Kamis, April 25, 2024

Maaf, (Ibu) Risma

Nanang Pujalaksana
Nanang Pujalaksana
Senior Researcher The Indonesian Institute, bergiat di Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT), dan pemilik www.coffeetallis.com.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini mengangkat penghargaan Internasional dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Balai kota Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengangkat penghargaan internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

“Maaf, dilarang parkir di depan rumah ini,” kata plang pengumuman. Sementara, Elton John bilang mengatakan, “Sorry seems to be the hardest word.”

Perkara minta maaf memang seringkali tak sederhana. Selama empat bulan terakhir, perhatian kita sempat tersita oleh wacana terkait ini. (Juli) lalu, maaf mendapat puncak legitimasi sosio-kulturalnya pada ritual tahunan hari raya Lebaran. Saat itu, ratusan juta umat Muslim Indonesia secara sadar memobilisasi diri karena sebuah keyakinan kuat bahwa hari itu adalah momentum permaafan nan paripurna.

Namun, ihwal yang tak sederhana pada momen itu adalah “perjalanan”-nya. Puasa dalam konteks spiritual serta fisikal di sisi lainnya. Selain kerepotan saat persiapan, sebagian dari mereka harus menahan sabar di kemacetan perjalanan arus mudik maupun sebaliknya. Bahkan, bagi pemerintah, mengelola mobilitas ratusan jutaan badan pada saat hampir bersamaan memang bukan perkara mudah.

Tiap tahun urusan ini selalu jadi ujian kebijakan secara keseluruhan. Meski konyolnya, kalau boleh disebut begitu, evaluasi pemerintah hanya mengukur sukses tata kelolanya dengan dua indikator: kemacetan dan jumlah korban kecelakaan. Alhasil, Ignasius Jonan dicopot gegara salah satunya, yakni kemacetan parah di pintul tol “Brexit” alias Brebes exit.

Di jagat politik, urusan maaf bahkan lebih pelik. Dalam hubungan internasional, permintaan maaf punya banyak makna dan sering dikaitkan dengan soal kedaulatan negara. Misalnya, hingga kini belum sepatah kata pun Pemerintah Jepang minta maaf kepada Cina dan Korea atas segala kejahatannya selama Perang Dunia II. Padahal kedua negara bertetangga itu telah menuntut Jepang dengan segala cara.

Demikian halnya pada beberapa kasus yang menandai fluktuasi hubungan Indonesia dengan jiran Malaysia maupun Australia, ujungnya seringkali pada soal permintaan maaf juga. Dalam tata krama diplomatik, kata itu memang tak mudah terucap atau tertulis seperti pada plang larangan parkir disebut di atas.

Yang kekinian, contoh lain kasus peliknya urusan maaf di Indonesia terlihat dalam isu penyelesaian peristiwa 1965. Peristiwa ini menyisakan soal dan sekaligus memicu desakan dari berbagai kalangan agar Pemerintah Indonesia mengakui adanya kesalahan dalam peristiwa itu, serta meminta maaf kepada (jutaan) korban peristiwa dan keluarganya. Alasannya, tentu saja hak asasi manusia (HAM). Hal lainnya terkait dengan upaya agar bangsa ini beranjak dari kungkungan dan sandera masa lalu, demi masa depan.

Dari dalam negeri, imperatif tadi menguat terutama karena salah satu rekomendasi “Simposium Nasional tentang Tragedi 1965” pada April 2016 lalu mengisyaratkan kemungkinan ke arah itu, baik lewat opsi yudisial maupun non-yudisial. Selanjutnya, tekanan politis kepada Pemerintah Indonesia kian menguat dan bergema dari dataran Eropa.

Putusan Sidang Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) yang dihelat di Den Haag, Belanda, secara tegas menyatakan bahwa dalam peristiwa 1965 telah terjadi kejahatan HAM berat dalam sepuluh kategori, mulai dari penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa pengadilan, dan lain sebagainya.

Hingga kini, kita masih menunggu opsi kebijakan yang paling mungkin akan diambil pemerintah. Sensitivitas kasus ini nampak membuat pemerintah dilematis sehingga terlihat hati-hati mengambil sikap. Malah, kendati penyelesaian kasus HAM masa lalu merupakan salah satu janji kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilihan Presiden 2014 lalu, pemerintah sangat mungkin tetap menggantung peristiwa 1965 dalam bingkai semula: tak dimaafkan, tak dilupakan (not forgive and not forget).

Nampaknya, kendati tak semua korban peristiwa itu adalah anggota PKI atau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman pada Komunisme, mayoritas masyarakat Indonesia tetap melihat Komunis dalam segala wujudnya seperti barang “najis” dan karenanya dinilai tak sepadan dengan “kesucian” sebuah permaafan.

