya berjalan sebagaimana mestinya, karena sistem-sistem nilai modernitas tidak selalu cocok atau sedikit memiliki ciri-ciri dengan kebudayaan tradisional masing-masing.
Dan kota-kota kecil akan “mengejar kertinggalan” mereka dengan kota-kota besar. Infrastruktur akan dibenahi. Regulasi? Entahlah. Jika kita cukup optimistis tanpa melihat data-data angka kemiskinan dan kejahatan struktural lainnya, maka itu tidak menjadi masalah. Jadi, kita tidak perlu khawatir.
Ketidakpuasaan akan standar hidup yang mereka lihat dari Barat menyebabkan apa yang antropolog Paul Magnarella sebut culture of discontent. Yakni, ketika orang-orang mencari sesuatu yang lebih daripada nilai-nilai tradisional mereka. Mereka akan pindah ke kota ataupun “membangun kota sendiri” di lahan mereka untuk kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Kenyataannya, banyak pula masyarakat yang tidak melihat kapabilitas atau mengukur bahwa hal itu melampaui kemampuan dan realitas kebudayaan mereka sendiri.
Apakah perubahan kultural dan sosioekonomis dengan karakteristik Barat akan membantu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada? Apakah justru menimbulkan masalah-masalah yang lebih besar, kompleks, dan bersifat destruktif?