Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, dan serangan bersenjata soft gun ke Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu, mengguratkan pesan yang masih saja sama, yaitu terkait dengan jihad. Artinya, aksi dan serangan yang bertujuan mengorbankan nyawa orang lain itu belum juga pupus, apalagi sirna, meski sudah berabad-abad usianya. Lantas, apa yang membuat jihad seperti itu tetap bertahan dan bahkan menjadi keyakinan yang sulit digoyang dengan pengetahuan apapun?
Dengan mengingat perjuangan rakyat Aceh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terhadap kolonialisme Belanda, dapat ditemukan bahwa, sebagai bagian dari umat Islam yang mayoritas di Hindia Belanda, rakyat Aceh merasa teraniaya dengan kedatangan pasukan Belanda di tanah Rencong. Khususnya, di Batee Iliek, Samalanga, Bireun, yang menjadi basis perlawanan terkuat dan terbesar dari rakyat Aceh meski mampu ditaklukkan melalui ekspedisi militer dari van Heutsz di tahun 1901 dengan bantuan Snouck Hurgronje.
Penaklukan Aceh yang sengaja diabadikan oleh para fotografer Belanda, seperti Nieuwenhuis, justru menciptakan ingatan akan penderitaan yang begitu mendalam bagi rakyat Aceh yang mayoritas muslim dan menyublimnya melalui jihad. Di sinilah letak dari “kutukan fotografis” atas perang Aceh (1898-1901) yang oleh James Siegel (“The Curse of the Photograph: Atjeh, 1901″, Indonesia 80, 2005) dicermati sebagai ingatan paling bersejarah bukan saja bagi orang Aceh, namun juga Muslim di Indonesia pada umumnya. Itulah mengapa umat Islam selalu merasa tidak pernah kalah, apalagi dikalahkan, oleh kekuatan apapun, siapapun dan dari manapun.
Ketakterkalahkan kaum muslim ini mendapatkan saat dan tempat yang tepat dalam bahasa jihad yang dipandang sebagai syahid/suci. Dengan demikian, meski kenyataannya telah kalah/dikalahkan, kemenangan selalu berada di depan mata berkat jihad. Maka tak heran sampai kapanpun dan di manapun kemenangan bagi umat Islam adalah mutlak dan tak terbantahkan.
Di bawah bayang-bayang sejarah yang sedemikian kelam dan dahsyat inilah, sejumlah umat dan ulama muslim yang dikenal “fanatik” tampak dengan jeli memanfaatkan “kutukan fotografis” dari masa lalu Islam di Indonesia. Karena itu, tak heran mereka tak mau kalah dan selalu merasa menang. Maka bukan kebetulan jika dengan mudah jihad dijadikan senjata fenomenal untuk memerangi “yang lain”.
Perekayasaan jihad yang memudahkan makian atau sumpah serapah dilontarkan sesungguhnya membuat siapa pun segera menjadi jeli dan waspada bahwa tak ada yang luput dari jangkauan teknologi. Artinya, rekayasa yang dibuat untuk mengobarkan jihad tidak bisa lepas dari media teknologi seperti fotografi yang sifatnya memang untuk menyimpan kenangan. Jika kenangan yang ingin disimpan buruk, maka buruk jugalah penampakan yang niscaya dihadirkan.
Hal itu dimaksudkan agar para penonton/pembaca foto menjadi trauma karena telah menyaksikan gambar-gambar fotografis yang menghina, bahkan melukai, bawah sadarnya. Namun masalahnya, meski menyakitkan, hinaan/luka itu tidak selalu dibiarkan/didiamkan begitu saja, namun justru disublimkan dalam bahasa yang mampu memulihkan segala yang menyakitkan. Bahasa itulah yang dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai “selendang”.
Di sanalah masa lalu sepedih dan sesakit apapun dapat dirawat dan disembuhkan perlahan-lahan dengan cara disembunyikan di balik hangatnya gendongan dari sebuah selendang. Maka jihad tampaknya menjadi “selendang” yang efektif dan operatif untuk menutupi kenangan buruk yang dihadirkan kembali lewat sebuah peristiwa fotografis. Masuk akal jika media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik, amat diwaspadai oleh pihak/lembaga yang takut “selendangnya” ditemukan dan dipertontonkan di depan publik.
Jadi, cukup jelas bahwa ketidakjelasan yang selalu direkayasakan untuk membuat selendang tetap abadi dikerjakan demi kepentingan pihak/lembaga manapun.