Pandainya kau berdusta
dan bergaya
dalam kata-kata
yang tak pernah ada
Teganya kau bersandiwara
bertopeng sepuluh warna dan mendongeng seribu cerita
bualan sempurna
Kenapa kau berbohong?
Itulah dirimu yang kosong
terjatuh di kegelapan lorong.
(SBY, Cikeas, 4/2/2004)
Demikian bunyi puisi berjudul “Dusta”, sebagaimana tertera dalam buku antologi puisi Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Buku itu diterbitkan di penghujung masa baktinya sebagai presiden, diluncurkan di Istana Cipanas, 8 Agustus 2014 lalu, dan dihadiri oleh sejumlah penyair terkemuka. Penyair Taufik Ismail tampil dengan mata berkaca-kaca saat membacakan puisi karya presiden RI ke-6 itu. Catatan kaki puisi “Dusta” berbunyi; ditulis SBY di Cikeas, 4 Februari 2004.
Hanya SBY dan Tuhan yang tahu siapa sesungguhnya yang “pandai berdusta” itu. Tapi, karena puisi itu ditulis sebelum ia terpilih sebagai presiden pada periode pertama (Oktober 2004), boleh jadi subyek yang “tega bersandiwara” itu adalah lawan-lawan politik, sekadar memotret lelaku hipokrit seorang politisi, atau semacam otokritik untuk dirinya sendiri.
Betapapun individu yang “bertopeng sepuluh warna” itu sukar dilacak, tapi nuansa politis yang kental, hipokrasi yang tak malu-malu, dan aroma politik pencitraan, tak bisa dilepaskan dari latar belakang penciptaan puisi itu.
Keprihatinan mendalam yang terang terbaca pada bait-bait puisi itu hampir senada dengan cuitan mantan presiden itu di linimasa akun media sosialnya pada 19 Januari 2017 lalu. Supaya terang pula terbaca, saya kutip kalimatnya sebagai berikut; Ya Allah, Tuhan YME, Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar ‘hoax’ berkuasa & merajarela. Kapan rakyat & yang lemah menang? Tak pelak lagi, pernyataan ringkas itu telah di-retweet oleh tak kurang dari 15.000 pengikut, dan telah menyulut banyak perbincangan.
Sejumlah kalangan menanggapinya secara proporsional dengan menempatkannya sebagai sikap yang wajar dari seorang negarawan yang pernah memimpin Republik ini. Tapi tak terhitung pula banyaknya netizen yang merespons cuitan keprihatinan itu dengan tudingan sinis dan pejoratif, dipandang sebagai keluhan yang berlebihan, lalu menjadi dalil untuk merendahkan tokoh penting, sekaliber mantan presiden.
Inilah celakanya ruang tak berbatas bernama media sosial. Sebelum internet merajalela sebagaimana kini, ekspresi ketidakpuasan, kekecewaan, atau mungkin kalimat cercaan terhadap penguasa, hanyalah bagian kecil dari topik obrolan di warung-warung kopi, dengan eskalasi yang tidak terlalu mencemaskan. Tapi di era Twitter dan Faacebook ini manakala puluhan juta orang saling terhubung, dan saban hari mereka begitu leluasa berkeluh-kesah, maka semua batas telah diterabas. Bukan saja sekat ruang dan waktu, tetapi juga kesenjangan cakrawala pikir yang sesungguhnya sedemikian dalam.
Akibatnya, cara pandang seorang cerdik-cendekia terhadap sebuah persoalan, katakanlah selevel guru besar dengan cakrawala pikir kelas berat, dapat disangkal secara serampangan, atau bahkan menjadi bahan olok-olok seorang pedagang asongan di Pasar Ciledug, kemudian ditertawakan selama berhari-hari oleh jutaan orang di dunia maya.
Demikian pula dengan pendapat pribadi seorang mantan presiden, akan timbul-tenggelam dan jatuh-bangun, dalam kerumunan jutaan followers, mulai dari kalangan terpelajar, hingga tukang beruk di pedalaman Sumatra, yang baru sepekan terakhir lancar menggunakan perkakas telepon pintar.
