Minggu, November 24, 2024

Membaca Kekerasan Seksual di Media

Wisnu Prasetya Utomo
Wisnu Prasetya Utomo
Peneliti media pusat kajian media dan komunikasi Remotivi. Pendukung klub sepak bola Manchester United dan Inter Milan.
- Advertisement -

victimDi tengah merebaknya isu komunisme dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi yang semakin sering terjadi di Indonesia, kabar-kabar tentang kekerasan seksual yang menyedihkan hadir di ruang publik. Berita kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini seolah semakin banyak dan membesar.

Sebagai contoh, di Bengkulu, anak perempuan usia 14 tahun diperkosa dan dibunuh oleh 14 pelaku, di Kediri 58 anak dicabuli oleh seorang pengusaha, di Surabaya, anak usia 13 tahun dicabuli oleh 8 orang yang juga masih di bawah umur, di Tangerang, seorang perempuan usia 18 tahun diperkosa dan dianiaya dengan cangkul sebelum dibunuh, di Pemalang seorang perempuan diperkosa dan dibunuh oleh 12 orang.

Deret peristiwa tersebut bisa diperpanjang lagi. Dan itulah yang semakin menyedihkan, kasus yang mencuat di media itu hanya kecil saja dari banyak kasusnya kekerasan serupa. Ia ibarat gunung es yang kelihatan kecil saja di permukaan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015 terdapat 321.752 kekerasan.

Dengan melihat berbagai kasus kekerasan seksual yang terus terjadi, wajar jika kita menyebut bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual dan butuh upaya yang serius untuk menghentikkan spiral kekerasan tersebut. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan kekerasan seksual ini terus terjadi?

Sulit untuk menyebut satu faktor tunggal sebagai penyebabnya. Kompleksitas persoalan membuat solusi atasnya tidak boleh parsial. Ini yang membuat kenapa banyak kalangan memprotes Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri yang baru saja diteken Presiden Jokowi karena dianggap tidak menjawab persoalan yang ada. Dan aturan tersebut gagal melihat berbagai faktor yang membentuk sebuah kultur yang memungkinkan aksi kekerasan terus terjadi.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyebut bahwa media menjadi salah satu faktor yang melanggengkan budaya kekerasan seksual dan butuh perbaikan dalam pemberitaan media untuk ikut menghentikan budaya tersebut.

Melanggengkan Stigmatisasi
Komnas Perempuan baru saja melansir riset analisis media mengenai berita-berita yang berkaitan dengan isu kekerasan seksual. Dari riset analisis isi yang dilakukan terhadap sembilan media pada Juli – Desember 2015, Komnas Perempuan mencatat ada 274 berita berkaitan dengan kekerasan seksual. Dari angka tersebut, bentuk kekerasan seksual yang paling banyak menjadi bahan pemberitaan adalah kasus pemerkosaan (45%), pelecehan seksual (34%), dan perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (10%).

Ironisnya, sebagian besar media melanggar kode etik dan konsekuensinya: melanggengkan stigmatisasi. Seperti temuan Komnas Perempuan, media masih belum memenuhi kaidah kode etik jurnalistik. Pelanggaran yang paling banyak dilakukan oleh media adalah mencampurkan fakta dan opini (38%), mengungkap identitas korban (31%) dan termasuk mengungkap identitas pelaku anak (20%).

Kode Etik Jurnalistik di Dewan Pers memang tidak menyebutkan dengan jelas elemen apa saja yang termasuk dalam “identitas”. Namun menyebutkan identitas korban atau keluarga korban dengan gamblang sama artinya dengan membuka ruang bagi intimidasi yang mungkin dihadirkan oleh para pelaku maupun lingkungan yang membela pelaku.

Dan dengan demikian, media membentuk stigmatisasi kepada korban dan sekaligus abai terhada pemernuhan hak-hak mendasar korban kekerasan seksual. Pada gilirannya ini membentuk kultur di mana korban-korban selanjutnya akan ketakutan berhadapan dengan media yang semestinya membantu proses advokasi korban dalam menuntut keadilan.

- Advertisement -

Berangkat dari hal tersebut, ada dua hal mendasar yang menjadi alasan mengapa media kerap melakukan stigmatisasi terhadap korban.

Pertama, minimnya analisis gender yang digunakan oleh media dalam berita-beritanya. Minimnya analisis gender ini membuat media dan wartawan tidak memiliki kepekaan gender dan terbawa dalam alur patriarki bahwa dalam kekerasan seksual, yang bersalah adalah perempuan ataupun anak-anak yang sering dituduh terlalu banyak mengumbar tubuhnya.

Sementara itu, pelaku kekerasan seksual diposisikan sebagai orang yang hanya merespons atau bereaksi terhadap apa yang dilakukan perempuan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pemilihan kata yang digunakan oleh media, khususnya media-media yang mempraktikkan yellow journalism yang hanya menyebar sensasi. Sebagai contoh, dalam kasus di mana perempuan menjadi korban perkosaan, misalnya, ia akan dibubuhi berbagai embel-embel “cantik”, “berpakaian minim”, “keluar malam hari”, dan lain sebagainya yang tendensius.

Yellow journalism dalam sejarah pers di Indonesia memang tidak muncul kali ini saja. Sejak era Orde Baru, media-media semacam Pos Kota mengusung prinsip tersebut dan menampilkan berita-berita yang demikian vulgar untuk meraih perhatian pembaca. Ironisnya, model jurnalisme tersebut diamplifikasi oleh berbagai media online yang menjamur beberapa tahun belakangan. Dengan akses masyarakat yang semakin mudah terhadap media online, berita-berita semacam itu tentu semakin diamplifikasi dan memperburuk kultur yang sudah ada.

Kedua, media lebih mengedepankan keuntungan ekonomi dengan menampilkan berita-berita yang sensasional dan vulgar karena berita-berita semacam itu hampir pasti akan dibaca oleh banyak orang. Eksploitasi dan komodikasi, misalnya, ditampilkan dengan menonjolkan cara korban berpakaian ataupun kebiasaan-kebiasaan korban yang bisa memancing pembaca untuk membacanya.

Tentu saja tingkat keterbacaan akan berbanding lurus dengan pendapatan iklan yang diperoleh. Tak mengherankan jika dalam banyak berita kita akan melihat embel-embel cantik selalu dilekatkan kepada para perempuan. Tindakan seksis semacam ini memang dampaknya tidak akan terasa tiba-tiba. Namun dalam jangka panjang, ia tetap melanggengkan kultur patriarki dan permisif terhadap korban kekerasan seksual.

Jika nalar patriarki di media yang muncul dengan kekerasan simbolik ini terus-menerus hadir, ia hanya akan mengafirmasi kekerasan demi kekerasan fisik yang terjadi terhadap perempuan dan anak-anak. Tentu kita tidak mau hal tersebut terus terjadi.

Dan karena Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual, sudah sewajarnya media menjadi salah satu solusi bagi persoalan tersebut. Bukan malah memperburuk dan melanggengkan kondisi tersebut.

Wisnu Prasetya Utomo
Wisnu Prasetya Utomo
Peneliti media pusat kajian media dan komunikasi Remotivi. Pendukung klub sepak bola Manchester United dan Inter Milan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.