Sabtu, April 27, 2024

Sadarlah, Animal Rationale!

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)

Ketika mengunjungi kebun binatang, seorang anak bertanya pada ibunya, “Ma, apakah gajah ini tahu bahwa dia seekor gajah?” Tentu saja si ibu berkata, “Dia tidak tahu.” Sebab, memang hanya manusia yang mempunyai kesadaran, bisa berpikir, dan berefleksi tentang dirinya sendiri.

Kalau sang ibu mengikuti berita beberapa minggu terakhir, mungkin ia akan menjawab pertanyaan anaknya sembari dada berdebar. Para binatang—yang disebut-sebut tidak sesempurna manusia dalam berpikir—telah berkali-kali menjadi korban irasionalitas manusia—yang justru lebih mampu menggunakan akal.

Sebuah video garapan Dog Meat Free Indonesia menjadi viral belakangan ini. Komunitas itu membeberkan penyiksaan anjing untuk konsumsi di beberapa tempat di Sulawesi Utara. Di sana, anjing-anjing dipukul hingga sekarat, kemudian dibakar untuk menghilangkan bulu di tubuhnya.

Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey angkat bicara di sebuah media. Ia menyatakan bahwa cara pemotongan dan pengolahan binatang di pasar ekstrem Tomohon sama sekali tidak sadis dan sembarangan. Ia bahkan membandingkan terangkatnya isu itu dengan konsumsi otak monyet (Macaca fascicularis) hidup di Jakarta yang selama ini tidak diekspose.

Indonesia jadi ramai diperbincangkan di media internasional. Belum lagi kasus yang belum terungkap tentang penemuan jasad seekor orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang ditemukan mengambang tanpa kepala dengan belasan luka tembak di Sungai Barito, Senin, 15 Januari 2018.

Peristiwa menyedihkan ini mengingatkan kita kembali pada berbagai kasus dari tahun 2012 hingga 2016, ketika beberapa individu orang utan tewas di tangan manusia—baik secara sengaja maupun tidak. Bahkan pada Februari 2017, menurut laporan National Geographic Indonesia, satu individu orangutan dibunuh, dimasak, dan dikonsumsi di area perkebunan kelapa sawit di Desa Tumbang Puroh, Kecamatan Kapuas Hulu, Kapuas, Kalimantan Tengah.

Sulit untuk percaya bahwa manusialah yang ada di balik segala peristiwa itu. Ketika manusia berpikir tentang kehidupan hewan, sesungguhnya ia sedang berpikir tentang hidup dirinya juga. Seluruh makhluk hidup adalah bagian dari rantai hidup yang jika hilang satu, maka yang lainnya akan goyah.

Film animasi Bee Movie (rilis tahun 2007) secara sederhana menggambarkan keterkaitan itu. Dalam film itu, Barry the Bee mendapati manusia ternyata memperjualbelikan dan mengkonsumsi madu selama berabad-abad. Ia menuntut umat manusia atas tuduhan pencurian madu yang sudah capek-capek diolah lebah. Persidangan lebah vs manusia memenangkan Barry. Stok madu jadi menumpuk tak tergunakan. Lebah-lebah nganggur. Bunga-bunga di berbagai pelosok daerah tak terserbuki dan mati.

Bee Movie berakhir bahagia karena Barry dan teman-temannya berusaha mengejar stok bunga terakhir di bumi. Film itu mengingatkan bahwa makhluk sekecil apa pun berguna dan baik adanya. Manusia, hewan, tumbuhan semestinya menjadi mitra yang baik dan saling melindungi. Terutama manusia. Sebab, kita puya daya intelegensi tinggi dan punya hati nurani.

Hati nurani menuntut manusia untuk bertindak dengan baik, jujur, wajar, dan adil. Hati nurani adalah semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang suatu perbuatan.

