Jumat, April 19, 2024

Menagih Janji Jokowi-JK Membangun Desa

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

dom-1453558801Para petani memanen padi yang ambruk akibat hujan dan angin di lahan pertanian Bendosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (23/1). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho.

Puluhan tahun gemuruh pembangunan tak hanya memperbesar kue ekonomi, tapi juga berbuah residu: ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.

Trio ketimpangan kian hari kian mencemaskan. Pertumbuhan tinggi hanya dinikmati segelintir pihak. Pembangunan tidak menyejahterakan semua lapisan.

Cita industri yang dibangun, guna melompat dari ekonomi pertanian, tidak mulus. Industri berbasis bahan baku impor hanya menghasilkan industrialisasi semu. Industrialisasi ini dicirikan oleh penurunan pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian yang tidak diikuti penurunan pangsa tenaga kerja di pertanian secara proporsional.

Industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi yang memeras petani. Petani memikul beban industri. Saat kue ekonomi kian kecil menjadi rebutan banyak orang, logis jika pertanian kian involutif yang ditandai kemiskinan masif di pedesaan.

Memang, ada argumen apologi: kesenjangan pendapatan biasa terjadi pada awal pembangunan. Bagi Indonesia, argumen ini sulit diterima. Pembangunan sudah dimulai sejak 1960-an, bersama Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Pada tahun itu ekonomi Indonesia lebih baik dari Malaysia. Bahkan hampir sama dengan Korea Selatan.

Dengan Jepang tidak ketinggalan jauh. Pada 1960 Indonesia dan Korea Selatan berpendapatan per kapita US$100. Namun, kini Korea Selatan jauh meninggalkan Indonesia, dengan pendapatan per kapita US$31 ribu, enam kali pencapaian Indonesia. Tentu ada yang salah pada desain dan arah pembangunan (ekonomi) Indonesia.

Tak ada salahnya menengok Cina. Cina yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980 berhasil menekan angka kemiskinan drastis: dari 64% (1981) tinggal 7% (2007). Tidak hanya menekan jumlah kemiskinan, 65% penduduk Cina menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sebaliknya, meskipun anggaran antikemiskinan naik berlipat-lipat, Indonesia hanya bisa menekan kemiskinan 4-5%. Kelas menengah yang dicetak cuma 10,6%.

Salah satu strategi pemerintah Cina adalah berupaya menciptakan lapangan kerja masif dan berkelanjutan. Cina mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan sumber daya manusia (SDM) berpendidikan dan berketerampilan tinggi.

Saat ini 63% penduduk miskin Indonesia ada di pedesaan dan mayoritas bekerja di pertanian. Pengalaman Cina seharusnya meyakinkan kita bahwa jalan yang selama ini ditempuh, yang meninggalkan pertanian dan membangun industri foot loose, amat tidak tepat.

Duet Jokowi-Jusuf Kalla mencoba mengoreksi lewat Nawa Cita dengan ide “membangun dari pinggiran dan pedesaan”. Untuk mewujudkannya ditempuh melalui kerja-kerja teknokratis seperti isi roh Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.

Harus disadari benar, selain menjadi lokus kemiskinan, saat ini kualitas SDM pedesaan amat rendah. Penguasaan modal (lahan dan dana) terbatas. Kapasitas desa yang lemah kian tunadaya (powerless) akibat kebijakan pembangunan nasional yang menempatkan desa/pedesaan hanya pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain/kota, oleh pihak lain).

Untuk mengikis trio ketimpangan, pembangunan pedesaan lewat dua cara ini menjadi keniscayaan. Pertama, redistribusi aset/modal. Pada tahun 2016 jumlah dana desa Rp 46,8 triliun, lebih dua kali dari tahun 2015 (Rp 20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa akan menciptakan dampak berganda luar biasa bila pada saat yang sama diiringi redistribusi aset berupa lahan.

Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta hektare lahan pada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 ha menjadi 2 ha per keluarga perlu ditunaikan. Penguasaan aset lahan akan memperbesar kapasitas petani. Mampukah Jokowi-JK menepati janjinya?

Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pendekatan administratif. Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa, dan hanya keluar setelah lewat proses penciptaan nilai tambah.

Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat pedesaan. Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior.

Jadi, desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan tapi pasti kemiskinan akan terkikis.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.