Konflik dan dinamika internal partai politik yang menyebabkan perpecahan, atau bahkan memunculkan partai baru sesungguhnya bukan hal baru. Konflik, partai baru “pecahan” dari partai sebelumnya, atau partai baru hasil fusi beberapa partai, adalah fenomena lama politik.
Pada zaman pergerakan dari PNI lahir partai baru Partindo dan PNI-Baru; pada zaman revolusi 1945-1949, Partai Sosialis menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sjahrir dan FDR pimpinan Amir Sjarifuddin. PKI terpecah dalam beberapa faksi.
Menjelang Pemilu 1955, NU keluar dari Masyumi menjadi partai baru. Era 1950an adalah era kejayaan partai politik. Selain banyak jumlahnya, juga sangat berpengaruh. Inilah zaman yang oleh mantan PM Wilopo disebut “Zaman Pemerintahan Partai-Partai”.
Zaman kejayaan partai politik ini berubah drastis ketika Soeharto berkuasa (rezim Orba). Kekuasaan dan pengaruh partai dihilangkan, menjadi sekadar institusi ornamen demokrasi.
Selain pengaruh, jumlahnya pun diciutkan melalui proses fusi menjadi hanya tiga partai pada tahun 1973. Maka ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil fusi partai-partai berideologi Islam (NU, Parmusi, PSII, Perti). Ada pula Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari lima partai sebelumnya: PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik.
Kedua partai baru hasil rekayasa lewat fusi ini (PPP dan PDI) jelas hanyalah ornamen pelengkap untuk mendampingi Golongan Karya (Golkar) dalam suatu sistem kepartaian “one-party dominance” atau “one and half party system”.
Tetapi Golkar sendiri tidak bisa disebut “the rulling party”. Yang betul adalah “the ruller’s party”, partainya sang penguasa, yang fungsinya hanyalah sebagai ‘electoral machine’, instrumen pengumpul suara dalam setiap pemilu untuk memberi legitimasi demokratis kepada sang penguasa.
PPP dan PDI sebagai partai baru hasil rekayasa, sejak awal terbentuk selalu dilanda konflik internal. Muktamar Luar Biasa (MLB) atau Kongres Luar Biasa (KLB) adalah hal biasa dan rutin terjadi; Ketua Umum dan kepengurusan partai silih berganti, bahkan juga melalui kekerasan fisik.
Jadi, cerita tentang konflik internal partai politik, cerita tentang MLB atau KLB adalah cerita lama. Dan yang menarik, pola-polanya juga sama: konflik dari dalam atau “intervensi” dari luar, yang pada akhirnya menyerahkan penyelesaiannya kepada “kebijaksanaan” pemerintah.
Untuk sekadar membantu mengingatkan cerita lama di atas, bacalah buku yang disunting Farchan Bulkin (ed.), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia: Pilihan Artikel Prisma (LP3ES, 1985).
Khusus untuk partai politik Orde Baru, ada tulisan Fachry Ali dan Iqbal A. Saimima, “Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan”; kemudian tulisan Awad Bahasoan, “Golongan Karya Mencari Format Politik Baru”; dan terakhir tulisan Manuel Kaisiepo, “Dilema Partai Demokrasi Indonesia: Perjuangan Mencari Identitas“. Selamat membaca.