Kamis, Mei 2, 2024

Menelusuri Antroposen, Tentang Narasi Kepunahan Manusia

Wahyu Candra Dewi
Wahyu Candra Dewi
Mahasiswa S-2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Terminologi Antroposen memang lebih dikenal dalam studi geologi dan digunakan pertama kali oleh Crutzen & Stoermer (2000) untuk menggambarkan era baru bumi yang ditandai dengan semakin signifikannya jejak manusia secara geologis. Istilah ini kemudian secara spesifik didefinisikan oleh Crutzen sebagai zaman geologis modern, dimana umat manusia muncul sebagai sebuah kekuatan substansial secara global dengan potensi kecerdasan yang dapat membentuk ulang wajah planet bumi (Clark dkk., 2004).

Aktivitas manusia untuk memajukan peradaban melalui proses-proses industrialisasi, nyatanya tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Semakin banyak akademisi yang menyatakan bahwa, industrialisasi telah mendorong perubahan terhadap sistem bumi dan proses-proses lingkungan sedemikian rupa, sehingga biofisik zaman Holesen sudah tidak relevan lagi untuk mendeskripsikan kondisi bumi kontemporer (Harrington, 2016).

Manusia telah menciptakan sejarah baru dengan melampui catatan geologis sebagai faktor utama pendorong perubahan biosfer. Meskipun banyak digunakan untuk menggambarkan masa bumi, definisi Antroposen sendiri memiliki implikasi yang signifikan terhadap narasi kepunahan manusia.

Teknologi sebagai Titik Mula Antroposen

Kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa geologis secara umum disebabkan oleh kemajuannya untuk menciptakan teknologi dan mengintegrasikan teknologi tersebut dalam setiap lini kehidupan: sistem keuangan dan proses produksi; pemerintahan dan birokrasi; komunikasi dan transportasi; hingga proses sosial dan institusi (P. Haff, 2014).

Menurut Haff (2014), Antroposen adalah produk aktivitas manusia yang semakin terintegrasi dengan teknologi. Antroposen secara umum digerakkan oleh pengembangan dan penggunaan teknologi dalam skala luas ini, yang oleh Haff (2012, 2013) kemudian disebut dengan istilah technosphere: sebuah sistem yang diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.

Selama lebih dari 200 tahun, perkembangan teknologi yang sangat pesat telah berdampak pada percepatan pertumbuhan, ekonomi, eskalasi standar hidup, dan peningkatan harapan hidup manusia di berbagai belahan dunia.

Selain itu, teknologi juga telah memungkinkan aktivitas manusia ‘menyentuh’ hampir setiap bagian bumi dan mempengaruhi planet dalam skala global (Gerola, 2018). Ledakan penduduk dunia telah meningkatkan aktivitas konsumsi dan produksi yang kemudian mendorong percepatan perkembangan teknologi guna memenuhi kebutuhan efektivitas dan efisiensi.

Teknologi telah dikembangkan dengan sedemikian rupa hingga sampai pada titik dimana keberadaannya dapat memberikan manusia kapabilitas untuk melakukan intervensi sektoral yang sangat mendalam (Möller, 2022) – tak terkecuali pada hal-hal yang berkaitan dengan alam. Perkembangannya yang sedemikian cepat dan mendalamnya intervensi teknologi telah mengakibatkan perubahan antropogenik dalam sistem Bumi yang sebelumnya hanya bisa disebabkan oleh dampak meteorit, pergerakan benua, dan fluktuasi siklus konstelasi matahari-bumi (Möller & Grießhammer, 2022).

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teknologi tidak hanya mendisrupsi kehidupan manusia, tetapi juga membawa perubahan besar bagi biosfer. Eksistensi teknologi memberikan manusia kekuatan yang jauh lebih besar dari sekedar optimalisasi proses produksi untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Kecepatan inovasinya juga telah menjadi faktor pendorong utama yang sifatnya semakin destructive bagi evolusi ekologi dan masa geologi.

