Salah satu doktrin Islam yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam penafsirannya adalah perintah jihad. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang jihad selalu disatukan dengan kasus perang (al-qital). S
Selain sudah out of context, penafsiran yang masih menyatukan antara jihad dengan perang menunjukkan bahwa khazanah al-turats telah mengalami defisit epistemologi. Penyatuan pembahasan antara jihad dengan perang seolah-olah melahirkan tafsir di antara keduanya merupakan kesatuan utuh: jihad adalah perang atau perang adalah jihad.
Problem Penafsiran
Tak dapat dipungkiri, jihad adalah salah satu doktrin Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran. Kata jihad dengan ragam derivasinya dalam al-Quran disebutkan sebanyak 41 kali (Muhammad Chirzin, 2006). Wahyu Tuhan tidak turun di ruang kosong. Lewat perantara Nabi SAW pesan-pesan wahyu diterjemahkan ke dalam setting historis-sosiologis-kultural pada masanya.
Latar belakang historis-sosiologis-kultural (asbab an-nuzul) sangat menentukan bagaimana formula penafsiran wahyu tentang jihad menginspirasi sang Nabi SAW—sebagai penafsir pertama—yang kemudian diikuti oleh umat Islam. Otoritas kenabian (ma’shum) telah menutup pintu perdebatan dalam ruang penafsiran wahyu yang telah dijamin oleh Allah SWT. Namun seiring dinamika zaman, terutama pasca wafat Nabi SAW, fungsi risalah Islamiyah diembankan kepada para ulama (al-’ulama warasat al-anbiya).
Hanya saja, para ulama tidak mengemban misi kenabian yang memiliki otoritas penafsiran di bawah bimbingan langsung dari Allah SWT. Para ulama penafsir wahyu hanya melanjutkan fungsi risalah Islamiyah, sehingga ketika mereka menafsirkan ayat-ayat tentang jihad tidak memiliki otoritas pembenaran secara mutlak. Apabila para penafsir wahyu dianggap memiliki otoritas kenabian, mereka berpotensi memonopoli kebenaran penafsiran.
Dengan membatasi fungsi ulama sebagai penerus misi dakwah Islamiyah, maka produk-produk tafsir dari para ulama terdahulu pun bersifat relatif karena temporer. Namun dalam praktiknya, justru para ulama telah melampaui fungsi kenabian dengan mengambil otoritas untuk menentukan dan memonopoli kebenaran produk-produk tafsir mereka.
Seiring dinamika zaman dalam konteks ruang historis-sosiologis-kultural yang berbeda, progres atas produk-produk tafsir dari para ulama terdahulu mengalami ’ortodoksi ilmiah’—meminjam istilah Arthur Rorsch (2014). Ortodoksi ilmiah disebabkan karena proses reduksi dan simplifikasi. Akibatnya, khazanah al-turats dalam Islam mengalami apa yang disebut sebagai defisit epistemologi.
Akibat defisit epistemologi, produk tafsir tentang doktrin jihad sering tidak relevan ketika dipraktikkan. Seperti praktik ‘bom bunuh diri’ baru-baru ini yang melibatkan satu keluarga (suami, istri, anak-anak) oleh mereka diyakini sebagai ‘amaliah jihad.’ Model pemahaman tafsir jihad semacam ini jika dilacak literaturnya, sebagai contoh akan bertemu pada model produk tafsir Sayyid Quthb.
Latar belakang historis-sosiologis-kultural ketika Quthb menulis tafsir Fi Dzilal al-Quran sangat menentukan dalam membentuk produk tafsirnya tentang jihad. Namun keputusan Quthb untuk menjadikan doktrin jihad sebagai praktik al-qital sebagai kewajiban setiap muslim dalam menghadapi musuh adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan dalam merebut otoritas kebenaran tafsir.
Para pengikut Sayyid Quthb yang mempraktikkan doktrin jihad dengan cara bom bunuh diri seolah-olah mendapat legitimasi kebenaran. Padahal, produk tafsir yang lahir dari ruang historis-sosiologis-kultural tertentu sangat mungkin tidak relevan ketika diterapkan dalam konteks yang berbeda.
Jihad dan Qital
Adanya korelasi antara doktrin jihad dan al-qital dalam produk-produk tafsir dari para ulama terdahulu menunjukkan gejala reduksi dan sekaligus simplifikasi. Dengan melihat latar belakang historis-sosiologis-kultural turunnya ayat-ayat jihad sebenarnya tidak menunjukkan perintah maupun praktik berperang.
