Sabtu, April 20, 2024

Mendampingi Keluarga, Melawan Patriarki

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
fam3
Ilustrasi

Akhir-akhir ini pemberitaan di Tanah Air dipenuhi oleh kasus-kasus pemerkosaan. Pemerkosaan massal terhadap YY di Bengkulu, misalnya, telah membuka mata kita bahwa diskriminasi gender masih terjadi. Dan pemerkosaan sudah jelas merupakan instrumen bagi pendukung budaya patriarki untuk menghalangi perempuan bergerak maju.

Yang menyedihkan, keluarga YY akhirnya diteror oleh oknum tidak bertanggung jawab. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kampung tersebut. Kebrutalan terhadap YY, yang diikuti oleh berita-berita pemerkosaan yang seolah tanpa akhir, seakan seperti “terompet kemenangan” bagi budaya patriarki, yang mengusung supremasi dan dominasi lelaki terhadap perempuan. Harus ada penjelasan dan langkah kongkrit untuk melindungi perempuan dan anak dari kebrutalan ekstrimis patriarki seperti itu.

Penjelasan ilmiah, yang sebenarnya sudah mulai ditinggalkan, tentang asal-usul budaya patriarki dapat mengacu ke Sigmund Freud, Bapak Psikologi Modern. Freud, penemu aliran psikoanalisis, menyatakan bahwa yang paling menentukan kepribadian manusia adalah libido seksual mereka sendiri. Di mata Freud, fiksasi inses sudah terjadi pada lelaki sejak kecil, karena punya afinitas seksual dengan ibunya sendiri.

Budaya-budaya di dunia didirikan atas dasar totem yang bersifat patriarki, demikian Freud. Dan hal ini terbukti dari umumnya suku bangsa di dunia yang menisbahkan keturunan pada lelaki atau patrilineal. Hanya segelintir suku bangsa yang menganut asas matrileneal seperti Minangkabau dan Rusia.

Jika dicermati seksama, dalam perspektif Freud, perempuan memiliki penis envy (selalu ingin menjadi seperti lelaki). Pendeknya, perempuan adalah mahluk inferior karena telah “terkastrasi”. Walaupun opini Freud jelas sangat keliru dan dikritik habis-habisan oleh aktivis gender, Freud menjelaskan dengan baik, apa sesungguhnya keyakinan pengikut ideologi patriarki yang selama ini seakan tersembunyi, yaitu praduga bahwa perempuan merupakan “lelaki yang tidak sempurna”.

Meski psikoanalisis yang seksis juga telah dikritik habis aliran psikologi humanistik, budaya patriarki tetap berdiri tegak. Hal ini terlihat jelas di Tanah Air. Salah satu alasannya, menurut dosen Filsafat UI, Gadis Arivia, laki-laki di Indonesia banyak diuntungkan dibanding perempuan untuk menduduki jabatan publik. Keyakinan bahwa lelaki lebih superior jelas akan merugikan perempuan, karena keinginan dan ambisi mereka untuk maju dalam karir dan pendidikan akan dihambat.

Maka, aksi kongkrit dalam pendampingan keluarga terhadap anak dalam menghadapi budaya patriarki harus dilakukan. Dalam ungkapan Budi Lazarusli dan kawan-kawan dari Universitas PGRI Semarang, pendampingan terhadap keluarga dan anak oleh pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus dilakukan secara komprehensif dan bertahap, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Di masa rentan seperti pubertas atau remaja, keluarga seyogianya melakukan komunikasi positif terhadap anak. Pendampingan atau mediasi dalam menonton TV juga merupakan hal yang penting. Kesadaran mengenai gender seyogianya ditanamkan sejak dini. Kesadaran akan pergaulan yang sehat dengan lawan jenis harus ditekankan.

Sesi komunikasi ini harus diformat dengan tepat dan tidak menggunakan istilah yang terlalu kontroversial. Misalnya, istilah sex education sebaiknya diubah menjadi “pendampingan” atau konseling gender. Hal ini penting, karena istilah sex education sering disalahpahami dan resistensinya sangat kuat dari publik kita.

