Minggu, Oktober 6, 2024

Teror Kampung Melayu, Lalu Teror Kita

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Personel kepolisian membawa jenazah anggota Satuan Shabara Polda Metro Jaya Briptu (anumerta) Imam Gilang Adinata ketika upacara pelepasan di Menteng Dalam, Jakarta, Kamis (25/5). Briptu (anumerta) Imam Gilang Adinata yang menjadi salah satu dari tiga petugas kepolisian korban ledakan bom di Terminal Kampung Melayu pada (24/5) akan dimakamkan di Klaten, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

Beberapa saat (dalam arti yang harfiah: kurang dari setengah jam) setelah teror terjadi di Kampung Melayu, “teror” terjadi secara virtual, membanjiri media sosial dan grup-grup Whatsapp, baik saya (yang kemudian memicu keprihatinan saya dan mendorong saya sontak menulis status di media sosial dan dilanjutkan dengan kolom ini) maupun mungkin Anda juga. Inilah, lagi-lagi, ironi era digital dengan media sosial di garis terdepannya.

Pertama, dulu (ketika kita belum memasuki era digital) atau saat ini di ruang nyata (untuk membedakannya dengan dunia maya), ketika ada kecelakaan dengan korban meninggal dan apalagi dalam kondisi parah, warga akan langsung menutup jenazah dengan daun, kertas koran, atau apapun saja sebagai penutup. Bagi saya, itu adalah naluri-etik: sesuatu yang memang selayaknya secara etik dan mungkin bersifat naluri manusia pada umumnya. Kita tak ingin duka menjadi tontonan.

Sudah cukup duka itu, tak mau kita untuk duka itu diperparah lagi. Sesuatu yang kemudian diterjemahkan menjadi etika dalam jurnalistik dengan memburamkan foto atau video korban dalam pemberitaan dan menyebut namanya dengan inisial. Namun, saat ini dan di dunia maya, beberapa saat setelah teror di Kampung Melayu, foto hingga video anggota tubuh korban bertebaran di media sosial, di-share ke sana ke mari.

Sebagian kita seolah-olah berlomba-lomba menjadi yang pertama membagikannya di media sosial. Tanpa pernah sejenak saja membayangkan, misalnya bagaimana jika korban itu adalah keluarga kita? Atau membayangkan bagaimana perasaan keluarganya ketika melihat foto atau video itu?

Begitu pula ketika saya masih kecil, orangtua dan masyarakat melarang saya dan anak-anak kecil lainnya ikut memakamkan jenazah ke kuburan. Tentu, lantaran itu bukan konsumsi seorang anak kecil. Akan ada efek buruk bagi psikis anak.

Maka, saya ingin bertanya, ketika sebagian kita men-share foto atau video korban ledakan Kampung Melayu atau peristiwa teror atau kecelakaan lainnya, pernahkah kita pikirkan bagaimana jika itu dilihat anak kecil yang menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama UNICEF pada 2014 saja di Indonesia jumlahnya 30 juta anak-anak Indonesia yang menjadi pengguna internet?

Kedua, begitu teror di Kampung Melayu mulai terdengar cepat di media sosial, sebagian kita langsung secara enteng, prematur, spekulatif, dan juga primitif (tanpa keilmuan maupun data) menduga, menganalisa, dan mengaitkannya dengan ini dan itu. Kita memproduksi konten-konten tanpa dasar dan tak bertanggung jawab.

Karenanya, bisa jadi dan besar kemungkinan memicu ketersinggungan, kemarahan, dan seterusnya. Termasuk, ini sering dan salah satu yang mengerikan, dugaan hingga tuduhan bahwa aksi teror adalah pengalihan isu belaka. Dugaan atau tuduhan yang sering mengiringi tragedi teror namun tak pernah bisa dibuktikan kecuali dengan logika konspiratif yang subjektif, ngawur, dan cocoklogi.

Dalam Al-Qur’an, perkara ini telah gamblang dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat: 6, yakni bahwa diwajibkan atas Muslim untuk memeriksa kebenaran setiap berita dengan teliti (bayangkan jika kita yang justru memproduksinya, maka mengacu pada bagian awal ayat ini, kita digolongkan sebagai seorang fasik), agar kita tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kita menyesal atas perbuatan itu.

Dalam artian, dugaan, hoax, hingga analisa yang salah atau tak berdasarlah yang justru menjadi teror (atau “musibah” dalam bahasa Al-Qur’an) yang sejati. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa berhati-hati dan memverifikasi sebuah berita adalah perintah Allah dan bersikap terburu-buru dan penuh praduga atasnya adalah dorongan setan.

Ketiga, ini adalah pertanyaan yang terus diulang-ulang (karena kita betul-betul bingung) ketika terjadi teror namun sasarannya tak jelas (bukan tempat-tempat penting atau strategis, misalnya) dan bomnya kecil (seperti bom panci beberapa waktu lalu, misalnya): apa motif dan tujuannya? (Tentu tanpa bermaksud menganggap kecil teror, sebab segala bentuk teror, sekecil apapun, adalah kebiadaban besar).

Maka, salah satu jawaban paling dekatnya adalah karena salah satu tujuan aksi teror adalah menebar ketakutan, menunjukkan eksistensi (bahwa mereka masih ada dan mengancam), dan menargetkan suasana kacau atau minimal tidak kondusif.

Maka, mengacu pada analisa itu, penyebaran foto dan video di media sosial secara tak etis dan berlebihan, disadari atau tidak, adalah “dukungan” bagi tercapainya misi teroris tersebut. Oleh karena itu, misalnya, tepat dan cerdas ketika teror di Sarinah dan tragedi di Kampung Melayu juga dijawab oleh netizen dengan hashtag #KamiTidakTakut.

Akhirnya, marilah kita jadikan tiga poin di atas sebagai Standard Operating Procedure (SOP) atau norma di media sosial ketika terjadi teror, meskipun kita berdoa, berharap, dan berupaya bersama agar teror di Kampung Melayu menjadi teror yang terakhir. Agar kita tidak terus merespon teror dengan “teror” susulan dan baru yang bisa jadi lebih mengerikan dampaknya. Biasakanlah menahan, bukan mengumbar. Kecepatan tanpa ketepatan adalah malapetaka.

Baca juga:

Dian yang Harus Dipadamkan

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.