Doktrin jihad yang disebutkan sebanyak 41 kali dalam al-Quran, diturunkan sejak periode Makkah (ayat-ayat Makiyah) hingga periode Madinah (ayat-ayat Madaniyah). Seperti pada ayat 52 dalam surat Al-Furqan yang menyebut ”jihad akbar.” Lahirnya konflik kepentingan antara Nabi SAW dan umat Islam dengan kelompok lain telah menciptakan ketegangan-ketegangan dalam pola relasi interaksi sosial pada masanya.
Nabi SAW menyampaikan risalah Islamiyah yang menghendaki perubahan tata sosial baru, namun kaum Quraisy yang secara politik dan ekonomis telah mapan merasa terancam, sehingga mereka menentang keras. Bahkan, kaum Quraisy melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap Nabi SAW dan umat Islam. Dalam konteks inilah, Allah SWT memerintahkan supaya Nabi SAW dan umat Islam untuk berjihad (bukan al-qital).
Doktrin ”jihad akbar” menginspirasi sikap dan tindakan Nabi SAW dan umat Islam dalam menentukan pola relasi interaktif dengan kaum Quraisy. Nabi SAW dan umat Islam memilih untuk tidak terpengaruh oleh bujukan dan intimidasi kaum Quraisy (Qs. Al-Furqan: 52), mereka pun dituntut supaya bersabar (Qs. Al-Muzammil: 10) dan menahan diri (Qs. Al-Ahqaf: 35).
Konsekuensinya, Nabi SAW dan umat Islam harus menanggung kesulitan, keletihan, dan penderitaan, sehingga kondisi semacam ini relevan dengan makna jihad. Maka secara bahasa, jihad berasal dari kata juhd—yang menurut M. Quraish Shihab (2002) dimaknai sebagai ”upaya, kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, kegelisahan, dan lain-lain yang bermuara pada pencurahan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan,” memiliki korelasi dengan makna dakwah. Yaitu, seruan kepada Islam dengan menempuh cara dan strategi yang lentur, kreatif, dan bijak (Muhammad Chirzin, 2006).
Nabi SAW dan kaum Muslimin generasi awal memang telah diperintahkan berupaya secara sungguh-sungguh dengan menanggung resiko kesulitan, intimidasi, bahkan kekerasan dalam menyampaikan ajaran Allah SWT. Oleh karena itu, doktrin jihad sering disebut sebagai ”al-jihad fi Allah” atau ”al-jihad fi sabilillah” (Qs. Al-Hajj: 78).
Sedangkan dalil diizinkan berperang (al-qital) bagi umat Islam seperti termaktub dalam surat Al-Hajj ayat 39-41 harus dibaca secara komprehensif, tidak boleh parsial. Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (1980), Muhammad Khudlari Bek menjelaskan bahwa surat Al-Hajj ayat 39-41 merupakan wahyu pertama dibolehkannya perang (al-qital) bagi umat Islam pada periode Madinah.
Penerapan syariat ini tidak bisa terlepas dari latar belakang kondisi politik umat Islam di Madinah dan sebab-sebab yang menghambat dakwah Islamiyah. Sekalipun ayat ini merupakan dalil legitimasi perang, tetapi Tuhan tidak menghendaki umat Islam melakukannya secara konfrontatif dan ofensif.
Justru, diizinkan berperang bagi umat Islam manakala mereka diserang (defensif) atau ketika difitnah oleh musuh. Sekalipun perang menjadi pilihan paling rasional dalam konteks sosial-politik di Madinah pada waktu itu, tetapi Islam merupakan agama yang mengusung misi kemanusiaan universal. Ketika meletus sebuah peperangan, umat Islam diwajibkan menghadapinya dengan aturan-aturan ketat (kode etik perang) (Qs. Al-Baqarah: 190-194).
Selain membaca latar belakang historis-sosiologis-kultural turunnya ayat-ayat al-qital, pilihan strategi defensif, kode etik perang, dan peran otoritas kharismatik sang Nabi SAW sangat menentukan dalam situasi dilematis ini. Pada dasarnya, keputusan untuk berperang (membunuh) adalah bertentangan dengan ajaran Islam tentang hak kemanusiaan yang paling mendasar, yakni hak hidup.
Agama Islam sangat menghargai hak hidup setiap manusia tanpa melihat latar belakang agama, etnis, atau kelompok sehingga siapa yang membunuh seseorang tanpa sebab-sebab hukum yang jelas seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia di muka bumi (Qs. Al-Maidah: 32). Apalagi seorang muslim membunuh sesama muslim tanpa sebab-sebab hukum yang jelas, maka ia diancam masuk neraka Jahanam (Qs. An-Nisa: 92-93).