Cakrawala pikir yang berbeda tapi dunia maya memperlakukannya sama dan setara adalah pangkal soal dari menjalarnya virus bernama hoax alias kabar bohong, yang makin hari makin tak terbendung itu.
Orang-orang terpelajar yang jumlahnya tak seberapa, belum sempat mengunyah—apalagi mencerna sebuah informasi yang muncul—sementara kerumunan orang banyak telah bulat-bulat menelannya, lalu menyebarluaskannya ke mana-mana, hingga membaca kabar dusta di dunia maya telah menjadi kebiasaan—sebagaimana kebiasaan berkumur-kumur selepas bangun pagi. Sejak pagi hingga pagi kembali dapat diakses hanya dengan menggerakkan tombol-tombol virtual di tangan masing-masing.
Gesekan, bentrokan, hingga macam-macam potensi kegentingan terus bermunculan, dan semuanya diklaim bermula dari ketersiaran berita-berita bohong.
Alih-alih mencari kejernihan dalam kekacauan informasi akibat menjalarnya virus kabar dusta, kontestasi politik—terutama di musim pilkada—justru mengambil faedah dari situasi keruh yang tiada terkira itu. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, masing-masing pihak yang sedang bertarung di gelanggang pilkada mendulang suara dalam lalu-lalang kabar bohong.
Saatnya hampir tiba/ Pilkada di sebuah kota/Yang Baru menantang Yang Lama/Entah siapa yang bakal berkuasa/Yang Baru harus punya peluru/Obral janji pun tak harus ragu/Fitnah dan fakta bisa jadi satu. Demikian SBY menggambarkan suasana pertarungan politik dalam puisi bertajuk “Pilkada” (2010).
Di dunia maya, terminologi peluru, obral janji, dan fitnah itu tidak lain adalah kabar dusta yang telah membuat ia prihatin, dan mungkin sedikit “mengeluh” itu.
Bagi saya, hoax hanyalah versi kontemporer dari apa yang dulu disebut fitnah. Di masa silam, mediumnya hanya majelis pergunjingan antartetangga atau forum-forum debat kusir di kedai-kedai kopi, eskalasinya tidak terlalu membahayakan. Sementara dalam arus deras informasi di era media sosial, hoax berkembang biak dan beranak-pinak dalam waktu sepersekian detik.
Namun, sepanjang kabar bohong masih berada di level kekacauan informasi, dan bola liar tersebut tidak melompati pagar ruang digital, hoax tidaklah akan mencemaskan. Persoalannya kemudian adalah, hoax mengalami apa yang disebut sebagai bias evaluasi (evaluation bias), setelah direspons oleh tokoh-tokoh panutan dengan jutaan pengikut di belakangnya lantaran media memang memilih mereka sebagai narasumber, atau tokoh itu sendiri yang berinisiatif menulis pernyataan di dinding akun pribadinya.
Tokoh-tokoh panutan yang dimaksud tentu bukan saja mantan presiden, tetapi juga segelintir tokoh lain yang belakangan aktif berbincang dan berwacana di media sosial. Tafsir yang spontan, opini yang terburu-buru terhadap sebuah materi hoax, kerap berakibat pada tersulutnya emosi banyak orang.
Media daring, media sosial, dan bahkan hoax itu sendiri, tak bisa dikambing-hitamkan begitu saja, apalagi kemudian dikekang dengan sensor dan pemblokiran. Kenapa bukan eskalatornya yang menjadi perhatian, agar tak sembarang berpendapat tentang sebuah materi hoax?
Hoax tak perlu dibendung dan memang mustahil dibendung. Membatasi kebebasan berekspresi di era digital sama dengan berjalan mundur ke zaman batu. Tapi, evaluasi yang bias dari segelintir public figure, maklumat, dan imbauan dari tokoh-tokoh terkemuka selepas merespons sebuah materi hoax mungkin masih dapat ditahan atau setidaknya ditunda sebelum kebenarannya benar-benar tersingkap.
Maka, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Presiden RI ke-6 itu, perihal kabar dusta ini, perkenankanlah saya menyampaikan sebuah pesan singkat; saya lebih suka menunggu buku puisi Bapak selanjutnya, ketimbang membaca cuitan singkat Bapak di dunia maya…