“For every complex problem there is an answer
that is clear, simple, and wrong.”
H. L. Mencken
Isu silih berganti hadir di negeri ini, seperti tak pernah selesai. Satu isu bisa surut, digantikan popularitasnya oleh isu yang muncul belakangan, tetapi kemudian muncul lagi ketika menemukan kembali momentumnya. Salah satu isu yang sudah bertahun-tahun menghantui Indonesia adalah soal reklamasi di Teluk Jakarta.
Bertepatan dengan pelantikan gubernur baru DKI Jakarta, isu ini menguat kembali. Tandanya adalah kehirukpikukan media sosial dan aplikasi pesan dengan pernyataan penolakan dan dukungan atas reklamasi.
Pernyataan-pernyataan seperti itu kerap hanya dibuat dengan keterangan yang sangat minim soal isunya, lalu diikuti oleh daftar panjang mereka yang mendukung pernyataan itu. Biasanya ada di kisaran ratusan nama. Tidak hanya dari kelompok masyarakat awam saja yang demikian.
Pernyataan dari kelompok-kelompok alumni perguruan tinggi juga setali tiga uang. Bukan hanya substansinya yang miskin, namun juga sangat jelas kecenderungan politisnya. Pernyataan seperti “tolak reklamasi, lawan rezim Jokowi” bisa dibaca di berbagai tempat.
Ada berbagai analisis soal itu. Termasuk bahwa kampus-kampus memang mengalami polarisasi politik, dan itu membuat himpunan atau ikatan alumni menjadi tidak tunggal. Kalau yang resmi dianggap terlalu dekat dengan pemerintah, maka akan ada tandingan yang merasa perlu untuk tampil melawan pemerintah. Tetapi, urusan reklamasi ini bersifat kompleks, yang membutuhkan pemikiran mendalam dan ragam sikap yang daripada sekadar “dukung” atau “tolak”.
Diskusi Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta, tentang reklamasi yang diselenggarakan pada Rabu (25/10)—di mana saya menjadi moderatornya—memberikan pemahaman kompleksitas itu yang terlalu berharga jika tidak dijadikan bahan pengambilan keputusan rasional.
Pendekatan Historis, Tata Kelola, dan Hukum
Permasalahan terkait dengan reklamasi harus dilihat secara historis. Reklamasi bukan sekadar sebuah proyek yang baru saja dibuat beberapa tahun belakangan, melainkan sudah dirancang dan dikerjakan sekitar dua dekade (baca: Ambisi Garuda di Teluk Jakarta). Untuk memahami duduk persoalan sebenarnya, fakta-fakta sejarah tentang reklamasi perlu dilacak dan dibuka kepada publik, termasuk dan terutama berbagai penyelewengan yang menghasilkan kondisi seperti sekarang.
Ahmad Safrudin, pimpinan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), yang mengikuti seluruh perjalanan reklamasi hingga sekarang menyatakan bahwa sesungguhnya pada awalnya proyek ini bertujuan untuk merevitalisasi Teluk Jakarta, bukan untuk mereklamasinya. Latar belakangnya adalah kondisi teluk yang tercemar dan membutuhkan perbaikan. Namun, “entah mengapa”, belakangan proyek tersebut berubah menjadi reklamasi. Itu adalah perubahan besar pertama yang dia deteksi.
Perubahan besar kedua adalah soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Dahulu, mengikuti regulasi yang ada, amdal kawasan yang dibuat. Ini adalah konsekuensi dari sifat proyek yang berdampak luas dan melampaui batas-batas provinsi. Tetapi, ketika Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menolak amdal kawasan yang diajukan, pemecahan amdal malah dilakukan.
Alih-alih melihat secara keseluruhan dampak dari pembangunan ke-17 pulau, amdal yang dibuat adalah amdal per pulau, yang bukan saja tak menjelaskan dampak menyeluruh di kawasan itu, namun juga mengabaikan dampak di tempat pengambilan material reklamasi. Itu terjadi sekitar tahun 2003.
Ketika UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diundangkan, maka kewajiban untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dasar pertimbangan tata ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan pun hadir. Artinya, amdal seharusnya dibuat setelah adanya KLHS yang menentukan apakah memang Teluk Jakarta mampu dibebani 17 pulau reklamasi.
Dengan amdal per pulau yang jauh dari komprehensif dan ketiadaan KLHS—sekarang, di penghujung 2017, KLHS sedang divalidasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—sudah sepantasnya moratorium dilakukan. Inilah yang membuat dukungan banyak pihak atas keputusan moratorium yang diambil pemerintah pusat.
