Rabu, Oktober 15, 2025

Malnutrisi Anak: Bukan Hanya Kurus, Tapi Juga Obesitas

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Saya ingin menyoal sebuah isu yang sangat krusial, yang sering kali disalahpahami: malnutrisi pada anak. Ketika kita mendengar kata “malnutrisi,” pikiran kita secara otomatis tertuju pada gambaran anak-anak yang kurus, kekurangan gizi, dan berjuang untuk tumbuh kembang. Persepsi ini sudah lama melekat, bahkan di kalangan para ahli kesehatan. Namun, pandangan tersebut kini sudah usang.

Hari ini, definisi malnutrisi telah meluas. Masalah ini tidak lagi hanya tentang kekurangan berat badan, tetapi juga mencakup kondisi kelebihan berat badan dan obesitas. Pergeseran ini begitu signifikan hingga malnutrisi modern telah menjelma menjadi krisis global yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang didasarkan pada studi global besar selama dua dekade (dari tahun 2000 hingga 2022), mengungkap fakta yang mengejutkan.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, terjadi sebuah fenomena yang belum pernah ada sebelumnya: jumlah anak obesitas di seluruh dunia kini melampaui jumlah anak yang kekurangan berat badan. Fenomena ini bukan lagi pengecualian, melainkan norma di sebagian besar wilayah, kecuali dua: Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan. Di luar kedua wilayah tersebut, baik di negara-negara maju maupun berkembang, di kota-kota besar maupun pedesaan, tren ini menunjukkan dominasi yang tak terbantahkan. Anak-anak yang kelebihan berat badan kini lebih banyak daripada mereka yang kekurangan berat badan. Ini adalah perubahan dramatis yang menuntut perhatian serius dari kita semua.

Mari kita selami lebih dalam dengan membedah data yang ada. Pada tahun 2000, dunia menghadapi tantangan yang jelas: hampir 13% anak mengalami kekurangan berat badan. Sementara itu, obesitas masih dianggap sebagai masalah minor, hanya memengaruhi 3% anak. Selama dua dekade berikutnya, upaya global untuk memerangi malnutrisi berhasil menurunkan angka kekurangan berat badan secara signifikan, menjadikannya 9,2%. Ini adalah sebuah pencapaian yang patut diacungi jempol. Namun, di balik keberhasilan ini, ada lonjakan yang jauh lebih mengkhawatirkan.

Angka anak-anak yang mengalami obesitas melonjak hingga lebih dari 9%. Lonjakan ini begitu tajam sehingga hari ini, 188 juta remaja dan anak-anak di seluruh dunia hidup dengan obesitas. Bayangkan, satu dari sepuluh anak yang Anda temui menderita obesitas. Dan itu belum termasuk anak-anak yang hanya kelebihan berat badan, yang merupakan kategori terpisah dan jauh lebih besar. Dengan lebih dari 390 juta anak kelebihan berat badan secara global, jumlahnya telah berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun.

Peningkatan masif ini bukan sekadar masalah estetika. Obesitas pada masa kanak-kanak merupakan pintu gerbang menuju berbagai masalah kesehatan serius di kemudian hari, termasuk penyakit jantung, diabetes, dan bahkan beberapa jenis kanker.

Lalu, apa yang memicu krisis ini? Jawabannya ada di sekitar kita: makanan cepat saji dan, secara lebih spesifik, makanan ultra-olahan (UPF). Ini bukan hanya tentang burger dan kentang goreng. UPF adalah makanan yang telah melalui proses industri berat dan diperkaya dengan berbagai zat tambahan, seperti pewarna buatan, gula tersembunyi, dan lemak tidak sehat.

Mulai dari soda dan minuman energi, keripik, dan permen hingga makanan yang sering dianggap “aman” seperti formula bayi, roti kemasan, dan sereal sarapan, semuanya termasuk dalam kategori ini. Makanan-makanan ini dirancang untuk sangat menarik bagi lidah namun sangat minim nilai gizi, menjadi biang keladi di balik epidemi obesitas yang merajalela saat ini.

