Rabu, Desember 4, 2024

Membincangkan Manuskrip dan Prasasti dalam Karya Sastra

Lupy Agustina Dewy
Lupy Agustina Dewy
Guru, Penulis dan Pegiat Literasi Tasikma
- Advertisement -

Memasuki hari keenam (Selasa, 28/04/2020), World Book Day 2020: Indonesia Online Festival, Sinta Ridwan menjadi pembicara untuk sesi ke-7 diskusi daring. Pada sesi tersebut, ia membahas topik bertema Alih Wahana Manuskrip dan Prasasti Menjadi Karya Sastra Fantasi.

Sebagai seorang filolog, mentraskripsi dan menerjemahkan manuskrip kuno sudah menjadi salah satu kegiatan yang biasa ia lakukan. Tak cukup sampai di sana, saat ini, ia tercatat sebagai salah satu mahasiswa S-2 jurusan arkeologi di Universitas Indonesia. Kecintaannya terhadap kisah-kisah kuno Nusantara, membawanya untuk menyelami lebih dalam tentang prasasti.

Latar belakang keilmuannya tersebut, membuat dirinya tak asing dengan berbagai proses alih wahana, khususnya karya sastra. Sebagaimana yang ia sebutkan, saat ini, dirinya sedang mengerjakan sebuah novel fantasi yang merupakan alih wahana dari manuskrip dan prasasti yang telah ia pelajari.

Polemik Alihwahana

Sinta Ridwan memaparkan alih wahana menurut Sapardi Djoko Damono sebagai kegiatan yang berupa penerjemahan, penyaduran, pemindahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain, dalam hal ini karya sastra. Ia melanjutkan, bahwa wahana merupakan medium untuk memamerkan gagasan. Menurutnya, inti kegiatan alih wahana itu sendiri, yaitu pemindahan atau pengubahan dari ilmu pengetahuan menjadi karya sastra atau karya seni.

Di dalam alih wahana itu sendiri, menurut Sinta, terjadi perdebatan yang ia pikir hal tersebut tak perlu diperdebatkan, yakni tentang mana yang terlebih dahulu hadir; tradisi lisan atau manuskrip prasasti. Padahal, baik kelisanan maupun keaksaraan—kata Sinta—keduanya sama-sama memiliki manfaat sebagai praktik komunikasi manusia meskipun keduanya memiliki produk dokumentasi yang berbeda.

Sinta mengutip pernyataan Ferdinand de Saussure bahwa tulisan atau aksara yang membentuk teks berfungsi untuk menyajikan ulang bentuk bahasa tutur ke bentuk visual. Mengenai hal tersebut, dijelaskannya, pemindahan bunyi ke aksara, keduanya berkaitan karena dipengaruhi oleh pancaindra. Bunyi yang ada dalam kelisanan terkunci dalam bentuk-bentuk aksara.

Dalam pemaparan mengenai alih wahana, ia menunjukkan contoh sebuah cerita epos, yaitu cerita  Ramayana. Cerita Ramayana merupakan kisah kepahlawanan dari India yang ditulis oleh Walmiki pada tahun 400-an. Tahun 870 terdapat upaya mengalihwahanakan cerita Ramayana—yang masih dalam bentuk kelisanan—ke dalam bentuk tulisan berupa Kakawin Ramayana. Kakawin merupakan penyebutan puisi dalam naskah kuna.

Bersamaan dengan hal tersebut, Sinta melanjutkan, di Candi Prambanan terdapat relief-relief tentang cerita Ramayana. Selanjutnya, di tahun 1400-an ketika Sunan Kalijaga memopulerkan wayang kulit, di dalamnya terselip tentang Ramayana. Proses penyalinan ini masih ditemukan pada 1600-an dalam prosa Hikayat Sri Rama. Pada tahun yang sama, alihwahana cerita tersebut diwujudkan dalam lukisan kaca.

Di Prambanan, pada 1960 cerita Ramayana dialihwahanakan menjadi sendratari. R.A Kosasih pada 1960-1980-an menggubah cerita Ramayana ke dalam sebuah komik. Tidak berhenti di sana, pada 1984 alihwahana Ramayana ke dalam novel berjudul Anak Bajang Digiring Angin oleh Sindhunata. Kembali ke India, tempat asal lahirnya cerita tersebut, sekitar tahun 1900-2000, Ramayana disajikan dalam bentuk film. Pada tahun 2014, Agus Suntoyo, menerbitkan novel Rahuvana Tatta, kemudian dua tahun setelahnya, Sudjiwo Tedjo menerbitkan novel Rahvayana masih dari cerita epos yang sama. Tahun 2019, cerita ini bahkan dijadikan sebuah film animasi.

Heri Maja Kelana—moderator diskusi—juga mempertanyakan perihal sejauh mana ke-corrupt-pan alih  wahana lisan ke manuskrip dapat ditoleransi. Sinta menuturkan bahwa hal tersebut kembali pada proses kreasi alih wahana tersebut. ‘Korup’  atau dikatakan Sinta sebagai kesalahan atau kekeliruan karena ada faktor perbedaan rentang waktu pembuatan manuskrip ke waktu penyalinan, pengetahuan, dan daya kreativitas sang penyalin. Dari kaca mata filolog, jika ada perbedaan peran/nilai, misalnya dalam cerita  Ramayana, Rama sebagai tokoh jahat dan Rahwana tokoh yang baik, hal tersebut sah-sah saja dilakukan.

