Selama dua pekan berturut Januari 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MLHK) Siti Nurbaya, bersama tim ahli dan pejabat esolan satu, menemui satu per satu beberapa organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), MUI, Parmusi, dan lainnya.
Langkah Kementerian LHK RI itu perlu diapresiasi karena ingin menyerap aspirasi, saran, pengalaman lapangan, best practices, sharing gagasan dan lainnya dari lembaga-lembaga keagamaan. Harapannya, agar muncul gagasan dan kebijakan yang bersifat bottom-up berkait ihwal redistribusi lahan.
Catatan Kementerian LHK (2017), sektor kehutanan dengan kawasan yang luasnya kisaran 120 juta Ha atau 63,5 persen dari luas daratan Indonesia. Luasan seperti itu, ternyata belum mampu mendongkrak manfaat optimal bagi rakyat. Nyaris setiap tahun, terjadi peningkatan bencana: banjir, tanah longsor kekeringan, kekurangan air bersih, kebakaran lahan serta petani gagal panen. Akar musababnya, kondisi hutan Indonesia yang makin rusak.
Demikian pula, makin sering terjadi konflik lahan kawasan hutan antar pihak baik antara masyarakat dengan perusahaan, antara masyarakat dengan pemerintah, antara perusahaan dengan pemerintah, maupun antara masyarakat dengan masyarakat. Regulasi yang masih amburadul dan kurang sinkron/konsisten antar pelbagai instansi terkait, menjadi musabab lainnya. Tidak mengherankan, jika peran sektor kehutanan sangat rendah, hanya 1.6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketimpangan Pemilikan
Data berbicara, penguasaan lahan oleh segelintir korporasi raksasa semakin timpang. Ada sekitar 17,38 juta Ha telah diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha pengusahaan hasil hutan dan kayu (IUPHHK) dan 8,8 juta Ha untuk hutan tanaman industri (HTI). Ada 15 juta Ha untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan.
Ketimpangan ini juga ditunjukkan dengan 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Ironisnya, terjadi peningkatan jumlah buruh dan petani kecil yang tidak berlahan.
Menurut catatan MEK PP Muhammadiyah (2017), banyak rakyat yang secara fakta menguasai dan menduduki kawasan hutan baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi. Tetapi, selalu dalam posisi kucing-kucingan karena mereka dianggap ilegal.
Di kawasan hutan produksi misalnya, secara nasional terdapat 64 juta Ha, yang saat ini diberikan izin pemanfaatan atau hak kepada perusahaan dan masyarakat. Sekitar 34 juta Ha diberikan perusahaan kakap dan sisanya kurang lebih 30 juta Ha sebagaian besar telah dikuasai atau diduduki dan diusahakan masyarakat tanpa izin dari pemerintah.
Penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat dengan status tanpa izin yang sah, tentu sangat merugikan Negara, karena secara sumber daya tidak dapat dikelola maksimal. Selain itu, masyarakat juga tidak memiliki aksesibilitas ke perbankan dan tidak bisa ditagih pajaknya.
Secara sosial, kendati faktanya masyarakat menguasai kawasan hutan yang sangat luas tapi tak pernah tercatat dan tidak memberikan manfaat sosial ekonomi bagi bangsa. Maka, percepatan implementasi Peraturan Presiden No 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, tentu tidak perlu diambangkan dan ditunda-tunda lagi.
Redistribusi Lahan
Ketimpangan penguasaan lahan yang makin akut itu telah direspon oleh pemerintahan Jokowi-JK dengan konsep redistribusi akses dan aset sumberdaya lahan. Dalam konsep dan kebijakan redistribusi akses, dilakukan melalui program perhutanan sosial dalam kawasan hutan seluas 12,7 juta Ha melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk Hasil Hutan Kayu (HHK) dan hasil hutan Bukan Kayu (HHBK), Hutan Desa (HD) untuk HHK dan HHBK, Hutan Kemasyarakatan (HKM) untuk HHBK, Hutan Adat (HA) untuk HHBK, dan pola Kemitraan (di areal izin milik perusahaan mitra) untuk HHK dan HHBK.