Antroposen dan Narasi Kepunahan Manusia

Era Antroposen juga semakin menguatkan narasi tentang kepunahan manusia. Pertama, terdapat ketergantungan manusia yang semakin kuat terhadap teknologi yang diciptakannya. Technosphere yang menjadi motor penggerak Antroposen telah berubah menjadi sebuah sistem otomasi dimana teknologi memiliki kemampuan untuk mengendalikan kehidupan manusia.

Keinginan manusia untuk terus melakukan efisiensi terhadap proses sosial, ekonomi, dan politik membuat sudut pandang human-centric semakin tergerus dan digantikan dengan system-centric. Situasi ini mendorong munculnya teknologi otomosi, seperti Artificial Intelligence (AI) dan Augmented Reality yang terus mengalami perkembangan dan secara signifikan menjadi bagian integral bagi kehidupan manusia.

Teknologi otomasi semacam ini mulai memainkan peranan yang substansial dalam mengarahkan keputusan-keputusan manusia baik di level individual maupun dalam ranah-ranah strategies (Anderson dkk., 2018; Islam, 2021; Luo, 2021). Hal ini menegaskan kembali argumentasi Haff (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan asimetris antara manusia dengan teknologi sehingga dalam kaitannya dengan technosphere, manusia tidak lebih dari sekedar ‘bagian’.

Kedua, Antroposen ditandai dengan bertambah kuatnya campur tangan manusia dalam ranah lingkungan, sehingga dualisme human/nature menjadi semakin kabur. Situasi alamiah (nature) bumi kini banyak ‘dibentuk’ oleh aktivitas manusia yang menimbulkan konsekuensi lebih besar dari sekedar perubahan iklim dan pemanasan global. Proses-proses efisiensi kehidupan manusia memunculkan transformasi lingkungan yang mengancam safe operating space of humanity (Steffen dkk., 2015).

Antroposen menawarkan sebuah konstruksi bumi baru dimana manusia adalah entitas paling kuat, namun secara bersamaan terfragmentasi dan tidak signifikan (Fagan, 2017). Manusia memiliki pemahaman awal bahwa alam adalah entitas yang terpisah dan merupakan bagian dari kategori non-human (Chandler, 2020). Dikotomi semacam ini membuat fenomena seperti bencana lingkungan, dianggap sebagai ancaman eksternal terhadap narasi internal modernitas tentang perdamaian dan pembangunan (Chandler, 2020).

Memasuki zaman Antroposen pemisahan semacam ini semakin kabur. Alam tidak lagi dapat dipahami sebagai entitas yang beroperasi atas hukum tetap atau natural laws, tapi dilihat sebagai sebuah kompleksitas yang dihasilkan dari tindakan manusia.

Aktivitas pembangunan memiliki efek bouncing back: semakin besar kemajuan yang diperjuangkan manusia untuk meningkatkan standar kehidupan, semakin besar pula tekanan yang dihasilkan terhadap planet yang meruntuhkan keseimbangan biosfer (Biggeri & Tapia, 2023; Chandler, 2020).

Aktivitas konsumsi dan produksi manusia yang terus mengalami peningkatan dari generasi ke generasi menjadi salah satu alasan paling signifikan meningkatnya temperatur bumi. Suhu planet diperkirakan akan mengalami kenaikan 1.5° C di atas tingkat pra-industri dalam waktu dekat, menyebabkan kerusakan ekosistem yang lebih besar dan mendorong alam bergerak melampui kemampuan manusia untuk beradaptasi (IPCC, 2022; Kemp dkk., 2022; Strand dkk., 2023).

Melihat perkembangan bumi yang semakin memburuk dan disebut-sebut telah memasuki era global boiling, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa kepunahan masal keenam sudah semakin dekat: mengancam tidak hanya aneka ragam flora fauna tapi juga manusia. Ironisnya, krisis yang terjadi ini adalah human-made – sebuah produk turunan atas upaya-upaya manusia memerdekakan dirinya.

Wahyu Candra Dewi
Wahyu Candra Dewi
Mahasiswa S-2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.