Sayangnya, moratorium kemudian hanya berumur sangat pendek. Idealnya, menurut Safrudin, moratorium itu benar-benar dimanfaatkan untuk membuat kita semua bisa mengkaji ulang dengan hati-hati segala hal yang terkait dengan reklamasi, baru kemudian mengambil keputusan yang lebih masuk akal. Peluang itu menguap ketika moratorium dicabut, dan pembangunan dimulai lagi.
Bahkan, menurut laporan Koran Tempo (23/10/2017), sesungguhnya pekerjaan konstruksi tetap berjalan selama masa moratorium itu. Dan pencabutannya kemudian membuat percepatan konstruksi.
Ahli hukum lingkungan yang menjadi salah satu narasumber diskusi tersebut, Mas Achmad Santosa, menekankan bahwa penyelesaian isu reklamasi ke depan harus dilakukan sesuai dengan kaidah tata kelola yang baik dan mengedepankan ketaatan atas hukum yang berlaku. Kalau kita perhatikan kondisi sekarang, jelas ada kekacauan berita serta interpretasi atas regulasi tentang tingkat pemerintahan mana yang sesungguhnya memiliki wewenang untuk menentukan boleh-tidaknya reklamasi, untuk tujuan apa saja reklamasi bisa dilakukan, dan melalui tata kelola yang bagaimana reklamasi bisa atau tak bisa dilakukan.
Regulasi tentang reklamasi sendiri membatasi tujuan reklamasi menjadi untuk pemulihan lingkungan dan untuk kepentingan umum. Kalau sekarang ternyata reklamasi lebih memiliki dimensi komersial, maka sesungguhnya itu jauh dari apa yang digariskan oleh regulasi. Lebih jauh, regulasi juga menggariskan wewenang apa yang menjadi domain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta pemerintah provinsi. Tetapi, kondisi sekarang mencampuradukkan kewenangan itu. Bahkan, sangat terlihat dominasi Kementerian Koordinator Maritim, yang sesungguhnya bukanlah lembaga dengan kewenangan eksekusi.
Ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa eksekusi kebijakan wewenangnya ada pada kementerian teknis, sementara kementerian koordinator hanya memiliki kewenangan supervisi dan koordinasi (Berita Satu, 19/8 2015). Karenanya, kejelasan mengenai interpretasi mana yang (paling) tepat perlu segera ditentukan sesuai dengan peraturan perundangan, lalu ditegakkan secara konsisten dan konsekuen.
Peran Ilmu Pengetahuan
Diskusi tersebut juga menekankan bahwa pemahaman atas motivasi, proses perencanaan, eksekusi, serta dampak atas reklamasi seyogianya dipandu oleh prinsip-prinsip ilmiah. Hingga kini, perdebatan tentang reklamasi sangat didominasi oleh agenda politik, kepentingan ekonomi, bahkan diselubungi oleh banyak berita palsu dan fitnah. Kondisi ini merugikan seluruh pemangku kepentingan karena menghambat timbulnya pemahaman yang objektif atas apa yang telah terjadi dan bagaimana memperbaikinya. Prinsip-prinsip ilmiah bisa memandu seluruh pemangku kepentingan untuk menemukan pilihan terbaik atas isu reklamasi ini.
Dari sisi keilmuan kelautan, Alan Koropitan mengingatkan kepada seluruh peserta diskusi bahwa sudah ada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bappenas dan KLH di tahun 2012 yang hasilnya menjelaskan bahwa pembangunan 17 pulau reklamasi akan menurunkan kemampuan Teluk Jakarta untuk mencuci sedimentasi dari 13 sungai yang bermuara ke situ.
Dampak lebih lanjutnya adalah penumpukan sedimentasi dalam kecepatan yang tinggi, serta penumpukan polutan di situ. Oleh karenanya, hasil studi tersebut tidak merekomendasikan kegiatan reklamasi.
Alan Koropitan sendiri berpendirian bahwa yang dibutuhkan oleh Teluk Jakarta adalah restorasi, bukan reklamasi yang tidak dianjurkan oleh studi paling komprehensif atas kemungkinan dampak reklamasi itu.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa Jakarta memiliki masalah kenaikan muka air laut, dan penurunan muka tanah yang terjadi karena pengambilan air dan beban bangunan di atasnya. Reklamasi tak akan bisa menjawab seluruh permasalahan itu, bahkan membuat semakin parah.
