Memiliki ribuan koleksi tidak selalu menyenangkan, terutama jika kita tidak tahu cara mengelolanya. Sejak lama saya mengabaikan katalogisasi sebagai cara mengelola perpustakaan pribadi. Cara itu, menurut pengalaman saya, selain mahal (butuh jasa pustakawan), juga tidak efektif. Pengakuan serupa juga pernah disampaikan pencinta buku yang lain. Salah satunya almarhum M. Dawam Rahardjo.
“Sesudah diklasifikasikan, saya malah bingung mencari-cari koleksi buku saya sendiri,” ujarnya, suatu ketika. “Akhirnya, setiap kali habis membaca dan mencari-cari buku, saya kumpulkan lagi buku-buku tadi berdasarkan pengarangnya, lalu saya pisahkah, agar saat nanti membutuhkannya kembali saya ingat harus mengambilnya dari mana.”
Begitulah.
Namun, perpustakaan tanpa katalog juga jelas sangatlah merepotkan. Saat koleksi bacaan masih dua, tiga, atau beberapa ribu, masih mungkin untuk mengingat seluruhnya. Namun, saat koleksi sudah melampaui dua digit, kita harus menemukan cara untuk mengorganisasikan koleksi agar lebih mudah dicari dan digunakan.
Sejak lama saya terbiasa mengklasifikasikan bacaan berdasarkan tiga kriteria betingkat sebagai berikut:
1. Nama pengarang
2. Obyek kajian
3. Bidang keilmuan
Ajip Rosidi, misalnya, menulis banyak genre karya, mulai dari prosa, puisi, ensiklopedia, biografi, dan lain-lain. Dalam penulisan biografi, Ajip pernah menulis banyak tokoh, mulai dari M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Affandi, Haji Hasan Mustapa, Sudjojono, Salim, dan lain-lain, yang spektrum ketokohannya cukup beraneka. Namun, di perpustakaan saya, seluruh karya penulis asal Jatiwangi itu dikumpulkan dalam satu kolom.
Begitu juga dengan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Andries Teeuw, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Sesudah dikumpulkan dalam koloni kecil nama pengarang, karya-karya tadi kemudian saya kumpulkan dalam koloni besar kesusastraan, bidang utama yang digeluti oleh para pengarang tadi.
Di rak besar ekonomi, pengelompokkan dilakukan selain berdasarkan nama pengarang juga didasarkan pada obyek kajian. Semua karya Didik J. Rachbini, Didin S. Damanhuri, Faisal Basri, Paul Krugman, Joseph Stiglitz, Gunnar Myrdal, John Kenneth Galbraith, Milton Friedman, atau Joan Robinson, misalnya, dikumpulkan berdasarkan pengarang. Sisanya, koloni-koloni lain dibagi menurut obyek kajian (seperti industrialisasi, krisis 1998, globalisasi, sejarah perekonomian, sejarah pemikiran), ataupun ideologi (seperti libertarian, sosialis, dan marxis). Semua pengelompokan itu dilakukan untuk memudahkan saya memetakan dan menggunakan koleksi.
Secara umum, mengorganisasikan buku sebenarnya relatif mudah, berapapun jumlahnya. Tapi tidak demikian halnya dengan majalah. Saya punya koleksi ribuan majalah, mulai dari Majalah Tempo sejak nomor perdana tahun 1971 hingga tahun 1990-an, Majalah Editor mulai dari nomor perdana hingga terakhir, serta majalah-majalah lainnya yang terbit sejak awal abad ke-20 hingga yang terkini. Masalah besar muncul ketika majalah-majalah itu kian makan tempat.
Dari sisi content, tak semua isi majalah sebenarnya benar-benar akan saya gunakan. Paling hanya sebagian kecil rubrik atau artikel saja yang perlu diarsipkan. Sehingga, menyimpan keseluruhannya adalah sebentuk pemborosan. Pada akhirnya, saya hanya menyimpan utuh majalah-majalah yang bernilai “collectible” saja. Edisi lengkap hanya dipertahankan untuk majalah-majalah tertentu yang istimewa, sudah tidak lagi terbit, dan umurnya pendek. Majalah dengan kriteria tadi layak dikoleksi secara lengkap, mulai dari edisi pertama hingga terakhirnya. Menyimpannya secara utuh dan lengkap tidak akan terlalu membebani, dibandingkan dengan nilai sejarahnya.