Seperti di negara Eropa Utara, penitipan anak seyogianya diperbanyak. Bahkan di Jepang sudah umum. Penitipan anak yang profesional sudah mulai terlihat di beberapa instansi pemerintah dan swasta, tapi belum banyak. Penitipan anak yang baik adalah jika anak ditangani oleh konselor yang kompeten di bidang pengasuhan anak.

Penitipan anak merupakan sesuatu yang penting bagi perempuan, karena dengan ini mereka bisa berkarir dengan baik. Pendidikan awal dari anak juga terjamin. Dengan begitu, di akhir pekan, misalnya, perempuan dan anak bisa menghabiskan waktunya bersama dengan baik. Kemudian, cuti kehamilan (maternity leave) di Indonesia terlalu pendek; secara kumulatif hanya 3 bulan. Bandingkan dengan Swedia yang bisa sampai 420 hari.

Pendeknya, cuti kehamilan otomatis mengurangi quality time  seorang ibu dengan anak. Hal yang juga penting adalah perempuan memiliki otonomi penuh untuk memutuskan akan melahirkan atau tidak. Kesadaran ini yang seyogianya ditanamkan kepada anak yang menjelang dewasa, sehingga mereka dapat berhubungan dengan lawan jenis dengan prinsip kesetaraan, bukan sebagai subordinat.

Keluarga yang baik akan memutuskan untuk tidak menyunatkan anak perempuannya. Melukai alat reproduksi perempuan merupakan hal yang sangat berbahaya. Hal ini terus berlanjut, walau sudah ada surat edaran Kementerian Kesehatan yang melarang praktisi medis melakukan sunat perempuan.

Berbeda dengan sunat pada lelaki, sunat perempuan sama sekali tidak ada keuntungannya secara medis, bahkan justru merugikan. Perempuan memilki otonomi penuh terhadap alat reproduksinya sendiri, dan ini harus ditanamkan sedini mungkin kepada anak. Pendapat bahwa suami berhak memukul istrinya, seringan apa pun, harus dikubur dalam-dalam. Hal ini menjadi contoh yang buruk bagi anak karena melestarikan budaya kekerasan. Budaya kekerasan merupakan ciri khas budaya patriarki.

Pornografi merupakan gagantifikasi dari budaya patriarki, di mana perempuan diobjektifikasi sebagai komoditas seksual untuk kepentingan instrumen kapitalisasi modal. Walaupun ada obyek pornografi pria, perempuan jauh lebih umum. Dengan maraknya teknologi informasi, pornografi dapat dengan sangat mudah diakses melalui gadget kita.

Maka, anak-anak harus diberi pengertian oleh orangtua bahwa pornografi adalah hal yang tidak baik. Kita sebaiknya bisa mengalihkannya ke hal lain yang lebih positif. Diskusi dengan jujur. Ketika anak menemukan konten yang tidak membuatnya nyaman di dunia maya dan kemudian melaporkannya ke orangtua (seperti pornografi) merupakan hal penting untuk melindungi anak itu sendiri.

Perempuan seyogianya diizinkan bekerja dan sekolah setinggi mungkin oleh suaminya. Justru perempuan berkarir dan sangat terdidik juga memiliki kesempatan untuk mendidik anak dengan baik. Adalah hal yang sangat baik jika anak mendapat pendidikan langsung dari perempuan karir, yang berwawasan luas, berjaringan luas, dan berpendidikan tinggi.

Yang terpenting dari semua itu, budaya berdemokrasi harus ditumbuhkan sejak dini kepada anak. Orangtua dan anak harus terbiasa saling mengkritik dan berdebat. Di poin ini, anak akan belajar menghargai lawan bicara, terlepas apa pun jenis kelaminnya. Dengan demikian, episteme bias gender akan terhindarkan dari anak sejak awal pertumbuhan mereka. Menjadi orangtua yang otoriter, di mana dalam konsepsi Timur sang ayah adalah kepala keluarga, akan semakin memperparah penetrasi budaya patriarki.

Anak seyogianya diajari untuk terbiasa berbeda pendapat dengan orangtua, tanpa melewati batas kesantunan dan kepatutan dalam budaya Timur kita. Peran ayah sebagai kepala keluarga tidak akan berkurang kewibawaannya, jika sang ayah menjadi seorang demokrat dalam keluarga.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.