Jaringan transportasi udara global menyediakan konektivitas global dan meningkatkan hubungan antar wilayah. Konektivitas global ini mendorong perkembangan perdagangan serta pariwisata. Bukti hubungan antara konektivitas yang didefinisikan demikian, dan ukuran hasil ekonomi yang penting seperti produktivitas tenaga kerja, dan daya saing sektor perjalanan dan pariwisata.
Indonesia dengan 300-an bandara ini melayani kurang dari 17.000 pulau di Indonesia. Beberapa daerah masih belum dapat diakses atau sulit dijangkau. Oleh karena itu, daerah tersebut mengalami perkembangan yang lebih lambat dan beberapa tempat wisata belum terekspos. Masalah konektivitas di kawasan Indonesia juga terkait dengan aspek politik. Kawasan sensitif ini perlu terhubung dengan kawasan yang telah ditetapkan untuk menjaga kelestarian kawasan terluar.
Penting untuk mengidentifikasi korelasi indeks konektivitas dengan ukuran bandara. Ukuran bandara menjadi pertimbangan karena diukur secara tradisional dengan jumlah penumpang. Di sisi lain, jumlah penumpang di suatu bandara dihasilkan dari aksesibilitas bandara yang bersangkutan. Aksesibilitas terdiri dari dua komponen yaitu aksesibilitas darat dan aksesibilitas udara. Aksesibilitas darat mengacu pada keandalan waktu akses darat bandara dalam memfasilitasi perjalanan udara. Aksesibilitas udara menunjukkan pilihan rute dan frekuensi dari setiap rute yang tersedia. Semakin tinggi aksesibilitas, semakin tinggi jumlah penumpang.
Pariwisata sebagai pendorong ekonomi
Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) memperkirakan bahwa jumlah total wisatawan internasional, yang mencakup pelancong bisnis dan liburan, diperkirakan akan mencapai 1,8 miliar pada tahun 2030. Berdasarkan perkiraan terbaru Organisasi Penerbangan Dunia (ICAO), keberangkatan pesawat diperkirakan akan tumbuh menjadi 60 juta pada tahun 2030. Artinya, Indonesia harus siap menyiapkan regulasi dan fasilitas untuk mengantisipasi pelipatgandaan jumlah pemudik. Jika tidak, Indonesia tidak akan menjadi bagian dari perkembangan ekonomi global.
Fasilitas dan regulasi terkait dukungan sistem transportasi udara di Indonesia akan mendorong peningkatan lalu lintas. Lebih banyak wisatawan akan membutuhkan hotel, transportasi, dan informasi cepat lainnya. Hal ini mendorong kemungkinan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan lapangan kerja.
Indikasi yang kuat mengarahkan bahwa pada jumlah yang signifikan, wisatawan internasional melakukan perjalanan jarak jauh melalui transportasi udara. Indonesia sangat potensial untuk menjadi tujuan wisata. Namun, sebagian besar turis yang datang ke Indonesia masih menggunakan pesawat charter. Ini membatasi jumlah wisatawan karena sewa udara cukup mahal. Sistem charter biasanya diadopsi karena ada persaingan antara moda transportasi yang tersedia.
Konektivitas menentukan pengalaman wisata yang lebih baik. Karena Indonesia memiliki banyak objek wisata, perlu adanya identifikasi tempat-tempat yang berpotensi untuk difasilitasi oleh transportasi udara. Hanya transportasi udara yang menawarkan konvergensi ruang/waktu dalam sistem transportasi dunia. Wisatawan cenderung melakukan perjalanan penerbangan jarak jauh untuk mendapatkan pengalaman yang lebih menarik dalam mengunjungi tempat-tempat baru dengan keindahan alam. Namun, mereka hanya memiliki waktu yang terbatas, oleh karena itu transportasi udara adalah jawabannya.
World Travel & Tourism Council menetapkan beberapa aspek kunci dari ‘pariwisata untuk masa depan’ yang bertanggung jawab dan terus berkembang, antara lain yaitu: Berdampak pada lingkungan alam dan budaya dengan cara yang positif; Memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat, termasuk kaum muda, perempuan dan masyarakat adat; Menarik dan mengembangkan tenaga kerja terampil untuk mendukung permintaan yang terus meningkat; Merangsang permintaan konsumen akan produk yang berkelanjutan; dan, Menggunakan teknologi terbaru untuk menemukan solusi inovatif untuk tantangan masa depan. Analisis konektivitas ke kawasan tersebut merupakan kebutuhan untuk memenuhi aspek-aspek kunci tersebut.
Daerah terpencil dan udara angkutan
Daerah terpencil dapat diklasifikasikan sebagai wilayah terluar, kepulauan, dan wilayah dengan tuntutan politik. Daerah terpencil di Indonesia membutuhkan dukungan agar terjadi keseimbangan dalam menerima pelayanan yang berkaitan dengan masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Konektivitas ke remote area perlu diprioritaskan karena merupakan lifeline services. Mode akses lain mungkin tidak cocok dalam menghadapi medan dan keadaan. Di sisi lain, permintaan yang rendah mungkin tidak cukup bagi maskapai untuk membuat rute ke daerah-daerah terpencil tersebut. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk menjamin konektivitas udara perlu dirancang dengan mempertimbangkan pelayanan yang berkelanjutan ke wilayah tersebut.
Situasi transportasi udara di Indonesia menghadapi masalah keuangan yang menyebabkan penurunan jumlah penumpang. Tarif tiket naik hampir dua kali lipat dari harga reguler. Jumlah jadwal berkurang dan persaingan dengan moda transportasi lain menggeser permintaan maskapai penerbangan. Beberapa rute juga menghilang karena sedikitnya permintaan. Situasi yang tidak pasti ini membuat keberlanjutan layanan ke remote daerah.
Pengembangan beberapa bandara baru dan infrastruktur transportasi lainnya meningkatkan daya saing antar maskapai dan moda transportasi lainnya. Persaingan semakin ketat karena ICAO juga memberikan fasilitasi perjanjian internasional untuk meliberalisasi pembatasan yang ada melalui materi kebijakan dan panduan. Hal ini perlu didiskusikan secara mendalam untuk mempertimbangkan isu-isu konektivitas yang terkait dengan pembangunan internal, baik dari segi ekonomi maupun politik pandangan.
Konektivitas transportasi udara
Konektivitas adalah kemampuan jaringan untuk memindahkan penumpang dari satu titik ke titik lain dengan jumlah sambungan serendah mungkin dan tanpa kenaikan tarif, berfokus pada, dari perspektif komersial, waktu penghubung minimum dengan fasilitas maksimum yang pada akhirnya menghasilkan manfaat bagi udara pengguna transportasi. Konektivitas untuk transportasi udara memiliki tiga kategori, yaitu :
- Konektivitas langsung yang mencerminkan layanan langsung yang tersedia dari negara, kota, atau bandara tertentu. Itu tergantung pada jumlah tujuan yang dilayani. Tujuan, serta frekuensi atau kapasitas menjadi variabel pengukuran jenis ini
- Konektivitas tidak langsung yang menggabungkan tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai dengan satu perhentian atau lebih. Pengukuran konektivitas akan mempertimbangkan faktor kunci yaitu waktu penghubung di bandara transit dan tingkat pengalihan
- Konektivitas hub yang relevan untuk kota atau bandara yang berfungsi sebagai hub, dan mencerminkan jumlah kombinasi penerbangan yang dapat dihubungkan ke rencana perjalanan yang kredibel, dengan mempertimbangkan minimum dan maksimum penghubung
Untuk memiliki konektivitas yang kuat, perlu adanya optimalisasi sistem navigasi, bandara, maskapai penerbangan, dan sistem keamanan. Konektivitas diukur berdasarkan kriteria yang menyajikan sepuluh indeks kriteria kunci untuk konektivitas udara. Sepuluh kriteria tersebut membutuhkan big data dan mencakup jumlah entitas yang menyediakan data.
ICAO lebih memilih untuk menentukan indeks konektivitas berdasarkan tingkat pemanfaatan peluang konektivitas oleh maskapai penerbangan. Tingkat utilisasi di sini adalah rasio antara pasar yang tersedia dan pasar riil yang dilayani oleh maskapai penerbangan. Pasar yang tersedia dalam konteks ini merupakan pasar potensial akibat liberalisasi transportasi udara dengan memberikan istilah open sky. Namun, tidak semua pasar yang tersedia menarik maskapai untuk melayani rute tersebut.
Diskusi konektivitas bandara
Indonesia dengan hampir 300 bandara yang harus dikelola dan dirawat memiliki klasifikasi bandaranya menjadi bandara komersial, bandara milik negara, bandara perusahaan swasta, dan bandara perintis. Sifat masing-masing kelompok bandara mungkin tidak sama.
Bandara yang berfungsi sebagai badan usaha bandar udara dan perintis kecenderungannya terhubung ke bandara komersial atau milik negara terdekat. Oleh karena itu, rute dapat diambil dari bandara terdekat yang tersedia. Beberapa pulau resor juga dilayani oleh maskapai swasta yang mendarat di perairan/ laut, jenis layanan ini tidak diperlukan bandara.
Beberapa bandara yang dilayani oleh maskapai penerbangan komersial berjadwal, rute yang tersedia belum sepenuhnya dapat diterapkan sistem hub and spoke. Beberapa bandara menyediakan rute langsung ke pusat kawasan wisata. Situasi ini perlu dianalisis lebih jauh karena pemodelan yang ada saat ini mungkin tidak berlaku untuk semua jenis bandara di Indonesia.
Berdasarkan karakteristik bandara di Indonesia, analisis mendalam perlu dilakukan dalam dua model pendekatan. Pertama mengadopsi metode yang didasarkan pada model konektivitas hub. Yang kedua mengikuti model aksesibilitas. Setiap metode dapat memberikan hasil yang berbeda karena hilangnya informasi dalam hal kualitas koneksi, jumlah koneksi hub, dan kinerja tercepat atau terpendek.
Membangun model konektivitas bandara Indonesia memerlukan beberapa langkah pengkajian yang mendalam karena model sulit dapat dikembangkan melalui data rute dan frekuensi yang tersedia. Kajian pendahuluan yang diperlukan adalah bagaimana perkembangan jadwal penerbangan, pengoperasian hub maskapai, metode peramalan lalu lintas penghubung, variasi layanan hub di jaringan transportasi udara domestik, dan kualitas jaringan hub-spoke terkait koordinasi jadwal.
Way Forward
Bandara di Indonesia melayani variasi pola perjalanan yang sangat besar. Fungsi dari bandara-bandara tersebut juga beragam dan memiliki kompleksitas tersendiri. Namun demikian, konektivitas bandara-bandara tersebut perlu dianalisis untuk menjaga keberlanjutan wilayah Indonesia. Tingkat konektivitas juga memberikan informasi terkait kebutuhan perbaikan sistem manajemen otoritas angkutan udara.