Seorang pengarang akan lebih dikenal secara utuh setelah kematiannya. Sebab, setelah kematian itulah pengarang justru hidup selamanya. Karya-karyanya dicari, biografinya dibaca, legasinya diawetkan di museum ingatan. Itu pula yang niscaya terjadi pada seorang penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020).
Simaklah bait sajaknya yang satu ini: “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” Larik sajak ini mengingatkan kita pada larik terkenal dari penyair “Binatang Jalang” Chairil Anwar: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Keduanya menegaskan kefanaan diri, namun melalui kefanaan itu ada keabadian.
Sapardi Djoko Damono yang akrab dipanggil SDD itu lahir tepat pada hari ini delapan puluh satu tahun silam (1940). Dia adalah manusia lembut. Setiap kali berbicara seperti sedang berbisik. Bicaranya lembut. Tatapan matanya lembut. Maka dari tangannya pun lahir puisi-puisi yang lembut.
Dari sekian banyak puisi SDD mungkin yang paling terkenal adalah “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni”. Begitu populernya “Aku Ingin” sampai-sampai puisi itu dicetak di surat-surat undangan pernikahan, selain (biasanya) kutipan surat ar-Rum ayat 21. Puisi Hujan Bulan Juni juga tidak kurang populernya. Puisi ini telah dikembangkan oleh SDD sendiri menjadi sebuah novel dan sudah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama (2017). Seperti ini puisinya:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Goresan tangan SDD pada kanvas puisi itu terasa sangat lembut. Pengungkapannya halus. Alur pikirnya jernih. Bangunan puisinya tegak dengan tiang pancang bait-bait yang transparan. Puisi ini sering diartikan sebagai ketabahan dari seseorang yang sedang menanti. Sebab, bulan Juni ialah musim kemarau, dan hujan dipastikan tidak turun. Jika ia (hujan) ingin bertemu dengan pohon bunga, maka ia harus bersabar menunggu musim kemarau berlalu.
Puisi Hujan Bulan Juni dimuat dalam buku antologi puisi dengan judul yang sama. Pemilihan puisi itu sebagai judul buku seolah menunjukkan bahwa suasana yang ingin dibangun di dalamnya ialah suasana “hujan” dengan berbagai konotasi dan metafornya. Dari 96 puisi yang dimuat dalam antologi ini terdapat 9 judul puisi yang memakai kata “hujan”. Judul-judul tersebut adalah: Hujan Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi 1, Hujan dalam Komposisi 2, Hujan dalam Komposisi 3, Di Beranda Waktu Hujan, Kuhentikan Hujan, Hujan Bulan Juni, Hujan-Jalak-dan-Daun-Jambu, Percakapan Malam Hujan. Dan satu judul yang senada: Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang.
Kata “hujan” juga disebut dalam berbagai puisinya: Pada Suatu Pagi Hari, Dalam Doa II, Aku Ingin, Puisi Cat Air untuk Rizki, Sepasang Sepatu Tua, dan sebagainya. Kalau boleh menyebut puisi di luar antologi ini yang juga menggunakan kata hujan, simak saja misalnya “Di Sebuah Halte Bis” (Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana), “Lirik untuk Lagu Pop” (jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis), dan “Kepompong Itu” (…ketika kau menutup jendela waktu hari hujan).
Tonggak Kepenyairan
Walaupun banyak kumpulan puisi yang bertemakan hujan, tapi jelas tidak ada yang “basah-kuyup” melebihi antologi Hujan Bulan Juni. Belum lagi puisi tentang hujan yang tidak dimasukkan dalam antologi ini seperti “Tajam Hujanmu” dan “Kuterka Gerimis”, yang dimuat dalam antologi Perahu Kertas.
Jika selama ini puisi-puisi tentang hujan selalu dikaitkan dengan kesendirian, kehampaan, kerinduan, dan kesepian, maka tidak terlalu keliru pandangan bahwa SDD ialah penyair sunyi yang melanjutkan tradisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar, terutama pada puisi-puisi awalnya. Simak misalnya bait dalam puisi yang ditulis pada tahun 1967 berikut: Hujan turun sepanjang jalan/ Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan/ Kembali bernama sunyi..
Mengapa hujan begitu istimewa di mata penyair SDD, tentu ada rahasia yang ingin dia kemukakan melalui pelukisannya atas peristiwa alam tersebut. Sang penyair pada dasarnya memang seperti pelukis yang menggambarkan sesuatu dengan kata-kata sehingga apa yang dia lihat dan rasakan juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca.