Maka masuk akal kalau kita bertanya-tanya: kalau manusia bisa mikir dan punya hati nurani, kok bisa tega membunuh hewan dengan sadis, apalagi yang kini keberadaannya critically endangered? Oke, anggap saja si pembunuh tidak tahu, tapi tolong deh, namanya saja sudah orangutan, jelas hutan memang rumah mereka, tempat bernaung dan cari makan—hingga kemudian dunia beranjak haus kelapa sawit dan si tuan rumah dianggap hama di rumahnya sendiri.

Saya berduka untuk para pelaku yang suara hatinya menuntunnya ke dalam kegilaan. Membunuh orangutan, memutilasinya, bahkan menyantapnya adalah gila dan pada dasarnya membahayakan diri sendiri.

Kalau tak paham soal jumlah orangutan yang terancam, mengapa para pembunuh orangutan tidak mengakui keberadaan hati nuraninya saja? Mengapa tidak usaha supaya suara hati berakhir pada tindakan yang tepat? Ya, memang perbuatan menurut suara hati tidak bisa ditolak. Suara hati adalah tuntutan mutlak yang menunjukkan kemandirian manusia.

“Mutlak” tidak berarti selalu benar karena suara hati juga didasarkan atas penilaian yang barangkali juga tidak tepat: membentengi lahan dari orangutan harus dilakukan supaya tetap bisa hidup dari pekerjaan. Bunuh saja “hama” itu supaya tidak kembali dan menyantap tunas-tunas kelapa sawit.

Pembunuh orangutan linglung memilih antara membunuh untuk memperjuangkan keamanan lahan sawit, atau diam saja dan mengorbankan mata pencahariannya. Masalahnya, suara hati bukan persoalan perasaan atau selera subjektif, melainkan persoalan objektif mencakup hukum positif dan fakta-fakta di luar diri.

Orangutan mati tragis, tidak bisa dihidupkan lagi. Kita hanya perlu menyelamatkan populasi orangutan yang tersisa. Dalam riset 47 peneliti yang dipublikasikan Jurnal Nature (Juli 2017), First Integrative Trend Analysis For a Great Ape Species in Borneo, kepadatan populasi orangutan Kalimantan menurun dari 0,45-0,76 individu per kilometer persegi menjadi 0,13-0,47 individu per kilometer persegi. Mereka hidup di habitat seluas 16.013.600 hektare, tersebar di 42 kelompok. Lebih menyedihkan lagi, hanya 18 kelompok populasi yang diprediksi bisa lestari hingga 100–500 tahun ke depan.

Penyelesaian yang lebih mengakar mungkin bisa tercapai dengan menyelamatkan umat manusia dari prinsip dominasi yang selama ini menyertai pembangunan. Pendidikan akal budi harus diimbangi dengan penempaan hati nurani. Ini lebih kompleks, tapi bisa dimulai dari keluarga.

Dalam karyanya, La conscience morale, filsuf Prancis Gabriel Madinier yakin bahwa menanam kepekaan yang baik bisa dilakukan dengan memberi contoh. Manusia punya kekuatan untuk memberi contoh tindakan untuk menanam kepekaan batin terhadap hal-hal baik. Kewajiban terhadap hukum moral pada dasarnya mengikat semua orang. Mencintai lingkungan hidup serta kewajiban menjaganya adalah tugas semua usia, semua kalangan.

Selain pengetahuan, anak, adik, keponakan, sepupu, dan seluruh anggota keluarga harus dapat suasana luhur tentang keterkaitan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Tunjukkan kalau kita tergantung pada hewan-hewan—bagaikan lebah-lebah dalam Bee Movie dan umat manusia penyuka madu. Bukan malah mempertontonkan tindakan brutal pada binatang—yang bahkan sempat dijual sebagai wisata “walking through hell” atau “must see” tourist attractions.

Kebetulan, kita ini manusia berkesadaran, bukan seekor hewan. Maka, demi kelangsungan bumi yang lestari, sadarlah animal rationale!

Kolom terkait:

Bisnis dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Lawan atau Kawan?

Tiada Asap tanpa Api, Tiada Deforestasi tanpa Investasi

Leonardo DiCaprio: Perubahan Iklim Itu Nyata

Jokowi dan Nasib Hutan Tropis Sumatera

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.