Dan di sinilah kita menemukan akar masalahnya. Makanan ultra-olahan (UPF) mendominasi pasar karena formula yang sangat efektif: murah, lezat, dan sulit dihindari. Makanan ini tidak hanya mudah ditemukan di setiap sudut toko kelontong, tetapi juga telah merambah ke tempat-tempat yang seharusnya menjadi benteng nutrisi, seperti kantin sekolah. Ironisnya, di balik kenyamanan dan rasa yang adiktif itu, tersembunyi dampak kesehatan yang sangat merusak.

Bukti ilmiah sangat jelas: konsumsi UPF secara langsung terkait dengan lebih dari 32 masalah kesehatan, mulai dari penyakit kronis seperti diabetes dan kanker hingga masalah mental seperti kecemasan, tentu saja obesitas, bahkan hingga kematian dini. Pola makan yang didominasi oleh UPF adalah resep pasti untuk kesehatan yang buruk. Meskipun demikian, anak-anak terus mengonsumsi lebih banyak makanan ini, yang secara langsung memicu krisis obesitas yang kita saksikan.

- Advertisement -

Dengan adanya fakta ini, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang harus disalahkan? Apakah kita akan menuding anak-anak yang “tidak punya kendali diri”? Apakah kita akan menyalahkan orang tua yang “membuat pilihan nutrisi yang buruk”? Atau, apakah kesalahan ada pada pembuat kebijakan yang gagal menerapkan regulasi?

Menurut laporan PBB, biang keladi utama adalah praktik bisnis yang tidak etis. Raksasa korporasi yang terus-menerus membanjiri pasar dengan makanan tidak sehat adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Namun, naif rasanya jika kita berharap perusahaan-perusahaan ini akan menghentikan perilaku tersebut. Meminta mereka untuk mengutamakan kesehatan di atas keuntungan sama saja dengan meminta perusahaan rokok atau teknologi besar untuk mengorbankan bisnis mereka demi kebaikan publik. Itu tidak akan terjadi.

Menyadari bahwa korporasi tidak akan mengubah diri, maka satu-satunya harapan kita ada pada pemerintah. Inilah saatnya para pembuat kebijakan turun tangan, bukan lagi hanya memusatkan perhatian pada masalah kekurangan gizi, tetapi juga mengakui dan mengatasi epidemi obesitas yang sama berbahayanya. Kita tidak hanya membutuhkan pemikiran baru, tetapi juga tindakan nyata.

Untuk melindungi generasi masa depan, kita butuh serangkaian perlindungan yang kuat dan terstruktur. Ini termasuk label nutrisi yang lebih jelas agar konsumen tahu persis apa yang mereka makan; pembatasan pemasaran yang agresif, terutama yang menargetkan anak-anak; pajak yang lebih tinggi untuk produk tidak sehat. Ini membuat harga makanan tidak sehat sebanding dengan dampak buruknya; subsidi untuk makanan sehat. Ini Membuat pilihan makanan sehat menjadi lebih terjangkau; dan larangan total terhadap makanan cepat saji di sekolah. Ini menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang mempromosikan kebiasaan makan yang baik.

Sungguh ironis, kita hidup di dunia di mana sebungkus keripik jauh lebih murah daripada sandwich sehat. Sebuah botol soda bisa ditemukan di mana saja, sementara buah segar atau jus buah segar menjadi barang langka. Di saat miliaran dolar dihabiskan untuk kampanye pemasaran cokelat olahan yang memanjakan mata, buah apel yang sederhana hanya mendapatkan pepatah lama sebagai promosi.

Selama ketidakseimbangan yang tragis ini terus berlanjut, perubahan sejati tidak akan terjadi. Kita perlu mengubah sistem yang ada, bukan hanya menyalahkan individu.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.