Pertemuan antara Prabowo dan Surya Paloh kemarin menyampaikan pesan bahwa mereka akan mendorong dilakukannya amandemen UU 1945 secara menyeluruh. Begitulah, kian lebar terbuka kotak pandora politik kita.
Sebelum pertemuan itu, rekonsiliasi antara PDIP dan Gerindra yang semula saling berhadapan dalam Pilpres, sepertinya akan mengarah pada dominasi di parlemen. Keduanya adalah pemenang pertama dan kedua dalam perolehan suara pemilu legislatif.
Sejak jauh-jauh hari PDIP telah menggulirkan usulan untuk menghidupkan kembali GBHN dan mengembalikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan GBHN. Usulan itu diamini ketua umum Golkar, Bambang Soesatyo, yang kini telah terpilih sebagai ketua MPR.
Amandemen terbatas soal GBHN menurut hemat penulis adalah sebuah kudeta merangkak terhadap capaian demokrasi sejak reformasi. Memulihkan kembali kedudukan MPR untuk menetapkan GBHN akan membawa pada konsekuensi bahwa presiden menjadi mandataris MPR.
Hal ini akan menimbulkan kontradiksi karena presiden kini telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Elite politik lama yang telah merosot popularitasnya ingin merebut kembali kendali atas pemilu. Ujungnya adalah mengembalikan kewenangan memilih presiden kepada MPR.
Empat partai politik utama (PDIP, Gerindra, Golkar, dan Nasdem) paling gencar menyuarakan perlunya amandemen. Sebelumnya Nasdem juga menyinggung lagi wacana perubahan masa jabatan presiden, mengaitkan dengan kesinambungan pembangunan sebagaimana diasumsikan dengan adanya GBHN.
Untuk mengamankan proses amandemen, seluruh partai politik mendapat jatah kursi sebagai wakil ketua MPR. Sebelumnya pimpinan MPR hanya terdiri dari lima kursi, mewakili unsur DPR dan DPD. Melalui revisi UU MD3, kursi pimpinan ditambah menjadi sepuluh untuk mengakomodasi semua partai.
Ketika awal bergulir usulan amandemen, Jokowi telah menegaskan untuk menolak adanya amandemen. Jokowi yang merupakan produk pemilihan langsung dan desentralisasi mewanti-wanti agar demokrasi tidak dikuasai oleh elite politik, tetapi benar-benar berada di tangan kedaulatan rakyat.
Saya meyakini bahwa langkah terang amandemen membenarkan tuduhan gerakan mahasiswa bahwa reformasi telah dikorupsi. Dalam serangkaian aksi demonstrasi pada akhir September lalu, mahasiswa menyerukan perlawanan terhadap oligarki yang menjadi sumber masalah lahirnya RUU bermasalah.
Partai-partai politik yang duduk di Senayan tidak saja bertanggung jawab terhadap kericuhan selama demontrasi mahasiswa. Kini parpol-parpol akan mendorong lebih jauh untuk membunuh demokrasi yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998 dan kembali dibela oleh generasi baru gerakan mahasiswa.
Desakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil seputar Perpu KPK membayangi pula agenda pelantikan presiden pada 20 Oktober mendatang. Penulis telah menyuarakan agar tuntutan dimajukan menjadi penolakan terhadap amandemen yang hanya akan menguntungkan kekuatan oligarki parpol.
Menyelamatkan demokrasi dari tangan elite oligarki adalah agenda mendesak saat ini. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini berada dalam ancaman bahaya. Sudah saatnya kekuatan lama mundur untuk memberikan jalan bagi angkatan baru, anak-anak muda menatap cerahnya Indonesia!
Kolom terkait
Indonesia dan Rezim Hukum Represif