Selasa, Desember 23, 2025

Menjadi Ibu Super Namun Terluka

Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas
Politician; Clinical Psychologist Candidate
- Advertisement -

Menjadi ibu sering kali digambarkan sebagai peran yang “alami”, seolah cukup dengan cinta maka semuanya akan berjalan dengan baik. Padahal kenyataannya, menjadi ibu adalah proses kompleks yang menuntut kesiapan fisik, mental, emosional, bahkan ekonomi. Tidak ada yang benar-benar mudah dari proses ini, dan saat menganggapnya mudah justru berisiko melahirkan kelelahan yang panjang, senyap, dan sering kali tidak terlihat.

Seorang perempuan tidak otomatis siap menjadi ibu hanya karena ia mampu mengandung dan melahirkan. Tubuh perlu sehat, mental perlu stabil, dan kondisi ekonomi perlu cukup agar ibu mampu tumbuh dan membersamai anak serta pasangannya dengan utuh. Ibu bukan hanya “pengasuh”, tetapi juga manusia yang terus berproses, belajar, dan membutuhkan ruang aman untuk berkembang. Tanpa dukungan yang memadai, perempuan yang menjadi ibu dapat mengalami tekanan psikologis yang berkepanjangan, berkontribusi pada kondisi kesehatan jangka panjang, termasuk gangguan mental dan resiko penyakit degeneratif.

Tantangan Kesehatan bagi Ibu

Produksi hormon, perubahan peran, tuntutan pengasuhan dan pergeseran identitas kehidupan pasca melahirkan memiliki dampak pada kesehatan mental perempuan. Penelitian Amna & Khairani yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen (Vol. 17, No. 1, 2024), menunjukkannbahwa lebih dari 34% ibu pasca-bersalin mengalami depresi ringan, 19,8% kategori sedang, dan 5,6% kategori berat, dengan faktor resiko termasuk regulasi emosi, kepuasan pernikahan, dan dukungan sosial, semuanya menjadi penentu penting kesejahteraan mental ibu muda.

Dalam psikologi perkembangan, stres pengasuhan dijelaskan sebagai reaksi emosional dan fisiologis terhadap tuntutan adaptasi terhadap peran orang tua. Ketika ikatan emosional kuat tanpa dukungan sosial yang cukup, stres ini dapat menurunkan sensitivitas ibu terhadap kebutuhan anak dan mengganggu hubungan emosional jangka panjang.

Sebuah survei yang dipublikasikan dalam laman parents.com (2025), terhadap 3.000 orang tua di U.S. menunjukkan bahwa 90% kehilangan tidur karena stres pengasuhan, 80% menangis akibat tekanan, dan hampir 30% mempertimbangkan tindakan ekstrem seperti self-harm (menyakiti diri sendiri). Data ini menggambarkan beban psikologis yang sangat berat pada orang tua dalam tuntutan situasi pengasuhan saat ini.

Tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, beban psikologis jangka panjang juga memiliki hubungan dengan resiko kesehatan fisik. Penelitian terhadap pengasuh dalam keluarga (ibu/perempuan) yang dipublikasikan dalam laman National Library of Medcine (2022), menunjukkan hubungan antara stres pengasuhan dengan penyakit kardiometabolik, termasuk biomarker lipid yang terkait dengan penyakit jantung metabolik.

Teori allostatic load dalam ilmu kesehatan menjelaskan bahwa stres kronis menghasilkan beban fisiologis yang terakumulasi dalam tubuh, meningkatkan resiko penyakit degeneratif seperti: hipertensi, diabetes, dan gangguan kardiovaskular bila tidak dikelola dengan baik.

Dalam prespektif teori Conservation of Resources (COR), stres kronis muncul ketika seseorang menghadapi ancaman kehilangan sumber daya penting (energi, waktu dan dukungan sosial) tanpa adanya pengembalian atau dukungan yang setara, dapat memicu kekosongan sumber daya emosional dan fisik yang beresiko gangguan mental dan fisik jangka panjang.

Dukungan Sosial Kunci Pengurangan Resiko

Salah satu kekuatan utama seorang ibu adalah memiliki pasangan yang kolaboratif dan suportif. Pengasuhan anak dan kerja domestik bukanlah peran tunggal ibu. Ketika seluruh beban emosional, fisik, dan mental hanya diletakkan di pundak ibu, maka yang terjadi bukan pengabdian, melainkan kelelahan kronis.

Pasangan yang hadir sebagai rekan pengasuhan, bukan sekadar pemberi materi apalagi hanya sebagai penonton dan pengamat tumbuh kembang anak. Pasangan supportif membantu menciptakan ekosistem keluarga yang sehat. Dalam sistem yang kolaboratif, ibu tidak dipaksa menjadi “superwoman” yang harus selalu kuat, sabar, dan mengalah. Sebaliknya, ia diberi ruang untuk menjadi manusia utuh yang juga bisa lelah, salah, dan butuh jeda.

- Advertisement -

Kondisi ini sangat berpengaruh pada kesehatan jangka panjang. Ibu yang terus hidup dalam tekanan, stres berkepanjangan, dan kelelahan emosional lebih rentan mengalami berbagai penyakit degeneratif. Bukan karena usia semata, tetapi karena tubuh dan pikiran yang terlalu lama berada dalam mode bertahan (survival mode).

Dalam siaran pers KPPPA 23 Juli 2023 menyebutkan bahwa berdasarkan penelitian dari Health Collaborative Center (HCC) pada Pekan ASI sedunia 2022, dibuktikan bahwa 6 dari 10 ibu menyusui tidak bahagia. Kondisi ini dipengaruhi oleh kurangnya dukungan suami dan keluarga, gangguan klinis depresi pasca-persalinan yang memanjang dan tidak adanya akses konseling, skrining dan diagnostik cepat di awal gangguan.

Pada konteks keluarga, dukungan pasangan dan keluarga terbukti berperan penting. Penelitian Suryani & Yazia yang diterbitkan dalam Jurnal Keperawatan Jiwa (Vol.10, No. 4, 2022), ditemukan bahwa dukungan keluarga yang rendah berhubungan dengan tingkat stres yang lebih tinggi pada ibu yang mengasuh anak berkebutuhan khusus. Hal ini selaras dengan temuan yang lebih luas tentang bagaimana isolasi sosial memperburuk tekanan bagi perempuan yangbmemikul pekerjaan pengasuhan dalam rumah tangga.

Mitos Berbahaya: Pengorbanan Totalitas

Narasi totalitas berkorban sebagai ibu, yang seringkali dimaknai dengan menyerahkan seluruh waktu, jiwa, dan raga demi anak dan pasangan adalah bukti cinta terbaik. Semakin ia menghapus dirinya sendiri, semakin ia dianggap mulia. Padahal, pengorbanan total tanpa perawatan diri justru berbahaya.

Dalam sebuah penelitian Dyah Ayu R., dkk yang diterbitkan oleh Jurnal Psikosains (Vol. 19, 2024) menyimpulkan bahwa rendahnya self-compassion berkorelasi dengan tingginya stres pengasuhan pada ibu rumah tangga. Hal ini menjelaskan bahwa regulasi diri yang sehat, justru diperlukan untuk menjalankan peran yang berkelanjutan.=

Self compassion sebagai sikap berbaik hati terhadap diri, pengertian, dan penerimaan diri saat mengalami kegagalan atau merasa tidak sempurna. Perasaan gagal dan tidak sempurna seperti ini seringkali dirasakan oleh ibu saat pertumbuhan anak atau peran ibu tidak sesuai dengan ekspektasi sosial masyarakat. Dengan menyadari bahwa kesulitan dan kegagalan adalah bagian alami dari pengalaman manusia, bisa diperbaiki, bukan mengkritik dan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.

Ibu yang tidak memikirkan kondisi dirinya sendiri berisiko bertindak impulsif dan emosional. Bukan karena ia tidak menyayangi anaknya, tetapi karena kapasitas mentalnya sudah terlalu penuh. Otak yang overload tidak mampu mengambil keputusan dengan tenang dan bijaksana.

Dari sinilah kita sering melihat fenomena luka batin pada anak yang ditinggalkan oleh ibu tanpa disadari, seperti sosok ibu yang over-boundary, over-protektif, atau over-involved dalam hidup anak. Banyak orang dewasa hari ini membawa luka tersebut dan bertanya-tanya, “Mengapa ibuku seperti itu?” Jawabannya sering kali bukan karena benci atau kurang cinta. Justru sebaliknya, karena cinta yang tidak diimbangi dengan kesehatan mental dan sistem dukungan yang memadai (pasangan, ekonomi dan lingkungan sosial). Ketika ibu tidak punya ruang untuk dirinya sendiri, cinta bisa berubah menjadi kontrol, kecemasan, dan kemarahan yang tak tersadari. Takut kehilangan dari satu-satunya harapan dan totalitas pengorbanan hingga tidak punya apa-apa yang membuat dirinya berharga, selain dengan ‘membatasi’ anak agak tetap sesuai ekspektasinya yang juga dibentuk oleh orang lain kepada diri sang ibu.

Ibu Merawat Diri adalah Tanggung Jawab, Bukan Egoisme

Ibu yang merawat diri bukan berarti egois, tapi strategi preventif agar ibu tetap hadir secara sehat dan stabil dalam kehidupan anak dan pasangan. Pada setiap penerbangan, pramugari selalu mengingatkan pasang masker sendiri terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain. Prinsip ini penting dalam proses pengasuhan, karena tekanan psikologis dan fisik yang tak tertangani dapat bermuara pada dampak jangka panjang bagi diri ibu maupun anak, termasuk tindakan impulsif, kelelahan emosional, dan luka batin pada anak di masa depan.

Menjadi ibu bukan pekerjaan mudah atau muncul secara naluriah semata. Ia melibatkan tuntutan kompleks yang mempengaruhi kesehatan mental, fisik, dan sosial perempuan. Burnout pada ibu yang memiliki peran ganda adalah fenomena nyata dengan konsekuensi psikologis yang serius. Dukungan sosial dan pasangan berperan sebagai buffer penting terhadap resiko stres dan burnout. Stres kronis dalam peran pengasuhan dapat berdampak pada resiko kesehatan jangka panjang termasuk penyakit degeneratif.

Oleh karena itu dukungan struktural baik dari pasangan, keluarga, maupun kebijakan sosial mutlak diperlukan. Merawat diri bukan soal kebutuhan individu, tetapi fondasi untuk membangun keluarga tang sehat, kuat dan berkelanjutan.

Ibu yang bernapas dengan lega, memiliki waktu untuk dirinya sendiri, didukung pasangannya, dan hidup dalam sistem yang adil, akan lebih mampu membesarkan anak dengan empati, batasan yang sehat, dan cinta yang menenangkan. Menjadi ibu bukan tentang menjadi sempurna. Ia tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri: bahwa ibu juga manusia, dan manusia butuh dirawat, bukan hanya diminta untuk terus berkorban.

Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas
Politician; Clinical Psychologist Candidate
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.