Jumat, April 19, 2024

Mewaspadai “Persekusi” atas Lingkungan Hidup

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Aktivis dari Koalisi Sipil Masyarakat untuk penyelamatan lingkungan menggelar aksi menyikapi pelaksanaan Bonn Challenge di halaman DPRD Sumsel Palembang, Rabu (10/5). Koalisi Sipil menekankan tujuan agenda restorasi dan konservasi hutan dan lingkungan yang mengedepankan kepentingan dan hak masyarakat terdampak kebakaran lahan karena sebagian besar wilayah tersebut merupakan sumber hidup mereka. ANTARA FOTO/Feny Selly.

Di tengah maraknya tindakan persekusi berbasis fanatisme organisasi massa keagamaan yang membuat Presiden Joko Widodo murka, kita jangan terlena dan melupakan berbagai bentuk “persekusi” pada lingkungan hidup kita.

Persekusi secara sederhana diartikan sebagai tindakan sewenang-wenang dan melawan hukum menghakimi orang/pihak yang berseberangan dengan keyakinan/kepentingannya.

Dalam konteks lingkungan hidup, saya mengartikan persekusi sebagai tindakan yang sewenang-wenang, baik dengan melawan hukum dan/atau memakai mekanisme/jalur hukum yang berakibat pada kerugian lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat. Persekusi atas lingkungan hidup diduga berlangsung sistematis dan terencana selama puluhan tahun di Indonesia dengan melibatkan banyak pihak, baik aktor negara dan non negara.

Bentuk persekusi tersebut di antaranya pembabatan hutan alam untuk diambil kayunya; perambahan hutan untuk kebun sawit, industri hutan, dan tambang; pengerukan gunung dan perut bumi untuk diambil sumber daya mineralnya; perampasan hutan dan tanah adat oleh negara dan korporasi, dan pembakaran hutan/lahan untuk pembersihan lahan secara murah.

Semua tindakan tersebut dilakukan baik secara melawan hukum maupun ‘legal”, yaitu berpegang pada izin yang dikeluarkan oleh negara. Persekusi berbasis izin ini justru sangat berbahaya dan berdampak luas karena bisa melibatkan kekuatan aparat keamanan negara dengan alasan “menjamin” kepentingan dan keberlangsungan investasi.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ekosistem yang menunjang kehidupan manusia dan makhluk lainnya, dalam bentuk di antaranya ekosistem hutan, perairan tawar, karst (bukit kapur), gambut, dan laut. Gangguan atas ekosistem tersebut akan berakibat pada ketidakseimbangan alam yang memicu terjadinya bencana seperti longsor, banjir, kebakaran hutan/lahan, punahnya sumber daya hayati, dan sebagainya.

Karena lingkungan tidak bisa “berbicara” untuk dirinya sendiri, maka konsep strict liability diperkenalkan dalam hukum nasional, di antaranya dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Strict liability adalah tanggung jawab mutlak yang dibebankan pada pihak, baik perorangan atau korporasi karena terjadinya kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 88 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH menyebutkan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh yang bersangkutan.

Saat ini Pasal 88 itu tengah digugat di Mahkamah Konstitusi. Karenanya, ia bisa menjadi ancaman lebih lanjut bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat jika permohonan itu nanti dikabulkan karena akan memicu terjadinya persekusi atas lingkungan hidup secara lebih luas dan masif.

Gugatan itu dilayangkan oleh asosiasi perusahaan di bidang perkebunan sawit dan kehutanan. Bisa jadi upaya gugatan ini adalah bentuk dari “persekusi” melalui mekanisme hukum untuk mengamputasi kewenangan negara yang diberikan tanggung jawab melindungi lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Adapun motif gugatan sangat jelas: diduga kuat korporasi, khususnya yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan kehutanan, tidak mau menjalankan instrumen strict liability karena hanya menjadi biaya bagi usahanya dan menghalangi upaya mereka memupuk laba.

Latar belakang gugatan ini diduga di antaranya terkait dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negeri ini secara masif seluas 2,5 juta hektare pada 2015. Dalam peristiwa itu, banyak korporasi sawit dan kayu dibebankan tanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan di dalam konsesinya. Padahal, menurut mereka, kebakaran itu di antaranya dilakukan oleh pihak lain, yaitu masyarakat adat, para perambah, atau perluasan api dari wilayah lain.

Namun, alasan itu tidak bisa diterima, karena setiap korporasi pemegang izin harus bertanggung jawab untuk menjaga konsesinya dari kerusakan termasuk kebakaran, meski dengan alasan areal konsesi yang terbakar itu belum masuk wilayah yang digarap/diolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekali korporasi yang memegang konsesi ratusan ribu hingga jutaan hektare lahan, namun mereka tidak mempunyai peralatan dan standar prosedur yang memadai untuk menjaga konsesinya dari kebakaran atau kerusakan.

Pertanyaannya, mengapa banyak korporasi memegang izin konsesi yang jauh melebihi kapasitasnya untuk mengelola dan mengolah lahan? Jawabnya, banyak pengusaha yang melakukan land banking. Praktik ini sangat merugikan negara dan masyarakat karena tanah itu tidak bisa diolah sebagaimana mestinya, namun dikuasai, disimpan, dan diakumulasi untuk kepentingan pengusaha. Padahal, tanah itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan sosial dan ekonomi warga sekitar.

Dengan instrumen strict liability itu, maka setiap orang/korporasi tidak bisa lepas tanggung jawab untuk menjaga dan mengelola lahan konsesinya secara benar dan bermanfaat. Pun sebagai instrumen hukum untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin di dalam Pasal 9 ayat (3) UU tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Instrumen strict liability adalah cara negara melindungi hak masyarakat dan hak lingkungan supaya tetap lestari dan berfungsi dengan baik.

Pada beberapa kasus perdata kebakaran hutan dan lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berhasil memenangkan gugatannya karena hakim menerapkan instrumen strict liability. Dalam perkara dengan PT. Nasional Sago Prima (NSP) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim mewajibkan perusahaan membayar denda hingga Rp 1,07 triliun atas kasus kebakaran hutan dan lahan seluas 3.000 hektare di lahan konsesi PT NSP di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Preseden hukum itu nampaknya membuat getir para pengusaha sehingga mereka membuat langkah untuk menggugat instrumen strict liability ke Mahkamah Konstitusi, dengan alasan tidak sesuai dengan Konstitusi. Padahal, Konstitusi jelas menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Masa depan keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat kembali berada di tangan para penjaga keadilan hakim Konstitusi. Kita berharap para hakim akan bersikap dan bertindak jauh memikirkan nasib dan masa depan lingkungan hidup yang menjadi tumpuan harapan negara ketimbang mengikuti kehendak dan kepentingan ekonomi sekelompok pihak semata.

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.