Terhadap program perhutanan sosial yang bertujuan memberikan akses sumberdaya lahan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi rakyat khususnya program HTR dan HD, tentu Muhammadiyah mempunyai catatan, bahwa program pemberian hak dan akses masyarakat dan usaha kecil menengah pada sumberdaya hutan sudah beberapa kali dijadikan program prioritas dan unggulan pemerintahan sebelumnya. Namun, masih selalu mengalami kegagalan, seperti kegagalan rakyat dalam akses permodalan (pinjaman), pemasaran, keterbatasan keterampilan dan manajemen.
Oleh karena itu perlu diusulkan, pertama, mempermudah rakyat atau pengusaha kecil-menengah dan koperasi untuk mengakses modal perbankan, penyediaan pinjaman dengan bunga rendah jangka panjang, menghilangkan atau meringankan keharusan menyediaakan agunan, mensetarakan izin HTR, HD dan lainnya sama dengan HGU sehingga bisa diagunkan/dijaminkan di lembaga keuangan.
Kedua, dalam kaitan perhutanan sosial ini, perlu diusulkan agar rakyat yang sudah dibina oleh Organisasi Keagamaan ini perlu mendapatkan HTR, HD, Hukum Adat. Dan khusus di Pulau Jawa sebaiknya ada kemitraan dengan Perhutani dalam mengembangkan usaha peternakan menengah-besar.
Bekaitan dengan kebijakan redistribusi aset sumberdaya lahan, terutama melalui Penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas 4,1 juta Ha dari kawasan hutan yang akan diberikan hak dengan mengeluarkan dari kawasan hutan dan memberikan alas hak untuk Hak Milik, HGU kepada masyarakat kecil, kelompok masyarakat yang telah menguasai lahan kawasan hutan sebagai pemukiman, sawah kebun, tegalan dan lainnya, tentu akan memberikan kepastian dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif bagi bangsa.
Muhammadiyah
Tentu, progarm ini harus dilakukan dengan serius dan terarah serta adil, karena kalau tidak justru berpotensi munculnya ketidakadilan lain yang bisa memantik konflik horisontal antar masyarakat.
Karena itu, Muhammadiyah melalui jejaringnya (lembaga pendidikan, lembaga ekonomi dan keuangan, atau amal usaha Muhammadiyah) bersedia membantu sebagai pendamping untuk memastikan ketepatan dan keadilan praktik reforma agraria pada pelbagai tahapan baik perencanaan maupun di lapangan.
Selain itu, Muhammadiyah juga mengusulkan kepada pemerintah agar secara terbuka menginformasikan detail jumlah luas lahan, lokasi lahan, serta fungsi peruntukannya di setiap kabupaten dan propinsi agar publik bisa mengetahui status kawasan hutan terutama kawasan hutan lindung dan atau hutan konservasi. Hal ini penting pula untuk menghindari tumpang-tindih (overlaping) kebijakan antara pemerintah di tingkat pusat dengan semua pelaksana kebijakan di instansi vertikal maupun pemerintah daerah.
Berkaitan penetapan hutan adat, ihwal itu masih bergantung pada pengakuan masyarakat adat oleh pemerintah daerah (pemda) melalui produk hukum daerah seperti peraturan daerah (perda). Selain itu, penetapan hutan adat masih bertumpu pada peran aktif masyarakat sebagai pemohon dibandingkan pemerintah.
Padahal, tidak semua masyarakat hukum adat bisa dengan mudah mengakses kota, ada yang lokasinya jauh di pedalaman hutan. Peraturan Menteri LHK No.32 Tahun 2015 juga mengamanatkan jajarannya untuk aktif.
Oleh karena itu, perlu segera dibuat kebijakan dan memberikan percepatan pengakuan dan izin yang sah kepada rakyat yang menguasai dan menduduki kawasan hutan, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup.