Henry James tidak hanya dikenal sebagai novelis, tetapi juga seorang penulis drama. Sayangnya, karya-karya dramanya kurang mendapat sambutan publik. Akhirnya, ia memutuskan untuk fokus kembali pada novel dan menghasilkan serangkaian karya yang matang, kompleks, dan khas “Jamesian”, dengan gaya penulisan yang unik, penuh perhitungan, dan kaya akan variasi. Seiring bertambahnya usia, James berhenti menulis secara langsung dan mulai mendiktekan karyanya. Ford Madox Ford, seorang penulis dan kritikus sastra, mengamati bahwa prosa James akan terasa lebih hidup jika dibacakan dengan lantang dan penuh ekspresi.
Setelah meninggalkan dunia drama, James menulis novel pertamanya yang berjudul The Awkward Age (1899). Novel ini mengisahkan tentang intrik pernikahan di kalangan kelas atas London pada akhir abad ke-19, dengan menitikberatkan pada perbedaan dua gadis berusia 18 tahun yang siap memasuki usia pernikahan. Aggie dibesarkan di Italia dengan cara tradisional oleh bibinya, sementara Nanda menikmati lebih banyak kebebasan di bawah pengasuhan orang tuanya. Kebebasan Nanda ini sebagian didorong oleh kondisi keluarga Barent yang mengalami kesulitan finansial. Mereka berharap Nanda dapat menikah dengan pria kaya guna meringankan beban keluarga. Novel ini pun menyinggung tema pernikahan sebagai sebuah transaksi sosial yang terselubung.
Dalam novel The Awkward Age, Henry James bereksperimen dengan menerapkan teknik-teknik drama dalam penulisan novel. Seluruh informasi dan alur cerita disampaikan melalui dialog antar tokoh dalam berbagai pertemuan sosial. Percakapan yang kompleks, penuh kiasan, kadang jenaka, dan sarat makna mendominasi novel ini. Pembaca ditantang untuk menyimpulkan peristiwa dan konflik yang terjadi melalui percakapan tersebut, seolah-olah “menguping” obrolan para tokoh.
Untuk menjaga alur cerita tetap terarah, James menggunakan beberapa teknik dramatis dan memperkenalkan karakter-karakter yang kontras. Nanda dan Aggie diperhadapkan melalui kepolosan mereka; bibi Aggie, seorang bangsawan wanita, berbeda dengan ibu Nanda, Mrs. Brookenham, dalam hal pandangan dan status sosial. Dua tokoh pria utama, Vanderbank dan Mitchett, juga dibuat berbeda. Vanderbank tampan, menawan, namun miskin, sedangkan Mitchett kurang menarik namun kaya raya. Tokoh kunci yang memicu konflik adalah Mr. Longdon, seorang pengagum lama nenek Nanda yang tiba-tiba muncul kembali setelah menghilang selama 40 tahun. Mr. Longdon juga diceritakan pernah menaruh hati pada ibu Vanderbank.
Para tokoh dalam novel ini memandang lingkungan sosial London sebagai tempat yang penuh bahaya, dipenuhi intrik dan perselingkuhan di kalangan masyarakat kelas atas. Lebih jauh lagi, ketimpangan distribusi kekayaan, kekuasaan, dan pengakuan sosial menciptakan lingkungan yang manipulatif dan penuh kepalsuan. Sebagai contoh, para tokoh dalam novel ini selalu menunjukkan keramahan dan pujian yang berlebihan satu sama lain demi menjaga citra dan posisi sosial, mirip dengan perilaku para selebriti atau bahkan sekelompok simpanse yang menunjukkan ketundukan untuk menghindari konflik. Di balik keramahan yang ditampilkan, hubungan mereka sebenarnya dangkal, lebih didasarkan pada kepentingan pribadi ketimbang koneksi yang tulus.
Nanda, yang terpengaruh oleh pergaulan bebas ibunya, justru memiliki kepolosan yang membuatnya dekat dengan Mr. Longdon, pria lain yang juga polos. Ironisnya, Nanda mencintai Vanderbank, yang membalas perasaannya namun ragu untuk melamarnya, meskipun Mr. Longdon diam-diam menjanjikan kekayaan padanya. Vanderbank sendiri terlibat dalam hubungan ambigu dengan ibu Nanda.
Henry James dengan cerdas menyusun novel ini melalui adegan-adegan dramatis yang disajikan dari sudut pandang berbagai tokoh. Teknik ini memberikan kedalaman dan dinamika pada alur cerita. James juga dengan sengaja menghindari narasi langsung dan eksplorasi kehidupan batin tokoh demi menekankan bahwa sifat manusia dibentuk oleh interaksi sosial.
Walaupun Henry James menghindari penggambaran langsung keadaan batin tokoh, ia justru membebani dialog dengan makna yang mendalam. Hal ini menjadikan pembaca sulit untuk merasa dekat dengan para tokoh, seolah-olah hanya menjadi pengamat pasif yang menguping percakapan mereka. Dalam novel The Awkward Age, pembaca diposisikan sebagai penonton sebuah drama, menciptakan efek “voyeurisme”. Alur cerita yang kompleks dan berbelit-belit juga menambah kesulitan pembaca untuk larut dalam narasi. Namun, ketegangan justru meningkat seiring dengan bertambahnya pemahaman pembaca terhadap para tokoh.
Gaya penulisan James yang khas seringkali dianggap sulit, namun Ford Madox Ford menjelaskan bahwa James, layaknya Charles Dickens, adalah penulis yang sangat metaforis. Keduanya menggunakan metafora bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai alat utama untuk menggambarkan kondisi psikologis tokoh. Mereka sama-sama tertarik pada interaksi antar tokoh yang penuh dengan perbedaan dan persamaan. Namun, jika Dickens menyampaikan metafora secara eksplisit, James cenderung menyembunyikannya.
Pembaca ditantang untuk menafsirkan makna tersirat di balik kata-kata yang digunakan James. Misalnya, deskripsi tentang Longdon di awal novel penuh dengan metafora yang mengungkapkan sudut pandang pengamat (Vanderbank, yang sebenarnya merepresentasikan James sendiri). James dengan cermat memanfaatkan kata keterangan, struktur kalimat, dan ritme tulisan untuk menciptakan efek yang diinginkan. “Kerewelan” dalam gayanya inilah yang membuat tulisannya unik.
James dengan cermat mengamati dan memahami seluk-beluk masyarakat Inggris. Melalui tokoh Harold, saudara laki-laki Nanda, ia menyuarakan kritik tajam terhadap budaya pernikahan di kalangan kelas atas. Harold, seorang pemuda boros yang selalu berhutang, dengan sinis menggambarkan London sebagai tempat yang mengerikan bagi para gadis muda karena dipenuhi dengan intrik dan pergaulan bebas. Ia bahkan bercanda bahwa ia lebih baik “menembak” anak perempuannya daripada membiarkan mereka terjerumus dalam lingkungan tersebut. Harold juga menyoroti ketertarikan Mr. Longdon pada Nanda yang dinilainya hanya didasari oleh kepentingan pribadi.
Nanda akhirnya menerima lamaran Mr. Longdon, yang kemungkinan besar dilakukan untuk menguji keseriusan Vanderbank. Meskipun novel The Awkward Age dikategorikan sebagai komedi, akhir ceritanya menyisakan kebingungan. Pernikahan Nanda dengan Mr. Longdon yang jauh lebih tua dan kurang menarik terasa tidak memuaskan. Vanderbank yang bimbang dan Mitchett yang tidak disukai Nanda juga bukanlah pilihan ideal.
James seolah memaksakan “happy ending” dengan menjodohkan Nanda dan Mr. Longdon atas dasar kesamaan moral, namun hubungan mereka terkesan dingin dan dipaksakan. Interaksi mereka formal dan hambar, tanpa kasih sayang yang tulus. James memang ahli dalam menganalisis hubungan sosial, tetapi dalam novel ini, ia lebih fokus pada mengungkap kepalsuan dan ketimpangan dalam koneksi antar tokoh.