Restorasi, sebaliknya, akan membuat Teluk Jakarta menjadi sehat dan daya dukungnya meningkat. Walau belum menghitung secara detail, Koropitan menyatakan bahwa boleh jadi ekonomi restorasi—dari pariwisata, perikanan, dan jasa lingkungan lainnya—sesungguhnya bisa saja lebih besar daripada ekonomi hasil reklamasi.
Demikian juga yang dinyatakan oleh Sonny Mumbunan. Secara ekonomi lingkungan, berbagai bentuk jasa lingkungan yang diberikan oleh Teluk Jakarta perlu dihitung secara saksama, lalu dibandingkan dengan apa yang secara ekonomis bakal terjadi kalau reklamasi dilakukan. Dia menegaskan bahwa manfaat dan biaya sesungguhnya sangat relatif, tergantung siapa yang melihatnya.
Manfaat buat pihak tertentu—misalnya keuntungan finansial bagi pengembang yang menjual properti di atas pulau reklamasi—bisa menjadi biaya bagi pihak lain—misalnya nelayan yang kehilangan tangkapannya. Perhitungan manfaat-biaya dalam jangka panjang, dari berbagai sudut pandang pemangku kepentingan, itulah yang diperlukan untuk mengambil keputusan.
Tetapi, tandas Mumbunan, yang dimaksud dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam situasi terkait reklamasi bukanlah ilmu pengetahuan dalam situasi normal. Ia mengajak seluruh peserta diskusi untuk meninjau masalah ini dalam konteks post-normal science.
Istilah itu mengacu kepada pendekatan baru dalam menggunakan ilmu pengetahuan dalam situasi di mana fakta tidaklah mudah ditentukan hitam-putihnya, nilai-nilai saling dipertentangkan, pertaruhan atas dampaknya tinggi, sementara keputusan harus diambil segera. Pendekatan yang dikembangkan oleh Silvio Funtowicz dan Jerome Ravetz (1990) ini, dalam timbangan Mumbunan, adalah cocok dengan situasi reklamasi sekarang.
Para narasumber secara keseluruhan menekankan bahwa analisis atas dampak reklamasi harus dilakukan secara komprehensif. Salah satu hal yang membuat urusan reklamasi menjadi tampak kacau seperti sekarang—bahkan diyakini akan terus berulang dalam kurun waktu yang panjang bila tak dilakukan perubahan dalam pendekatan atasnya—adalah upaya-upaya untuk menyembunyikan berbagai dampak negatif dan/atau kesengajaan untuk mengabaikan dampak-dampak tertentu. Di sini seluruh narasumber sepakat soal pentingnya KLHS.
Sementara, analisis dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi juga harus dilakukan—berlandaskan PP 27/1999 tentang AMDAL dan PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan—dan dengan memperhatikan seluruh dampak positif dan negatif yang mungkin timbul di seluruh wilayah dampak reklamasi, dan di tempat di mana sumber material reklamasi diambil dan ditransportasikan.
Ini berarti analisis soal reklamasi perlu mencakup pesisir Provinsi DKI Jakarta, Tangerang di Provinsi Banten, Bekasi di Jawa Barat, dalam kesatuan penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sifat analisis juga harus inter-disiplin, berjangka panjang, dengan menjelaskan berbagai skenario yang mungkin, serta dampak/risiko saat ini dan di masa mendatang yang mungkin dialami oleh masing-masing pemangku kepentingan.
Pengambilan Keputusan untuk Maslahat Optimal
Lantaran kondisi post-normal science tersebut, partisipasi pemangku kepentingan adalah mutlak dalam pengambilan keputusan reklamasi. Hingga sekarang, ada banyak sekali pemangku kepentingan yang diabaikan dalam pengambilan keputusan reklamasi, dengan kecenderungan penyingkiran mereka yang menolak reklamasi. Berbagai berita di media massa telah merekam hal ini, termasuk misalnya soal iming-iming kepada yang bisa membuat masyarakat mendukung reklamasi. Kalau dilihat dari sudut pandang tangga partisipasi Sherry Arnstein, sesungguhnya partisipasi masyarakatnya ada pada tingkatan bukan partisipasi serta tokenisme (Arnstein, 1969).
Agar pengambilan keputusan reklamasi bisa menjadi optimal maslahatnya, maka itu harus mengedepankan prinsip-prinsip pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder engagement) modern, yaitu inklusif (mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan), material (mengelola seluruh isu yang dianggap penting oleh seluruh pemangku kepentingan), dan responsif (menjelaskan pengelolaan seluruh isu material kepada seluruh pemangku kepentingan).
Ini berarti bahwa para pemrakarsa pulau reklamasi harus tampil ke depan dan menjelaskan rencana dan tanggung jawab mereka kepada seluruh pemangku kepentingan—termasuk dan terutama kepada kelompok masyarakat rentan, seperti kelompok nelayan, masyarakat miskin, perempuan dan anak-anak di wilayah dampak. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memfasilitasi dialog publik tersebut.
Selanjutnya, menurut perencana perkotaan Andy Simarmata, yang juga menjadi narasumber diskusi, pilihan atas apa yang harus dilakukan terhadap reklamasi perlu dijabarkan dalam berbagai skenario pengelolaan ketelanjuran. Pembangunan pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta memiliki perkembangan berbeda-beda. Ada yang sudah “selesai” dengan konstruksi bangunannya, ada yang sedang dikerjakan, dan ada pula yang masih berupa izin. Detail situasi mutakhir ini perlu dibuka sepenuhnya, dan berbagai skenario perlu dibuat dan ditunjukkan kepada masyarakat.
Pilihan tindakan seperti pemanfaatan yang sudah ada, modifikasi peruntukan, penghentian konstruksi, dan pembongkaran dibuat dengan panduan seluruh skenario yang mungkin, dan dengan menunjukkan konsekuensi pembiayaan, termasuk siapa yang menjadi penanggung biaya itu. Simarmata sendiri menekankan bahwa memilih reklamasi bisa membuat Jakarta menjadi terbebani terus-menerus.
Reklamasi, menurut dia, adalah “gula” baru yang membuat “semut” semakin merubung Jakarta. Padahal, dia yakin, bahwa yang dibutuhkan Jakarta adalah diet. Jakarta itu sudah seperti manusia yang kebanyakan gula dan menjelang (atau sudah?) menderita diabetes. Mengurangi beban Jakarta, dan memulihkan daya dukungnya, adalah pilihan yang jauh lebih bijak.
Krisis yang Berharga
Dari seluruh paparan narasumber—serta komentar dari para peserta, termasuk Aisa Tobing dari Pemprov Jakarta dan Widodo Pranowo dari Kementerian Kelautan dan Perikanan—sangat jelas bahwa ini bukan sekadar pilihan sederhana menerima atau menolak reklamasi. Apalagi, keputusan yang akan diambil di Jakarta bakal menjadi preseden bagi penyelesaian isu reklamasi di seantero Indonesia. Konon, ada sekitar 30 proyek reklamasi yang sedang memantau apa yang bakal terjadi di Jakarta.
Apa yang perlu dilakukan adalah sebuah pengelolaan ketelanjuran untuk mencapai hasil terbaik dari sudut pandang keberlanjutan. Ini harus diawali dengan memberikan kesempatan membuat skenario ilmiah terbaik, melalui proses pemangku kepentingan yang benar, serta berlandaskan peraturan perundangan yang berlaku. Hasilnya kemudian perlu dituangkan dalam sebuah peta jalan yang komprehensif, serta ditegakkan dan diawasi pelaksanaannya.
Kasus reklamasi adalah sebuah krisis yang sangat berharga untuk diambil pelajarannya. Seluruh rangkaian kasus reklamasi bila dipelajari secara mendalam dapat memberikan gambaran penting tentang apa yang perlu dilakukan dan sebaiknya dihindari dalam proyek-proyek pembangunan. Para narasumber menekankan bahwa yang termasuk perlu dilakukan adalah menegakkan mandat KLHS, tata ruang (dan akses publik atas ruang), dan amdal yang komprehensif.
Pengabaian ketiganya dalam kasus reklamasi telah membuat kondisi menjadi sangat rumit, penuh ketegangan, dan berlarut-larut. Apabila memang serius ingin mencapai tujuan keberlanjutan—dengan keadilan ekonomi, sosial, dan lingkungan intra- dan inter-generasi—bangsa Indonesia perlu belajar banyak dari kompleksitas kasus reklamasi ini, juga kasus-kasus serupa.
Kolom terkait:
Emmy Hafild di Tengah Pusaran Polemik Reklamasi
Reklamasi Teluk Jakarta: Belajar dari Reklamasi Kapuk