Padahal, jika boleh sedikit menyimpang, lewat kasus ini kita mungkin dapat menggenapkan takwil permaafan sebagaimana dikatakan filsuf sohor asal Prancis, Jacques Derrida: bahwa pada prinsipnya tidak ada batas bagi permaafan, tidak ada ukuran, tidak ada setengah hati, dan tanpa “apa perlunya”.

Menurut Derrida, apalah arti dari sebuah permaafan bila ia hanya memaafkan apa yang dapat dimaafkan (forgive the forgivable)? Bila hanya sebatas itu, maka gagasan tentang permaafan pun hilang dengan sendirinya. Permaafan, menurutnya, hanya mendapat keutamaan maknanya pada apa yang (kelihatannya) tak mungkin termaafkan (forgiving the unforgivable).

Kita dapat melihat keutamaan itu pada Nelson Mandela di pengujung millenium lalu. Mandela tak secuil pun mendaku dendam dan terdorong untuk melampiaskannya kepada rezim Apartheid yang telah membuatnya seperti spesies “sub-human” di penjara Robben Island yang dihuninya selama 27 tahun antara 1963-1990. Alih-alih ia justru mengajak rakyat Afrika Selatan untuk memaafkan semua yang terjadi pada masa lalu.

Bahkan dikabarkan, Mandela mengundang sipir penjara berkulit putih yang suka menggantungnya dan kemudian mengencinginya sambil tertawa-tawa, sebagai tamu kehormatan di acara pelantikan dirinya sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994 silam.

Tentu kasus Mandela tak serupa dan tak dapat dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia. Namun, darinya kita tetap mempelajari satu hal: bahwa sebuah permaafan tak mungkin mengubah masa lalu, tapi ia pasti akan memperbaiki masa depan.

Kembali ke kancah politik nasional, teranyar kita mendengar permintaan maaf Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) yang jadi persoalan, atau tepatnya dipersoalkan. Penggalan kalimat “…ini hari-hari terakhir…” dalam rangkaian tuturan yang diaku Risma merujuk pada pengujung bulan Syawal, seketika dimaknai lain menjadi semacam pamitan kepada warga Surabaya menuju Jakarta.

“Plintiran” makna itu bukan tanpa sebab. Akhir-akhir ini Risma mendapat dorongan hebat untuk berlaga dalam Pilkada Jakarta 2017 mendatang. Pengakuan banyak pihak atas reputasi dan prestasinya dalam memimpin Kota Surabaya telah menempatkan Risma di tengah pusaran politik pencalonan baik di internal PDI Perjuangan, serta masyarakat Jakarta dan Surabaya pada umumnya.

Risma terus digadang-gadang. Ia dinilai sebagai figur paling potensial untuk bersaing dan mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada Jakarta nanti.

Peluang bagi Risma kini tergantung satu anggukan atau satu gelengan Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan. Artinya, Risma boleh jadi terpaksa akan menanggalkan jabatannya di Surabaya. Atau, ia mungkin saja tetap bertahan di sana seperti yang seringkali diungkapkannya di berbagai kesempatan.

Bagaimanapun, pada akhirnya kita harus menghargai apa pun pilihannya nannti, termasuk niatnya untuk tetap di Surabaya. Terlebih, belakangan dia menduga bahwa ada pihak tertentu yang sengaja menghela dorongan politik agar dirinya terlibat dalam kandidasi di Jakarta.

Jadi, selama PDI Perjuangan masih menimbang dan belum membuat rekomendasi resmi, berbagai kemungkinan tetap terbuka bagi Risma. Bila pada akhirnya ia dicalonkan, warga Surabaya jelas akan kehilangan. Sebaliknya hal itu menjadi berkah bagi warga Jakarta karena punya kesempatan untuk memilih figur terbaik di antara yang baik.

Tapi, andai Risma urung dicagubkan, Ibu Megawati Soekarnoputri atau siapa pun elite PDI Perjuangan yang diutusnya untuk menemui Risma, dipastikan akan berkata: “Maaf ibu Risma, setelah menimbang banyak hal, maka untuk Pilkada Jakarta 2017 PDI Perjuangan telah memutuskan untuk mencalonkan…(nama)… Mohon maklum. Kami akan melihat dan mempertimbangkan kemungkinan politik yang lebih baik bagi Ibu selanjutnya pada …”

Nanang Pujalaksana
Nanang Pujalaksana
Senior Researcher The Indonesian Institute, bergiat di Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT), dan pemilik www.coffeetallis.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.