Inilah alasan kenapa saya mengkoleksi utuh Majalah Editor, Majalah Tiras, Majalah Sinar, Majalah D&R, Majalah Prospek, Majalah Jakarta-Jakarta, atau Majalah Humor. Sebagai catatan, meskipun umurnya cukup panjang, Majalah Humor tidak terbit mingguan, sehingga jumlah keseluruhan edisinya masih bisa dikoleksi utuh.
Begitu juga dengan Majalah Jakarta-Jakarta. Majalah ini awalnya terbit sebulan dua kali, lalu mingguan, dan kemudian bulanan. Sehingga, selama hampir lima belas tahun terbit, jumlah seluruh edisinya tak lebih dari lima ratus eksemplar. Meski tergolong berjumlah besar, saya menganggap Jakarta-Jakarta layak dikoleksi lengkap. Majalah ini merupakan tiruan Majalah Life paling berhasil di Indonesia.
Lain halnya jika umur majalah itu panjang, misalnya lebih dari lima tahun, dan durasi terbitnya mingguan. Meskipun istimewa, menyimpan lebih dari tiga ratus eksemplar majalah yang sama akan jadi beban. Untuk majalah-majalah istimewa yang umurnya panjang, biasanya saya hanya akan menyimpan nomor-nomor istimewa, periode-periode terbit istimewa (atau yang bertepatan dengan peristiwa istimewa), serta yang memuat tulisan-tulisan tertentu yang menjadi minat intelektual saya. Edisi sisanya, sebaiknya cukup dikliping saja. Contoh majalah istimewa berumur panjang adalah Majalah Basis dan Horison.
Selain melakukan seleksi dengan kriteria tadi, sejak sepuluh tahunan lalu saya juga mencoba melakukan “indeksasi”, agar koleksi majalah tadi jadi lebih berguna dan lebih mudah digunakan. Majalah-majalah yang mengangkat laporan topik-topik tertentu, atau dengan cover story tokoh-tokoh tertentu, yang punya nilai sejarah, serta pernah/sedang/akan menjadi minat intelektual saya, semua saya kumpulkan dalam satu berkas. Hasilnya adalah bundel-bundel berkas seperti ini.
Dulu, bundel-bundel berkas ini saya pisahkan dengan karet gelang. Memang praktis. Saya jadi mudah membagi satu jenis indeks dengan indeks lainnya. Tapi karet lama-lama ternyata lumer, sehingga kemudian menempel di kertas dan merusak koleksi. Sesudah itu karet saya ganti dengan tali pita.
Pita memang tidak lumer dan lengket. Namun, saya kemudian menemukan kesulitan baru. Sesudah sekian lama, kadang saya lupa topik-topik indeks yang sudah disusun, atau lupa meletakkan topik apa di mana. Untuk mengetahuinya kembali, saya harus membongkar seluruh tumpukan majalah. Dan itu lama-lama melelahkan. Akhirnya, pitapun saya ganti dengan plastik.
Dengan plastik, ada dua keuntungan yang segera saya rasakan. Pertama, plastik ini ikut melindungi koleksi dari debu. Dan kedua, saya bisa menempelkan judul indeks di sisi sampingnya, sehingga jadi lebih memudahkan proses pencarian koleksi.
Cara saya menulis judul indeks juga ikut berevolusi. Dulu, saya tulis langsung dengan spidol di permukaan plastik. Ternyata, kemudian saya sadari jika tulisan langsung semacam itu tak mudah dibaca dari kejauhan. Sehingga, saya kemudian menggunakan kertas label. Memang jadi lebih jelas. Tapi belakangan saya merasa kalau penggunaan kertas label yang ditulisi tidak cukup sedap dipandang mata. Akhirnya, saya memilih menggunakan stiker. Cara inilah yang masih saya gunakan hingga hari ini.
Kini saya punya ratusan bundel arsip majalah dengan berbagai tema, mulai dari Soekarno Doc, Soeharto Doc, Sophia Latjuba Doc, hingga Michael Jackson Doc. Semua Presiden, hingga SBY, sudah ada indeks arsipnya.
Hanya, saya sedang bingung. Kalau arsip periode kepresidenan saat ini dijadikan bundel, kira-kira apa namanya ya?
Mosok “Joko Doc”?