Jumat, Maret 29, 2024

Menanti Ketegasan Jokowi Mengisi Jabatan Kapolri

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan), Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti (kedua kiri) dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko memberikan keterangan pers terkait kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Medan seusai Upacara HUT Bhayangkara ke-69 di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (1/7/2015). Presiden Joko Widodo memerintahkan investigasi mendalam soal kecelakaan tersebut, serta memerintahkan Menhan dan Panglima TNI melakukan perombakan mendasar tentang manajemen alat utama sistem senjata. Wahyu Wening/Tribratanews.com
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti (kedua kiri), dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko (kiri) di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (1/7/2015). Wahyu Wening/Tribratanews.com

Masa jabatan Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) akan berakhir pada 24 Juli 2016 nanti. Meski lebih kurang tinggal dua bulan lagi masa jabatan tersebut berakhir, hingga saat ini Presiden Joko Widodo masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mengusulkan nama ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dicalonkan sebagai Kapolri berikutnya pengganti Badrodin Haiti.

Sebenarnya Presiden memiliki dua pilihan menyangkut jabatan Kapolri ke depan. Pertama, Presiden mengganti Badrodin Haiti karena telah memasuki usia pensiun atau yang kedua dengan memperpanjang masa jabatannya. Sebagaimana penjelasan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) yang menyatakan, secara umum usia pensiun maksimum anggota Polri 58 tahun, bagi yang mempunyai keahlian khusus dapat diperpanjang sampai usia 60 tahun.

Pertanyaannya, ketentuan manakah yang akan dipilih oleh Presiden dalam menentukan jabatan Kapolri kecdepan?

Pengisian Kapolri
Menurut UU Kepolisian, mekanisme pengisian jabatan Kapolri diatur pada Pasal 11, yaitu: (1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. (3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

UU Kepolisian memang memberikan kewenangan yang besar kepada Presiden untuk menentukan siapa saja nama-nama yang menurut Presiden memenuhi kriteria sebagai Kapolri. Sementara itu, dari praktik yang selama ini telah dilaksanakan sangat jarang sekali nama calon yang diusulkan oleh Presiden ditolak oleh DPR.

Meski terlihat sederhana, keputusan Presiden untuk mengusulkan nama calon Kapolri yang akan dikirim ke DPR merupakan pilihan yang akan sulit dijalankan. Mengingat pengalaman pada proses pengisian jabatan Kapolri sebelumnya diwarnai dengan rentetan kegaduhan yang berlangsung tidak sebentar. Bahkan, yang membuat miris, proses pengisian Kapolri pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah segaduh yang pernah terjadi pada masa Presiden Joko Widodo.

Karenanya, tak sulit ditebak kalau proses pengisian jabatan Kapolri kali ini tentu akan mendapatkan perhatian lebih. Apalagi sosok kontroversial seperti Budi Gunawan dan Budi Waseso juga masuk bursa calon Kapolri. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada kepentingan politik tertentu yang akan memboncengi proses ini untuk menempatkan oknum-oknum tertentu di jabatan “Tribrata Satu”.

Maka, ketegasan Presiden adalah kata kunci untuk menghilangkan anasir-anasir politik dalam proses pengisian jabatan Kapolri. Presiden tidak dapat lagi berbicara tentang momentum yang tepat dalam mengusulkan nama calon Kapolri yang akan dimintai persetujuannya ke DPR. Sebab, selama hampir dua tahun memimimpin, pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai memiliki perhatian yang minim dalam bidang penegakan hukum.

Apalagi tidak bisa dihindarkan hingga saat ini isu tentang rekening gendut perwira tinggi Polri belum dapat dituntaskan seutuhnya. Bahkan terkesan lebih didiamkan daripada diungkap untuk menjawab keraguan yang selama ini masih simpang siur. Sementara itu, secara institusional Polri merupakan lembaga penegak hukum yang paling tidak dipercaya oleh publik dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Presiden harus selalu ingat bahwa mengisi jabatan Kapolri adalah hal yang sangat krusial, yang mana akan sangat berhubungan secara langsung dengan penilaian publik terhadap kepemimpinan Presiden. Sebab, Presiden tidak hanya berwenang mencalonkan Kapolri, tapi Polri secara lembaga dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, peran Presiden sangat menentukan bagi Polri secara institusi dan nasib penegakan hukum ke depannya

Paradigma Baru
Sudah seharusnya Presiden memilih dan memiliki langkah serta paradigma baru dalam melakukan pengisian jabatan Kapolri. Seperti halnya pernah dilakukan Presiden Joko Widodo ketika pertama kali menyusun kabinet kerjanya. Presiden meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri rekam jejak kandidat menteri yang akan mengisi kabinet pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Dengan kesempatan yang ada saat ini, sudah sepantasnya Presiden memanfaatkan momentum ini untuk membalikkan penilaian bahwa Presiden memiliki komitmen yang kuat dalam bidang penegakan hukum. Mengingat masih ada waktu untuk merencanakan segala sesuatunya menjadi lebih baik, komitmen tersebut harus ditunjukkan dengan mengusulkan nama-nama terbaik sebagai calon Kapolri.

Termasuk salah satunya mempertimbangkan nama-nama yang potensial mendampingi Presiden hingga akhir masa jabatan Presiden tahun 2019 nanti. Agar tercipta kerja yang seirama antara Presiden dan Polri secara institusi dalam hal penegakan hukum. Konsekuensi lainnya dapat benar-benar mewujudkan poin keempat dari Nawacita Jokowi-JK, yaitu menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Buya Syafii Maarif, dalam memilih Kapolri, Presiden harus memilih perwira tinggi Polri dengan “catatan hitam” yang paling sedikit. Masyarakat harus diberikan garansi bahwa Kapolri yang terpilih harus mampu menyelesaikan pekerjaan rumah reformasi institusi Polri, menjadikan institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang dipercaya oleh masyarakat, serta menekan serendah mungkin praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme di tubuh institusi Polri.

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.