- Advertisement -

Manuskrip dan Prasasti

Dalam kajian antara manuskrip dan prasasti, imbuh Sinta, terdapat perdebatan antara mana fakta dan mana fiksi. Dalam ranah epigraf, prasasti dianggap sebuah data konkrit, benar, mewakili zamannya. Biasanya berisi pengukuhan raja-raja, batas wilayah, nama-nama raja, tanggal peristiwa, dan data  peristiwa yang terjadi. Sedangkan manuskrip—dalam ranah filologi—diibaratkan Sinta sebagai sebuah toko buku atau perpustakaan yang memuat beragam jenis buku.

Mengenai pertentangan fiksi dan fakta dalam prasasti atau manuskrip Sinta mengimbau agar  pembicaraan tentang sejarah, jangan langsung melihat benar dan salah.

“Ada banyak hal-hal yang bolong-bolong di masa lalu gitu, lho, Kang, dan itu gak bisa dirajut begitu saja,” ujar Sinta.

Tugas seorang filolog, menurut Sinta yaitu untuk menerjemahkan manuskrip kuno atau tulisan masa lalu ke dalam bahasa sekarang menggunakan aksara sekarang.

“Filolog sendiri secara gamblang tidak menyebutkan ini adalah cerita yang benar, ini adalah cerita yang salah, ini adalah sejarah, ini bukan sejarah, tapi, tugas filolog itu kayak semacam kita membaca kita menerjemahkan kemudian interpretasi. Interpretasi juga itu isinya murni pembacaan dari isi teks manuskrip itu sendiri,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sinta menjelaskan tentang penulisan prasasti dan manuskrip. Dalam paparannya, prasasti ditulis oleh seorang juru tulis yang notabene melakukan hal tersebut dalam sebuah tugas yang dinaungi kekuasaan penguasa tertentu. Manuskrip sendiri ada yang ditulis orang biasa untuk menyelamatkan naskah kuno. Dari segi media penulisan, prasasti ditulis lebih banyak menggunakan media batu atau logam. Sedangkan, manuskrip lebih banyak menggunakan media-media yang lebih rapuh seperti daun lontar, kulit kayu, bambu, gading, dan lain sebagainya.

Sastra Fantasi

Berbicara tentang sastra fantasi, Sinta mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai sastra fantasi sebagai karya sastra yang banyak menggunakan unsur khayalan atau tidak nyata dalam membangun cerita yang dibuat.

Ia memaparkan dua penulis asal Inggris, yaitu J.K. Rowling penulis novel fantasi Harry Potter dan J.R.R. Tolkien penulis novel fantasi The Lord of The Ring. Sinta menjelaskan secara singkat mengenai proses kreatif  keduanya dalam memilih salah satu tokoh dalam cerita fantasi mereka, dalam hal ini seekor naga, berdasarkan latar belakang masing-masing penulis. J.K. Rowling sebagai lulusan mahasiswa sastra—jurusan bahasa Perancis—ia terbiasa membaca tulisan-tulisan sastra.

Ia melakukan riset dari kitab-kitab yang merupakan salah satu jenis manuskrip untuk memutuskan memakai naga versi tertentu. Sedangkan J.R.R Tolkien, ia memiliki latar belakang sebagai filolog yang tentu sudah terbiasa dengan naskah masa lalu. Bergantung pada hal tersebut, pemilihan naga yang diambil Tolkien berbeda dengan apa yang dimiliki Rowling.

Berdasarkan apa yang dilakukan oleh kedua penulis tersebut, Sinta menyimpulkan bahwa dalam novel fantasi, walau itu sebuah cerita fiksi, di dalamnya ada riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia pun merasa bahwa kesulitan dalam membuat novel fantasi terletak pada sumber riset.

Menjawab pertanyaan Dasim Karsam tentang perubahan unsure kenyataan menjadi unsure fantasi dalam alihwahana, menurut Sinta, pengalihwahanaan tersebut diusahakan relatable dengan keadaan saat ini. Alasannya, jika penulis menggambarkan fantasi yang ada kaitannya dengan dunia nyata, akan terjadi keterikatan yang lebih kepada pembaca.

Dalam proses kreatif, Sinta kerap mengalami hal-hal mistis seperti yang dipertanyakan Eka Budianta, yang mencontohkan Pramoedya Ananta Toer pernah didatangi harimau ketika berada di dalam sel. Eka sendiri mengalami halusinasi bertemu sang Prabu ketika membuat karyanya dengan tokoh Airlangga. Sinta sendiri mengatakan bahwa badannya terasa berat jika menggarap transliterasi naskah-naskah kuno.

Lupy Agustina Dewy
Lupy Agustina Dewy
Guru, Penulis dan Pegiat Literasi Tasikma
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.