Sembilan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia 2016-2019 baru saja terpilih. Mereka akan menggantikan komisioner lama yang habis masa kerjanya per 27 Juli 2016 ini. Sebagian kalangan masyarakat sipil menyangsikan nama-nama tersebut yang dianggap tidak memiliki rekam jejak memadai di bidang media dan penyiaran. Jika ingin membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak benar, 9 komisioner bisa menunjukkannya dengan kinerja yang baik dan berkomitmen pada kepentingan publik.
Yang lebih penting, jangan sampai mengulang apa yang dilakukan KPI periode 2013-2019, yang terbukti gagal menjadikan wajah penyiaran kita, baik di televisi maupun radio, lebih baik.
Mengacu pada Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, KPI merupakan lembaga yang menjadi wujud peran serta masyarakat serta mewakili kepentingan masyarakat berkaitan dengan hal-hal di bidang penyiaran. Ketika bicara hal-hal di bidang penyiaran, tentu ia tidak hanya bicara tentang isi siaran televisi tetapi juga berbagai hal-hal struktural penyiaran seperti aspek kepemilikan media, perizinan media penyiaran, juga implementasi sistem stasiun jaringan (SSJ).
Isi siaran memang penting, misalnya berkaitan dengan representasi terhadap berbagai kelompok dalam tayangan televisi, tetapi itu hanya menjadi salah satu bagian dalam problem penyiaran yang merentang luas.
Sayangnya, setelah mendapatkan berbagai resistensi banyak pihak yang terusik dengan keberadaan KPI dan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, kewenangan lembaga ini dipangkas dan fungsinya pelan-pelan hanya direduksi sebagai lembaga yang mengurusi isi siaran. Ini pun ia tidak dibekali dengan perangkat aturan yang memungkinkan KPI memberikan sanksi tegas, misalnya seperti pencabutan izin siaran, kepada media penyiaran yang bermasalah dan dapat menimbulkan efek jera.
Minimnya perangkat hukum yang dimiliki KPI membuatnya semakin sulit bergerak. Ini salah satu hal yang menjelaskan mengapa banyak tayangan televisi di Indonesia yang bermasalah namun tetap bisa tayang terus sampai saat ini.
Bahkan ketika beberapa waktu lalu KPI melakukan uji publik dengan meminta berbagai masukan dari publik secara langsung dalam proses perpanjangan izin siar televisi swasta, lembaga ini mendapatkan resistensi yang kuat dari DPR dan industri televisi. Padahal, sebagai perwakilan publik, apa yang dilakukan KPI saat itu sudah politically correct. Respons publik yang relatif tinggi juga menunjukkan apa yang dilakukan KPI diapresiasi dan diperhatikan.
Dalam proses perpanjangan izin siaran televisi swasta yang dilakukan 10 tahun sekali, yang kebetulan jatuh di akhir 2016, KPI bertugas memberikan rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian akan memutuskan apakah sebuah stasiun televisi layak diperpanjang izinnya atau tidak. Sebelum memberikan rekomendasi, KPI melakukan proses evaluasi dengar pendapat yang melihat rekam jejak stasiun televisi 10 tahun belakangan.
Problemnya, KPI hanya berhak memberikan rekomendasi. Keputusan akhir tetap ada di Kementerian Komunikasi. Ini menjadikan KPI semakin tidak berdaya berhadapan dengan industri televisi. Belum lagi jika proses evaluasi yang dilakukan terhadap stasiun televisi tidak dipersiapkan dengan sistematis dan justru serampangan seperti yang bisa kita lihat tahun ini.
Wewenang yang sudah sedemikian terbatas tersebut kemungkinan besar juga akan semakin terbatas jika menyimak draf rancangan revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR. Dalam draft terakhir yang beredar di kalangan masyarakat sipil, peran KPI malah ditegaskan sebagai lembaga pengawas isi siaran. Ini sama saja dengan mengisolasi peran KPI di wilayah isi siaran dan membuatnya tidak dapat mengurusi problem-problem penyiaran yang lain.
Peran Komisioner
Secara kelembagaan, hal di atas menjadi tantangan utama yang akan dihadapi para calon komisioner KPI 2016-2019. Sebagai lembaga, keberadaan KPI berada di wilayah ada dan tiada. Setelah itu, sosok komisioner yang akan menentukan apakah kondisi keterbatasan tersebut tetap mampu membuat KPI bekerja progresif, atau justru gagap berbuat apa-apa dan stagnan sama seperti saat ini. Sembilan komisioner terpilih KPI harus belajar dari kinerja para komisioner KPI saat ini.
Survei yang dilakukan Remotivi pada akhir tahun 2015 lalu menunjukkan bahwa 94% masyarakat tidak puas terhadap kinerja KPI. Indikator ketidapuasan ini bermacam-macam, di antaranya adalah integritas komisioner yang dipertanyakan, lemahnya penegakan aturan dan pemberian sanksi, minimnya sosialisasi literasi media ke publik, dan terutama masih banyaknya tayangan televisi yang bermasalah.
Tingginya aduan dari publik terkait tayangan televisi pun tidak mendapatkan respons memuaskan. Berdasarkan data dari Konde Institute, KPI pada 2013 menerima 10.725 aduan dengan jumlah yang ditindaklanjuti menjadi sanksi bagi media penyiaran 108 sanksi (1% dari aduan masuk).
Di tahun 2014, jumlah aduan meningkat 19.146 dengan sanksi sebanyak 184 (0,96%). Sementara di tahun 2015, ada 8.539 aduan yang masuk dengan ditindaklanjuti menjadi sanksi sejumlah 266 buah (3,1%).
Persentase yang demikian kecil tentu bisa menimbulkan antipati pada masyarakat yang berharap bahwa KPI sebagai regulator penyiaran bersikap lebih tegas terhadap berbagai program siaran di televisi maupun radio.
Tingginya ketidakpuasan publik terhadap kinerja KPI ini juga mesti disikapi dengan serius. Jika tidak, tingkat kepercayaan yang rendah akan membuat lembaga ini semakin tidak memiliki wibawa di mata industri penyiaran. Apalagi sempat ada preseden pada tahun 2014 di mana publik yang memprotes tayangan yang dianggap melecehkan warga Betawi lebih memilih langsung demo ke televisi yang bersangkutan, alih-alih mengadu melalui KPI.
Problem tentang integritas dan kinerja komisioner KPI ini baru hal dasar. Belum lagi saat ini kita dihadapkan pada beberapa isu spesifik seperti digitalisasi penyiaran yang segera datang. Dengan kata lain, sebagai regulator penyiaran, KPI membutuhkan komisioner yang tidak hanya paham isi siaran televisi, tetapi juga perkembangan dunia penyiaran yang terus bergerak maju seiring perkembangan teknologi komunikasi.
Akhirnya, jika 9 komisioner terpilih tidak menunjukkan kinerjanya sebagai representasi kepentingan publik, KPI pelan-pelan akan semakin kehilangan relevansi keberadaannya. Semoga tidak.