Sabtu, Mei 4, 2024

Setelah Trump Meninggalkan Kesepakatan Paris

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

 

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2017 bertemakan Connecting People to Nature. Tema itu sangat tepat lantaran manusia modern semakin terasingkan dari alam. Dan itulah yang menyebabkan pengambilan keputusan atas banyak hal di dunia ini tidak memperhitungkan alam, dan pada akhirnya kita menyaksikan hasilnya yang sangat buruk.

Salah satu bukti paling nyata dari diskoneksi manusia dengan alam adalah keputusan Donald Trump untuk meninggalkan Kesepakatan Paris. Keputusan itu disampaikan hanya dua hari menjelang Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2017, sehingga terasa benar sebagai kado yang sangat menyakitkan. Walau banyak pihak sudah memerkirakan bahwa Trump memang akan mewujudkan janji kampanyenya itu.

Sebetulnya dunia tak bisa lagi heran atas apa pun yang dilakukan oleh Trump. Ada banyak ucapan dan tindakannya yang sedemikian ekstrem. Daftarnya sangat panjang dan “menakjubkan”. Mulai dari pernyataan bahwa perubahan iklim adalah hoax bikinan Tiongkok untuk merugikan daya saing ekonomi Amerika Serikat, pernyataan soal dia bisa mencium bibir dan memegang kelamin perempuan mana pun, hubungan erat tim kampanyenya dengan Rusia, tindakan unilateral membom Suriah, pemecatan direktur FBI lantaran permintaannya untuk menghentikan penyelidikan atas hubungan tim kampanyenya dengan Rusia ditolak, dan seterusnya.

Keluar dari Kesepakatan Paris hanyalah satu dari sederet tindakan gila Trump.

Banyak pihak kemudian menyatakan bahwa keluar dari Kesepakatan Paris adalah tindakan paling pandir yang dilakukan oleh Presiden AS sepanjang sejarah. Ketika AS sendiri merupakan negara yang banyak kotanya berada di pantai, perubahan iklim yang salah satu dampaknya adalah naiknya permukaan laut tentu akan membuat banyak kota di AS tenggelam.

AS yang juga banyak dihampiri oleh badai juga merasakan kerusakan yang semakin parah lantaran perubahan iklim. Tapi Trump bergeming pada pendiriannya. Seluruh informasi ilmiah yang diterimanya tak bisa mengubah keputusan sepihaknya. Tak mengherankan bila Jeffrey Sachs melabelnya sebagai idiot.

Dalih yang dinyatakan Trump adalah bahwa Kesepakatan Paris merugikan ekonomi AS. Dia menyatakan Tiongkok dan India yang juga merupakan negara-negara yang menghasilkan emisi tertinggi tidak melakukan tindakan yang seharusnya, sehingga menjadikan Kesepakatan itu tidak adil bagi AS.

Trump tampaknya tidak menyadari bahwa Kesepakatan Paris didasarkan pada keputusan setiap negara untuk berkontribusi, bukan lagi berdasarkan “penugasan”. Trump juga tak tahu atau tidak peduli pada prestasi kedua negara dalam mewujudkan mimpi energi bersih dan terbarukan.

Pihak yang didengarkan Trump hanyalah segelintir politisi—tepatnya 22 orang senator Partai Republik—yang keseluruhannya dibayar oleh industri fosil sebanyak lebih dari US$10 juta. Bagi mereka, membangkitkan industri migas dan batubara yang sedang terpuruk akan membawa keuntungan ekonomi. Tak peduli seberapa destruktifnya buat lingkungan, tak peduli dalam jangka seberapa pendek keuntungan itu bakal dinikmati, tak peduli juga soal berapa gelintir orang yang akan menikmatinya.

Padahal, industri energi terbarukan di AS itu sendiri tengah mengalami perkembangan pesat. Secara total, jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri masa depan ini telah jauh melampaui seluruh tenaga kerja di sektor energi fosil. Banyak pengamat energi yang menyatakan bahwa upaya membangkitkan kembali industri migas dan batubara tidak mudah—bahkan mendekati sia-sia—lantaran ekonomi sendiri sudah berpihak pada energi bersih.

Itulah yang menyebabkan 900 CEO mengirimkan surat kepada Trump beberapa bulan lalu, menyatakan bahwa mereka mendukung Kesepakatan Paris. Mereka tak ingin AS keluar dari Kesepakatan Paris, bukan lantaran argumentasi moral, melainkan dengan argumentasi ekonomi yang kokoh: mengelola perubahan iklim sekarang bukan saja lebih murah, melainkan juga membawa banyak peluang ekonomi.

Necessary Evil
Ketika akhirnya Trump memutuskan tetap keluar, media sosial dibanjiri oleh pernyataan para CEO sekelas Mark Zuckerberg (Facebook), Tim Cook (Apple), Lloyd Blankfein (Goldman Sachs), Jeff Immelt (GE), Dion Wiesler (HP), dan Sundar Pichai (Google). Mereka semuanya menyayangkan, bahkan mengutuk keputusan itu.

Elon Musk (Tesla) dan Bob Iger (Disney) yang tadinya menjadi bagian dari tim ekonomi Trump, segera mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka semua bergabung dengan para tokoh lainnya—sebagian besar adalah ilmuwan terkemuka—menyerukan pentingnya perusahaan menjadi jauh lebih serius menangani perubahan iklim, karena pemerintahan Trump tak bisa diandalkan sama sekali.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump berhenti sebentar saat mengumumkan keputusannya bahwa Amerika Serikat akan mundur dari Kesepakatan Iklim Paris, di Rose Garden Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat, Kamis (1/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque

Demikian juga para wali kota dan gubernur negara bagian. Mereka, dengan kekuasaannya masing-masing, menyatakan akan terus bekerja mendukung Kesepakatan Paris. Buat mereka, perubahan iklim sangat nyata telah mempengaruhi kehidupan rakyatnya; memukul kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan lebih cepat daripada yang sebelumnya diperkirakan. Mereka tak punya pilihan selain bekerjasama mengatasinya.

Persis sebagaimana yang diantisipasi Michael Bloomberg dan Carl Pope dalam buku Climate of Hope: How Cities, Business, and Citizens Can Save the Planet (2017), harapannya memang tidak lagi disematkan pada pemerintahan federal AS yang tidak kompeten itu. Lebih jauh dari sekadar efeknya pada pengelolaan perubahan iklim di AS, profesor dari ANU, Luke Kemp, menulis dalam artikelnya yang segera menjadi rujukan di mana-mana, Better Out Than In (2017), keluarnya AS dari Kesepakatan Paris adalah berkah. Mengapa? Karena itu diyakini akan membawa seluruh dunia menyadari pentingnya tindakan lebih cerdas dan gigih dalam menangani perubahan iklim.

Pengamatan Bloomberg dan Pope serta Kemp tampaknya benar. Selain kesadaran bahwa target emisi AS yang keberhasilannya lebih dikendalikan oleh perusahaan, pemerintahan kota dan negara bagian, dan masyarakat, Tiongkok dan Uni Eropa segera membentuk blok baru dalam menangani perubahan iklim.

Negara-negara yang paling rentan dari dampak perubahan iklim juga kemudian memikirkan strateginya lagi. Sangat besar kemungkinan COP 23 di Bonn di penghujung tahun ini akan menjadi ajang negosiasi untuk tindakan yang lebih serius. Trump tampaknya adalah necessary evil dalam penanganan perubahan iklim.

Ekonomi Regeneratif
Salah satu hal yang paling menarik untuk diamati dari riuh-rendahnya reaksi terhadap keputusan Trump adalah sangat menguatnya kesadaran tentang ekonomi yang seharusnya tunduk pada batas-batas lingkungan hidup global (planetary boundaries). Konsep planetary boundaries sendiri dikembangkan oleh Johan Rockstrom dkk di tahun 2009, lewat karya yang sangat terkenal, Planetary Boundaries: Exploring the Safe Operating Space for Humanity.

Karya tersebut memberikan kesadaran baru kepada dunia bahwa ada batas-batas yang sudah dan belum diketahui oleh umat manusia yang apabila dilampaui maka kita semua ada dalam bahaya.

Batas-batas itu adalah perubahan iklim, asidifikasi lautan, polusi kimiawi, siklus nitrogen dan fosfor, pengambilan air tawar, konversi lahan, kehilangan keanekaragaman hayati, polusi udara, dan deplesi ozon. Ketika Will Steffen, dkk, mengecek satu per satu kondisinya di tahun 2015, mereka berkesimpulan bahwa dunia telah melampaui batas-batas siklus nitrogen dan fosfor serta kehilangan keanerkaragaman hayati.

Bagaimana dengan perubahan iklim yang jadi perhatian utama dunia? Ia ada di dalam wilayah lampu kuning, bersama dengan konversi lahan.

Hal ini berarti bahwa tindakan lebih serius di tingkat global yang dibutuhkan itu bukan sekadar dalam penanganan perubahan iklim, melainkan juga yang terkait dengan batas-batas lingkungan hidup lainnya. Manusia perlu ada di dalam safe operating space tersebut, atau akan berada dalam bahaya besar kepunahan. Dan hal ini berarti manusia perlu mendefinisikan dengan jelas kondisi sosial seperti apa yang diinginkan, dan bagaimana peran ekonomi di dalamnya.

Para pemikir ekonomi mutakhir seperti Bill Reed, John Fullerton, dan Kate Raworth bersepakat bahwa ekonomi abad ke-21 adalah ekonomi regeneratif. Ekonomi regeneratif ini tentu tak sama dengan ekonomi konvensional yang hasilnya adalah kerusakan dunia sebagaimana yang disaksikan hingga sekarang. Tapi, juga tindakan-tindakan mengurangi dampak negatif lingkungan (menjadi “hijau”), bahkan hingga titik nol (yang biasa disebut “berkelanjutan”) belum memadai. Manusia juga tak bisa sekadar mengembalikan Bumi ke dalam kondisi daya dukung asalnya (atau “restoratif”) saja, karena jumlah manusia terus bertambah.

Satu-satunya yang masuk akal adalah membuat sistem ekonomi yang melampaui itu semua. Yaitu, sistem ekonomi yang bukan saja tunduk pada batas-batas lingkungan hidup, tapi terus memperbaiki lingkungan hidup sehingga kehidupan yang layak bisa diperoleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya, dalam pengertian regeneratif pasti terkandung makna redistributif.

Tentu ini akan menimbulkan perlawanan banyak pihak yang tak ingin previlesenya terancam. Bisikan dari para senator Partai Republik AS kepada Trump agar keluar dari Kesepakatan Paris adalah salah satu saja contoh saja. Di dalam negeri sendiri, perlawanan terhadap perpanjangan moratorium kehutanan adalah juga contoh yang nyata. Jelas perjuangan mewujudkan ekonomi regeneratif tak akan mudah. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa umat manusia tak punya alternatif bila ingin selamat. Transformasi yang tadinya tampak tak diperlukan atau mustahil dilakukan, kini menjadi tak terhindarkan.

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2017. Selamat merajut kembali hubungan dengan alam.

Baca juga: 

Menuju Neraka dan Banjir Besar? [Catatan Perubahan Iklim 2016]

Kopenhagen, Paris, Jakarta: Dari COP21 Menuju Tindakan Nyata di Level Nasional

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.