Beberapa hari lalu, Menteri Luar Negeri Inggris Lord David Cameron mengatakan, “Kami – bersama sekutu akan mempertimbangkan masalah pengakuan negara Palestina.” Pernyataan ini perlu dilihat sebagai bagian dari proses diplomasi bahwa gerakan menuju solusi dua negara menunjukkan keniscayaan dan kenyataan yang tidak dapat dibalik atau ditolak lagi. Pernyataan Cameron merupakan deklarasi diplomasi penting yang mengharapkan adanya respons diplomatis.
Cameron mengatakan bahwa rakyat Palestina harus diberikan pandangan politik untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah. Lebih lanjut dia menyatakan, “Kami memiliki tanggung jawab di sana karena seharusnya mulai menjelaskan seperti apa negara Palestina itu, apa yang akan termasuk di dalamnya, bagaimana cara kerjanya, dan yang terpenting, mempertimbangkan masalah tersebut, bahwa seiring hal itu terjadi, kami bersama sekutu akan mempertimbangkan masalah pengakuan negara Palestina, termasuk di PBB. Ini bisa menjadi salah satu hal yang membantu membuat proses ini tidak lagi dapat berbalik mundur.”
Pernyataan Cameron mengekspresikan pendekatan serupa dengan pernyataan Presiden AS Joe Biden, dua minggu setelah peristiwa pada 7 Oktober. “Tidak ada kembali ke status quo seperti pada 6 Oktober,” katanya, menambahkan bahwa, pada akhir krisis, perlu mencari solusi dua negara. “Ini berarti upaya terkonsentrasi untuk semua pihak, Israel, Palestina, mitra regional, pemimpin global, untuk mengarahkan kita ke jalan perdamaian.”
Pemerintahan Biden sejak lama mempromosikan rencana pendirian negara Palestina tanpa militer (sesuatu yang ditentang Palestina), bersama normalisasi dengan Arab Saudi dan rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang akan dipimpin oleh Arab Saudi dan empat negara Arab. Biden berbicara dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mendorongnya untuk setuju dengan pendirian negara Palestina setelah perang. Tetapi Biden sudah tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi di bawah kepemimpinan komando yang gagal, tidak jujur, dan tanpa visi yang telah mengaitkan nasib politiknya dengan kelompok Kahani.
Kubu Partai Konservatif Inggris mengklaim bahwa ini setara dengan memberikan hadiah kepada Hamas, pada kenyataannya pengakuan satu pihak terhadap negara Palestina, yang akan mendorong solusi dua negara, adalah kebalikan dari apa yang diinginkan oleh Hamas. Hamas tidak menginginkan kompromi wilayah dan solusi dua negara, karena menolak mengakui Israel. Bagi AS dan Inggris, setiap langkah yang diambil dunia menuju solusi dua negara adalah hadiah bagi kaum moderat dan hukuman bagi ekstremis.
Agaknya, baik Inggris maupun AS, menyadari bahwa tidak mungkin kembali ke lambatnya diplomasi dalam konflik Israel-Palestina. Kedua pihak memerlukan dorongan internasional untuk mengatasi resistensi terhadap kompromi. Sikap keras Netanyahu yang anti-diplomasi berujung dengan serangan kelompok perlawanan Hamas pada 7 Oktober.
Netanyahu dan pemerintah ekstremisnya gagal melihat tanda-tanda keniscayaan kemerdekaan Palestina. Oleh karena itu, pengakuan negara Palestina tanpa melalui negosiasi menjadi kebutuhan mendesak. Semoga lebih banyak lagi negara-negara yang bergabung untuk mengakui kemerdekaan Palestina yang niscaya.