Dengan mencermati ajaran tentang hak hidup manusia ini, maka syariat perang seolah-olah menjadi kontradiksi. Akan tetapi, dengan melihat peran otoritas kharismatik sang Nabi SAW, kontradiksi dapat dinegasikan karena salah satu aspek dalam misi kenabian adalah estafet dan penyebaran risalah Islamiyah kepada seluruh umat manusia. Maka al-qital di sini dapat dimaknai sebagai mekanisme untuk survive. Di sini, keputusan berperang—yang terinspirasi dari wahyu—merupakan praktik dan interaksi sosial sang Nabi SAW dan umat Islam dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar—perspektif maqashid asy-syari’ah, bukan tujuan praktis.
Sebagai mekanisme survive, maka al-qital tidak bisa dibenarkan ketika dipraktikan secara individual atau kelompok-kelompok kecil (faksi). Pada masa kehidupan di Madinah, keputusan berperang melawan musuh harus menjadi kesadaran kolektif dan masif di kalangan umat Islam, tidak secara individual atau kelompok. Sebab, tujuan dari praktik perang adalah dalam rangka survive agar risalah Islamiyah dapat eksis dan menyebar ke seluruh umat manusia.
Jihad Inklusif
Jika pemahaman tentang doktrin jihad masih dianggap paralel dengan al-qital, maka yang demikian mengindikasikan suatu bentuk reduksi dan sekaligus simplifikasi. Memahami doktrin secara parsial tanpa mempertimbangkan latar belakang historis-sosiologis-kultural menjadikan formulasi tafsir tidak memiliki pijakan makna dan relevansi yang jelas. Begitu juga penyederhanaan pemahaman terhadap suatu doktrin menjadikan umat Islam mengalami defisit epistemologi.
Jihad itu sendiri adalah spirit dakwah Islamiyah yang bersifat inklusif, terbuka untuk semua strategi dan pendekatan, dan dinamis seiring perubahan sosio-kultural pada masanya. Makna jihad tidak dapat disetarakan dengan ‘amaliah jihad’—istilah para teroris—yang justru sangat eksklusif, menutup semua strategi dan pendekatan, dan cenderung statis karena model pemahaman sebatas mengadopsi tafsir-tafsir terdahulu.
Sedangkan al-qital adalah syariat yang sebenarnya kontradiktif dengan ajaran pengakuan terhadap hak hidup manusia, seandainya tanpa melibatkan peran otoritas kharismatik sang Nabi SAW. Al-qital itu sendiri adalah mekanisme survive yang harus dipraktikkan secara kolektif dan masif, tidak secara individual dan sporadis.
Dengan demikian, sebagaimana tesis di awal tulisan ini bahwa pembahasan dalam kitab-kitab klasik tentang doktrin jihad sudah semestinya dipisahkan dari konteks al-qital. Sebab, penyatuan pembahasan jihad dan al-qital seakan-akan membangun pola hubungan parallel antara keduanya: jihad adalah perang atau sebaliknya. Makna jihad lebih luas dan sangat terbuka untuk pengembangan strategi dan pendekatan di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Fokus pengembangan penafsiran doktrin jihad yang relevan untuk saat ini adalah produk tafsir yang bersifat produktif. Dengan meletakkan hubungan paralel antara jihad dan dakwah, maka makna jihad dapat diletakkan sebagai pondasi atau spirit bagi aktivitas dakwah yang cakupannya sangat luas.
Jihad sebagai spirit dakwah Islamiyah lebih bersifat inklusif. Formula tafsir jihad secara inklusif seperti yang digagas Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar-nya. Menurut Rasyid Ridha, definisi jihad adalah segala usaha dan jerih payah yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan serta melawan kebatilan tanpa pemutusan hubungan atau pembuatan garis demarkasi antara masyarakat muslim dan non-muslim (Muhammad Chirzin, 2006).
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang multikultural, spirit jihad tidak boleh direduksi menjadi doktrin eksklusif hanya untuk umat Islam, apalagi hanya untuk kelompok tertentu, sekalipun sesama umat Islam.
Dengan spirit jihad, strategi dan pendekatan dakwah tidak dapat dibenarkan menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi sampai mengancam keselamatan orang lain sekalipun berbeda latar belakang agama, etnis, atau kelompok. Karena dalam spirit jihad terkandung makna hidup yang produktif, bukan semangat enggan hidup lalu melakukan tindakan-tindakan yang kontra produktif.