Di dalam suasana yang sudah dihidupkan oleh penyairnya melalui kata-kata, kita tidak lagi bertemu dengan hujan sebagai benda mati, melainkan makhluk hidup entah malaikat atau manusia, bahkan seseorang yang misterius namun humoris seperti pada puisi SDD yang berjudul “Percakapan Malam Hujan”.
Sementara dalam puisi Hujan Bulan Juni, goresan tangan SDD pada kanvas puisinya bahkan terasa lebih lembut. Kesederhanaan kata tetap dijaga. Bangunan puisi tegak dengan tiang pancang bait-bait yang transparan. Pengungkapannya halus, alur pikirnya jernih. Puisi ini sering diartikan sebagai ketabahan dari seseorang yang sedang menanti. Sebab, bulan Juni ialah musim kemarau, dan hujan dipastikan tidak turun. Jika ia (hujan) ingin bertemu dengan pohon bunga, maka ia harus bersabar menunggu musim kemarau berlalu.
Di sini SDD tidak berbicara tentang kesunyian yang gelisah. Ia hanya menceritakan perilaku hujan yang merahasiakan rindu. Hujan dipersonifikasi sebagai makhluk yang berjiwa dengan sifat dan perilaku tertentu. Saya kira SDD tidak hendak menancapkan tonggak kepenyairannya di ruang estetika sunyi yang telah terbangun dengan megahnya sejak masa kejayaan Amir Hamzah. Kita tahu bahwa puisi-puisi SDD sering dipandang sebagai “jagat sunyi” dan diletakkan di dalam mainstream puisi tentang kesunyian.
Jika kesunyian dipandang sebagai tema utama dalam puisi-puisi Sapardi, lantas di mana letak kepeloporannya dalam dunia perpuisian tanah air? Bukankah tema itu telah sangat mapan di tangan para penyair besar sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, dll?
Kepeloporan SDD
Pada sebagian sajaknya yang membentang bagai hamparan kesunyian, SDD memang menampakkan diri sebagai kelanjutan dari “tradisi” perpuisian sebelumnya, kendatipun ia membunyikan kesunyian itu dengan cara yang berbeda. Namun sebagian sajaknya yang lain memperlihatkan kekuatan SDD sebagai penyair yang mampu keluar dari labirin kesunyian yang melahirkan kefanaan (Amir Hamzah), kepasrahan (Chairil Anwar), atau amukan (Sutardji Calzoum Bachri), menuju ruang kontemplasi yang mencerahkan.
Puisi-puisi SDD yang termuat dalam antologi Hujan Bulan Juni (Gramedia, 2013), misalnya, lebih dari sekadar membunyikan kesunyian melalui ungkapan perasaan yang melimpah, melainkan juga menghadirkan kesadaran intelektual penyairnya. Sejumlah puisinya tentang kematian, misalnya, memang menghadirkan kesunyian yang mencekam.
Namun jika dicermati lagi sebenarnya merupakan renungan filosofis yang mendalam, seperti pada puisi Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati, Saat Sebelum Berangkat, Iring-iringan di Bawah Matahari, Dalam Kereta Bawah Tanah Chicago, Ajaran Hidup, dan lain-lain, yang semuanya merupakan lukisan kesunyian yang merefleksikan perenungan intelektual yang dalam.
Pada hari SDD meninggal dunia, media sosial dipenuhi oleh para netizen dengan puisi-puisinya yang bahkan tidak, atau jarang diketahui publik. Hari itu orang seakan diberi tahu bahwa sajak SDD ternyata bukan hanya Hujan Bulan Juni, atau Aku Ingin, melainkan banyak, yang jarang diekspose, kecuali oleh mereka yang memang memiliki minat besar pada puisi, atau yang punya selera dalam berbahasa.
Sajak-sajak SDD yang lain juga tak kurang syahdunya, sebut saja misalnya Hatiku Selembar Daun, Pada Suatu Hari Nanti, Pertemuan, Dalam Diriku, Sajak Kecil tentang Cinta, Hanya, Menjenguk Wajah di Kolam, Sementara Kita Saling Berbisik, dll.
Tidak cukup ruang untuk membahas puisi-puisi tersebut. Namun semuanya bagaikan suara atau gema dalam diam. Sajak yang disebut terakhir, Sementara Kita Saling Berbisik, misalnya, seperti suara yang dibisikkan ke dalam jantung jiwa tentang apa yang tidak selalu dapat dipahami: hidup, cinta, perjalanan, waktu… !!
SEMENTARA KITA SALING BERBISIK
sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa
unggun api
sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi
(1966)
Sajak itu mengingatkan kita pada sosok SDD yang lembut dan selalu berbisik dalam puisi-puisinya. Selamat beristirahat Eyang Sapardi. Tapi kami tahu engkau di sana tetap menulis puisi. Yang fana adalah waktu, engkau abadi…